Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri kompak reli pada perdagangan Rabu (05/10/2022), tercermin dari triple rally di pasar ekuitas, rupiah dan pasar obligasi yang kompak ditutup menguat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis 0,04% ke 7.075,38 pada perdagangan kemarin. Memangkas penguatannya pada penutupan sesi pertama yang sempat terapresiasi 0,71%, bahkan menyentuh level 7.100.
Sebanyak 8 indeks sektoral menjadi penopang IHSG, di mana indeks sektoral transportasi naik tajam 2,79%. Disusul oleh indeks teknologi dan sektor barang konsumen non-primer yang menguat masing-masing sebesar 1,83% dan 1,47%. Sementara, untuk indeks keuangan yang memiliki bobot terbesar di IHSG juga naik tipis 0,07%.
Investor asing tercatat masih melakukan aksi bersih (net buy) senilai Rp 77,49 miliar. Sementara total volume perdagangan saham mencapai 25,67 miliar dan total nilai transaksi Rp 12,22 triliun.
Ternyata pasar ekuitas Indonesia bukan satu-satunya yang berhasil mempertahankan posisinya di zona hijau, di mana bursa Asia-Pasifik kompak berakhir menguat kemarin.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup menguat 0,48% ke posisi 27.120,53, Hang Seng Hong Kong meroket 5,9% ke 18.087,97, Straits Times Singapura bertambah 0,46% ke 3.153,23, ASX 200 Australia melejit 1,74% ke 6.815,7, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,26% ke 2.215,22.
Sementara untuk pasar saham China hingga hari ini masih belum dibuka. Pekan ini merupakan Golden Week atau libur panjang di China, memperingati serangkaian Hari Nasional China.
Sentimen global yang cenderung positif, membuat tekanan terhadap rupiah pun minim, di mana rupiah berhasil menguat terhadap dolar AS.
Melansir data Refinitiv, rupiah langsung melesat 0,62% ke Rp 15.150/US$ begitu perdagangan dibuka. Penguatan rupiah sempat terpangkas hingga menyentuh Rp 15.215/US$.
Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 15.190/US$, menguat 0,36% di pasar spot. Namun, posisi penutupan tersebut menjadi yang terendah sejak Mei 2020.
Penguatan Mata Uang Garuda dipicu oleh terkoreksinya indeks dolar AS di pasar spot. Dalam 5 hari perdagangan merosot sebanyak 4 kali dengan total 3,5%.
Global Markets Economist Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menjelaskan, menguatnya rupiah hari ini karena adanya ketiadaan event major di Amerika Serikat yang memicu technical rebound mata uang non dollar. Apalagi data inflasi terbaru Indonesia ternyata tidak setinggi yang diperkirakan.
Hal serupa terjadi pada pasar obligasi, di mana harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Rabu (5/10/2022).
Mayoritas investor memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Namun untuk SBN tenor 3, 25, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknyayield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun naik 1,5 basis poin (bp) ke posisi 6,838%, sedangkan yield SBN tenor 25 tahun menanjak 1,7 bp ke 7,556%, dan yield SBN bertenor 30 tahun meningkat 3,1 bp menjadi 7,393%.
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara melandai 9 bp menjadi 7,201%.
Yieldberlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Triple rally terjadi seiring dengan sentimen pasar global yang mulai positif, bahkan analis melihat penurunan pada kenaikan suku bunga The Fed pada pertemuan selanjutnya.
"Kita melihat penurunan ekspektasi kenaikan suku bunga di seluruh pasar finansial setelah bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) menaikkan suku bunga 25 basis poin, lebih rendah dari ekspektasi 50 basis poin," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Corpay Toronto, sebagaimana dilansirReuters, Selasa (4/10/2022).
Ed Yardeni, veteran pemain pasar, memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga satu kali lagi, pada November. Setelahnya, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan menghentikan periode kenaikan suku bunga akibat dolar AS yang terlalu perkasa.
"Saya pikir mereka akan menaikkan suku bunga sekali lagi di bulan November, sebab stabilitas finansial akan menjadi perhatian mereka," ujar Yardani.
