Newsletter

Wall Street Balik Arah, IHSG Waspadalah!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
06 October 2022 05:57
Aktivitas Perdagangan Bursa
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Amblesnya bursa saham acuan dunia, yakni Wall Street perlu dicermati oleh investor. Pasalnya, setelah reli tajam selama dua hari beruntun, bursa saham AS kembali anjlok kemarin, terbebani oleh imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun yang naik tajam 16 basis poin (bps) ke 3,7729% setelah sempat turun di bawah 3,6% pada hari sebelumnya.

Penurunan tersebut biasanya memiliki efek domino terhadap bursa saham global, tidak terkecuali IHSG.

CEO PT Yugen Bertumbuh Sekuritas, William Surya Wijaya memproyeksikan IHSG akan bergerak di sekitar 6.872-7.236 dan berpotensi melemah.

"Perkembangan pergerakan IHSG masih belum menunjukkan kekuatan naik yang meningkat, sehingga diperkirakan pola tekanan masih akan terlihat hingga beberapa waktu mendatang, sedangkan kinerja emiten yang diperkirakan akan meningkat sepanjang kuartal III-2022 akan dapat memberikan sentimen positif terhadap IHSG dalam beberapa waktu mendatang. Namun, hari ini IHSG diperkirakan akan melemah," tuturnya dalam analisanya.

Sebelum memulai perdagangan hari ini, investor juga perlu mencermati sentimen penggerak pasar, di antaranya:

Pertama, perkumpulan negara-negara produsen minyak mentah dunia yang tergabung dalam OPEC+ telah menyetujui untuk memangkas produksi besar-besaran.

OPEC+ menyetujui untuk mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari dari target produksinya pada Agustus 2022 yang akan dimulai pada November 2022. Hal tersebut menjadi pengurangan produksi tertajam sejak 2020. Langkah ini tentunya akan membatasi pasokan minyak mentah di pasar yang memang sudah ketat.

Produksi yang lebih sedikit tersebut diprediksikan akan memulihkan harga minyak mentah dunia yang sempat drop ke US$ 90 dari US$ 120 pada tiga bulan yang lalu. Langkah tersebut mencerminkan keinginan negara-negara penghasil minyak mentah untuk membendung penurunan harga global baru-baru ini, dengan membatasi pasokan minyak mentah sehingga harga akan tetap tinggi.

Setelahnya, harga minyak mentah jenis Brent naik 1,7% ke US$ 93,37 per barel dan menjadi posisi tertinggi sejak 15 September 2022. Sedangkan jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) melesat 1,4% ke US$ 87,76 per barel dibandingkan dengan harga di perdagangan sebelumnya.

"Misi OPEC adalah memastikan lingkungan penetapan harga yang memadai bagi konsumen dan produsen. Namun, keputusan untuk mengurangi produksi saat ini bertentangan dengan tujuan tersebut," tutur Analis PVM Oil Associates London Stephen Brennock dikutip CNBC International.

"Menekan lebih lanjut persediaan yang sudah ketat akan menjadi tamparan bagi konsumen. Langkah yang dimotivasi secara egois ditujukan murni untuk menguntungkan produsen," tambahnya.

Rohan Reddy, Direktur Penelitian Global X ETFs memprediksikan bahwa keputusan negara OPEC tersebut dapat membuat harga minyak mentah reli kembali ke kisaran US$ 100 per barel, dengan asumsi tidak ada serangan besar Covid secara global dan The Fed tidak menjadi hawkish secara tidak terduga.

"Akibat keputusan tersebut, volatilitas kemungkinan akan kembali ke pasar, meskipun ada kekhawatiran tentang ketahanan ekonomi global, pasar minyak yang ketat akan menjadi penopang harga pada kuartal IV-2022," tutur Reddy.

Ditambah, persediaan minyak mentah AS menurut Administrasi Informasi Energi turun 1,4 juta barel menjadi 429,2 juta barel. Sementara pasokan bensin juga turun 4,7 juta barel.

"Kami pasti melihat pasokan bensin dan solar turun cukup dramatis. Mantra yang kami lihat dalam beberapa pekan terakhir adalah ekonomi melambat dan harga minyak turun karena permintaan puncak, tetapi angka-angka ini tampaknya bertahan jauh lebih baik daripada yang dipikirkan orang." kata Analis Price Futures Group di Chicago Phil Flynn.

Persediaan minyak mentah yang semakin ketat tentunya akan menambah beban pada angka inflasi hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Apalagi notabennya, Indonesia merupakan net importir minyak mentah.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Petralite dan solar bersubsidi pada awal September 2022, berdampak langsung pada melonjaknya angka inflasi. Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada periode September mencapai 1,17%. Dengan demikian inflasi secara tahunan atau year on year (yoy) mencapai 5,95%.

Secara lebih rinci, inflasi yang melonjak didorong oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), antara lain Pertalite, Solar dan Pertamax pada awal September oleh pemerintah. Terlihat inflasi harga diatur pemerintah 13,28%.

Maka dari itu, jika kecenderungan harga minyak mentah dunia berada di US$ 100 per barel, maka yang ditakutkan yakni angka inflasi akan kembali naik.

Kedua, katalis negatif yang kembali menyelimuti pasar global, membuat permintaan akan dolar AS naik. Hal tersebut tercermin pada kinerja indeks dolar AS di pasar spot.

Indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang lainnya, berakhir melesat 1,04% ke posisi 111,206 pada perdagangan Rabu (5/10).

Situasi ekonomi yang tidak pasti, membuat para investor beralih pada mata uang yang menawarkan nilai lindung seperti dolar AS. Sehingga, penguatan dolar AS menjadi momok yang ditakutkan karena tekanan terhadap mata uang di emerging market akan tertekan. Termasuk, Mata Uang Garuda. 

(aaf/aaf)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular