
Wall Street Balik Arah, IHSG Waspadalah!

Ketiga, laporan tenaga kerja nasional ADP yang mengukur perubahan tenaga kerja sektor swasta non-pertanian, yang bertambah 208.000 pekerjaan pada September 2022. Angka tersebut melampaui ekspektasi analis Dow Jones di 200.000 pekerjaan.
Lonjakan besar terjadi pada sektor transportasi yang naik menjadi 147.000 pekerjaan baru. Meski, ada penurunan tajam di sektor lainnya, seperti sektor industri yang turun 29.000 pekerjaan, manufaktur turun 13.000 pekerjaan, dan sektor sumber daya alam dan pertambangan turun 16.000 pekerjaan.
Fed tentunya akan mencermati data ekonomi tersebut untuk dijadikan bahan masukan sebelum memutuskan langkah moneter pada pertemuan selanjutnya di November 2022.
Namun, pasar tenaga kerja yang ketat, membuat inflasi sulit diredam dan bisa bertahan lebih lama, sehingga akan menekan The Fed untuk kembali agresif dengan menaikkan suku bunga acuannya. Meskipun, perekonomian AS telah memasuki zona resesi secara teknis karena PDBnya telah terkontraksi selama dua kuartal beruntun.
Ketua Analis RSM Joseph Brusuelas memprediksikan bahwa jika inflasi merajalela, skenario terburuk akan terlihat pada tingkat pengangguran meningkat menjadi 5,5% dan 3,5 juta pekerjaan akan hilang karena perusahaan harus memberhentikan pekerja untuk menghadapi perlambatan ekonomi dan lonjakan biaya yang akan datang.
"Ini bukan masalah apakah kita akan masuk ke dalam resesi atau tidak, ini tentang kapan kita akan mengalaminya dan tingkat intensitas resesi. Jika Fed berlebih, Anda akan mengalami resesi yang auh lebih dalam dengan pengangguran yang lebih tinggi," paparnya.
Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Kini, momok yang ditakutkan bukan hanya soal resesi tapi sesuatu yang lebih besar dan lebih parah, yakni stagflasi. Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an, dan belum lagi pernah terjadi.
Bahkan, Bank Dunia (World Bank) telah memperingatkan bahwa risiko stagflasi dunia semakin nyata akibat invasi Rusia yang tidak kunjung usai atas Ukraina. Dia menilai kebanyakan orang berpikir bahwa stagflasi adalah masalah khusus untuk Amerika Serikat. Pemikiran ini salah karena stagflasi adalah masalah global.
"Sekarang Anda melihat tingkat inflasi, inflasi saat ini di seluruh dunia mendekati 8%. Itu adalah tingkat tertinggi yang kami lihat sejak 2004," ujarnya.
Dia mengingatkan kenaikan suku bunga sebagai respons meredam tekanan harga, membawa konsekuensi pertumbuhan yang lebih lemah ke depannya.
Sejarah mencatat, episode stagflasi pernah terjadi di era 1970-an. Ekonomi kacau balau dengan disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.
Saat itu, Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur pada 1973.
Akibatnya, embargo atas AS ini memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS sendiri, pasca kondisi tersebut tahun 1974-1982 inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%.
Kondisi ini kemudian merembet ke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.
Para pakar dan ekonom telah mengingatkan bahwa stagflasi lebih sulit "disembuhkan" ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja.
Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.
Namun yang menarik, seorang ekonom senior mengungkapkan "obat" stagflasi yang paling mujarab adalah resesi.
"Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi," kata David Wilcox, ekonom senior di Perterson Institute for International Economics, sebagaimana dilansir The Washington Post, awal Juni lalu.
Ketika resesi terjadi permintaan juga akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi.
Ekonom Senior INDEF, Aviliani menilai Indonesia masih memiliki daya tahan terhadap risiko stagflasi. Meskipun, dampak dari guncangan ekonomi global tetap akan terasa di dalam negeri.
Selain itu, pemerintah telah berupaya menjaga pasokan di domestik dengan menggelontorkan insentif dan kebijakan.
"Sehingga walaupun ekonomi dunia mengalami stagflasi paling tidak kita (Indonesia) bisa tumbuh 4%," kata Aviliani.
(aaf/aaf)