Beralih ke Negeri Star and Stripes, bursa saham Wall Street ditutup di zona merah pada perdagangan Rabu (05/10/2022), menghentikan relinya pada dua hari beruntun.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,14% ke 30.273,87. Serupa, indeks S&P 500 melemah 0,2% ke 3.783,28 dan Nasdaq Composite tergelincir 0,25% ke 11.148,64.
"Ini adalah momen jeda bagi pasar untuk merenungkan seberapa tahan reli dalam dua hari terakhir sebenarnya bisa berubah," tutur Kepala Strategi Investasi BMO Wealth Management Yung-Yu Ma dikutip CNBC International.
"Pasar membuat penilaian bahwa perlu banyak hal bagi The Fed untuk membuat poros dovish. Ya angka JOLTS sangat diterima, tidak ada pertanyaan tentang itu. Tapi itu benar-benar puncak gunung es dalam hal apa yang dibutuhkan Fed untuk benar-benar mengambil nada yang lebih lembut. Ada beberapa kenyataan yang merayap ke pasar dan jumlah antusiasme mulai memudar," tambahnya.
Pada Rabu (05/10), imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun naik tajam ke 3,77% setelah sempat turun di bawah 3,6% pada hari sebelumnya. Hal tersebut kembali menekan pasar ekuitas.
"Ada pesisme di pasar yang mampu menguat cukup kuat selama beberapa bulan. Saat ini juga ada harapan bahwa musim rilis kinerja keuangan dapat menstabilkan pasar dan mungkin datang untuk menyelamatkan lagi, seperti yang terjadi pada kuartal kemarin," tutur Ma.
Selain itu, bursa saham Wall Street terbebani oleh laporan tenaga kerja nasional ADP yang mengukur perubahan tenaga kerja sektor swasta non-pertanian, yang bertambah 208.000 pekerjaan pada September 2022. Angka tersebut melampaui ekspektasi analis Dow Jones di 200.000 pekerjaan.
Investor global juga masih akan menantikan rilis laporan upah Non-pertanian pada Jumat (7/10).
Amblesnya bursa saham acuan dunia, yakni Wall Street perlu dicermati oleh investor. Pasalnya, setelah reli tajam selama dua hari beruntun, bursa saham AS kembali anjlok kemarin, terbebani oleh imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun yang naik tajam 16 basis poin (bps) ke 3,7729% setelah sempat turun di bawah 3,6% pada hari sebelumnya.
Penurunan tersebut biasanya memiliki efek domino terhadap bursa saham global, tidak terkecuali IHSG.
CEO PT Yugen Bertumbuh Sekuritas, William Surya Wijaya memproyeksikan IHSG akan bergerak di sekitar 6.872-7.236 dan berpotensi melemah.
"Perkembangan pergerakan IHSG masih belum menunjukkan kekuatan naik yang meningkat, sehingga diperkirakan pola tekanan masih akan terlihat hingga beberapa waktu mendatang, sedangkan kinerja emiten yang diperkirakan akan meningkat sepanjang kuartal III-2022 akan dapat memberikan sentimen positif terhadap IHSG dalam beberapa waktu mendatang. Namun, hari ini IHSG diperkirakan akan melemah," tuturnya dalam analisanya.
Sebelum memulai perdagangan hari ini, investor juga perlu mencermati sentimen penggerak pasar, di antaranya:
Pertama, perkumpulan negara-negara produsen minyak mentah dunia yang tergabung dalam OPEC+ telah menyetujui untuk memangkas produksi besar-besaran.
OPEC+ menyetujui untuk mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari dari target produksinya pada Agustus 2022 yang akan dimulai pada November 2022. Hal tersebut menjadi pengurangan produksi tertajam sejak 2020. Langkah ini tentunya akan membatasi pasokan minyak mentah di pasar yang memang sudah ketat.
Produksi yang lebih sedikit tersebut diprediksikan akan memulihkan harga minyak mentah dunia yang sempat drop ke US$ 90 dari US$ 120 pada tiga bulan yang lalu. Langkah tersebut mencerminkan keinginan negara-negara penghasil minyak mentah untuk membendung penurunan harga global baru-baru ini, dengan membatasi pasokan minyak mentah sehingga harga akan tetap tinggi.
Setelahnya, harga minyak mentah jenis Brent naik 1,7% ke US$ 93,37 per barel dan menjadi posisi tertinggi sejak 15 September 2022. Sedangkan jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) melesat 1,4% ke US$ 87,76 per barel dibandingkan dengan harga di perdagangan sebelumnya.
"Misi OPEC adalah memastikan lingkungan penetapan harga yang memadai bagi konsumen dan produsen. Namun, keputusan untuk mengurangi produksi saat ini bertentangan dengan tujuan tersebut," tutur Analis PVM Oil Associates London Stephen Brennock dikutip CNBC International.
"Menekan lebih lanjut persediaan yang sudah ketat akan menjadi tamparan bagi konsumen. Langkah yang dimotivasi secara egois ditujukan murni untuk menguntungkan produsen," tambahnya.
Rohan Reddy, Direktur Penelitian Global X ETFs memprediksikan bahwa keputusan negara OPEC tersebut dapat membuat harga minyak mentah reli kembali ke kisaran US$ 100 per barel, dengan asumsi tidak ada serangan besar Covid secara global dan The Fed tidak menjadi hawkish secara tidak terduga.
"Akibat keputusan tersebut, volatilitas kemungkinan akan kembali ke pasar, meskipun ada kekhawatiran tentang ketahanan ekonomi global, pasar minyak yang ketat akan menjadi penopang harga pada kuartal IV-2022," tutur Reddy.
Ditambah, persediaan minyak mentah AS menurut Administrasi Informasi Energi turun 1,4 juta barel menjadi 429,2 juta barel. Sementara pasokan bensin juga turun 4,7 juta barel.
"Kami pasti melihat pasokan bensin dan solar turun cukup dramatis. Mantra yang kami lihat dalam beberapa pekan terakhir adalah ekonomi melambat dan harga minyak turun karena permintaan puncak, tetapi angka-angka ini tampaknya bertahan jauh lebih baik daripada yang dipikirkan orang." kata Analis Price Futures Group di Chicago Phil Flynn.
Persediaan minyak mentah yang semakin ketat tentunya akan menambah beban pada angka inflasi hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Apalagi notabennya, Indonesia merupakan net importir minyak mentah.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Petralite dan solar bersubsidi pada awal September 2022, berdampak langsung pada melonjaknya angka inflasi. Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada periode September mencapai 1,17%. Dengan demikian inflasi secara tahunan atau year on year (yoy) mencapai 5,95%.
Secara lebih rinci, inflasi yang melonjak didorong oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), antara lain Pertalite, Solar dan Pertamax pada awal September oleh pemerintah. Terlihat inflasi harga diatur pemerintah 13,28%.
Maka dari itu, jika kecenderungan harga minyak mentah dunia berada di US$ 100 per barel, maka yang ditakutkan yakni angka inflasi akan kembali naik.
Kedua, katalis negatif yang kembali menyelimuti pasar global, membuat permintaan akan dolar AS naik. Hal tersebut tercermin pada kinerja indeks dolar AS di pasar spot.
Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang lainnya, berakhir melesat 1,04% ke posisi 111,206 pada perdagangan Rabu (5/10).
Situasi ekonomi yang tidak pasti, membuat para investor beralih pada mata uang yang menawarkan nilai lindung seperti dolar AS. Sehingga, penguatan dolar AS menjadi momok yang ditakutkan karena tekanan terhadap mata uang di emerging market akan tertekan. Termasuk, Mata Uang Garuda.
Ketiga, laporan tenaga kerja nasional ADP yang mengukur perubahan tenaga kerja sektor swasta non-pertanian, yang bertambah 208.000 pekerjaan pada September 2022. Angka tersebut melampaui ekspektasi analis Dow Jones di 200.000 pekerjaan.
Lonjakan besar terjadi pada sektor transportasi yang naik menjadi 147.000 pekerjaan baru. Meski, ada penurunan tajam di sektor lainnya, seperti sektor industri yang turun 29.000 pekerjaan, manufaktur turun 13.000 pekerjaan, dan sektor sumber daya alam dan pertambangan turun 16.000 pekerjaan.
Fed tentunya akan mencermati data ekonomi tersebut untuk dijadikan bahan masukan sebelum memutuskan langkah moneter pada pertemuan selanjutnya di November 2022.
Namun, pasar tenaga kerja yang ketat, membuat inflasi sulit diredam dan bisa bertahan lebih lama, sehingga akan menekan The Fed untuk kembali agresif dengan menaikkan suku bunga acuannya. Meskipun, perekonomian AS telah memasuki zona resesi secara teknis karena PDBnya telah terkontraksi selama dua kuartal beruntun.
Ketua Analis RSM Joseph Brusuelas memprediksikan bahwa jika inflasi merajalela, skenario terburuk akan terlihat pada tingkat pengangguran meningkat menjadi 5,5% dan 3,5 juta pekerjaan akan hilang karena perusahaan harus memberhentikan pekerja untuk menghadapi perlambatan ekonomi dan lonjakan biaya yang akan datang.
"Ini bukan masalah apakah kita akan masuk ke dalam resesi atau tidak, ini tentang kapan kita akan mengalaminya dan tingkat intensitas resesi. Jika Fed berlebih, Anda akan mengalami resesi yang auh lebih dalam dengan pengangguran yang lebih tinggi," paparnya.
Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Kini, momok yang ditakutkan bukan hanya soal resesi tapi sesuatu yang lebih besar dan lebih parah, yakni stagflasi. Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an, dan belum lagi pernah terjadi.
Bahkan, Bank Dunia (World Bank) telah memperingatkan bahwa risiko stagflasi dunia semakin nyata akibat invasi Rusia yang tidak kunjung usai atas Ukraina. Dia menilai kebanyakan orang berpikir bahwa stagflasi adalah masalah khusus untuk Amerika Serikat. Pemikiran ini salah karena stagflasi adalah masalah global.
"Sekarang Anda melihat tingkat inflasi, inflasi saat ini di seluruh dunia mendekati 8%. Itu adalah tingkat tertinggi yang kami lihat sejak 2004," ujarnya.
Dia mengingatkan kenaikan suku bunga sebagai respons meredam tekanan harga, membawa konsekuensi pertumbuhan yang lebih lemah ke depannya.
Sejarah mencatat, episode stagflasi pernah terjadi di era 1970-an. Ekonomi kacau balau dengan disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.
Saat itu, Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur pada 1973.
Akibatnya, embargo atas AS ini memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS sendiri, pasca kondisi tersebut tahun 1974-1982 inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%.
Kondisi ini kemudian merembet ke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.
Para pakar dan ekonom telah mengingatkan bahwa stagflasi lebih sulit "disembuhkan" ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja.
Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.
Namun yang menarik, seorang ekonom senior mengungkapkan "obat" stagflasi yang paling mujarab adalah resesi.
"Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi," kata David Wilcox, ekonom senior di Perterson Institute for International Economics, sebagaimana dilansir The Washington Post, awal Juni lalu.
Ketika resesi terjadi permintaan juga akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi.
Ekonom Senior INDEF, Aviliani menilai Indonesia masih memiliki daya tahan terhadap risiko stagflasi. Meskipun, dampak dari guncangan ekonomi global tetap akan terasa di dalam negeri.
Selain itu, pemerintah telah berupaya menjaga pasokan di domestik dengan menggelontorkan insentif dan kebijakan.
"Sehingga walaupun ekonomi dunia mengalami stagflasi paling tidak kita (Indonesia) bisa tumbuh 4%," kata Aviliani.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Pidato pejabat Fed Atlanta Raphael Bostic (03:00 WIB)
- Neraca Perdagangan Australia per Agustus 2022 (07:30 WIB)
- Klaim pengangguran AS periode di pekan akhir 1 Oktober 2022 (19:30 WIB)
Berikut beberapa agenda korporasi
- RUPSLBPT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS) (09:00 WIB)
- RUPSLB PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) (09:30 WIB)
- RUPSLB PT Citra Mineral Investindo Tbk (CITA) (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Batulicin Nusantara Maritim Tbk (BESS) (10:00 WIB)
- RUPSLB PT Jhonlin Agro Raya Tbk (JARR) (10:00 WIB)
- Pembagian dividen PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (RELI)
Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (Agustus 2022 YoY) | 4.69% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,25% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022) | (1,1%) PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (Agustus 2022) | US$ 123,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA