Newsletter

Dunia Makin Suram! Tak Cuma Amerika, China Juga Sakit

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 August 2022 06:15
Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Presiden AS Joe Biden  (4/12/2020).
Foto: Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Presiden AS Joe Biden (4/12/2020). (AP/Lintao Zhang)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia bergejolak di awal pekan kemarin. Tekanan dari eksternal dan internal membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat nyaris menembus ke bawah 7.000, dan rupiah menyentuh Rp 14.900/US$. Pasar obligasi juga bernasib sama.

Pada perdagangan Selasa (30/8/2022), pasar finansial Indonesia masih berisiko merosot. Sebab, masalah perekonomian tidak hanya melanda negara-negara yang mengalami inflasi tinggi seperti Amerika Serikat (AS). China juga sedang sakit dengan masalahnya sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini dibahas pada halaman 3 dan 4.

Kembali lagi ke pergerakan kemarin, IHSG sempat jeblok hingga 1,68% ke 7.015,347. Namun, bursa kebanggaan Tanah Air ini perlahan memangkas pelemahan hingga berakhir di 7.132,045 atau melemah 0,04% saja.

Investor asing masih melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 240 miliar di pasar reguler, tunai dan nego.

Nasib berbeda diterima rupiah, sempat jeblok hingga 0,57% melawan dolar AS ke Rp 14.900/US$, pelemahan hanya bisa dipangkas sedikit saja. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.895/US$, atau melemah 0,54%.

Dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) tenor 1 sampai 15 tahun mengalami pelemahan, terlihat dari imbal hasil (yield) yang mengalami kenaikan. SBN tenor 1 tahun bahkan yield-nya naik 21 basis poin.

Sementara SBN tenor 20 tahun, 25 dan 30 tahun mengalami penguatan, yield-nya menurun.

Tekanan dari eksternal datang dari pidato ketua The Fed, Jerome Powell, di simposium Jackson Hole Jumat pekan lalu waktu setempat.

Dalam pidato tersebut, Powell menegaskan akan terus menaikkan suku bunga dan mempertahankannya di level tinggi dalam waktu yang cukup lama. Ia juga menyatakan, perekonomian AS akan mengalami "beberapa rasa sakit", tetapi itu harus dilakukan ketimbang inflasi menjadi tak terkendali.

"Saat suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah maka akan membawa inflasi turun, itu juga akan memberikan beberapa kesakitan bagi rumah tangga dan dunia usaha. Itu adalah biaya yang harus kita tanggung guna menurunkan inflasi. Memang menyakitkan, tetapi kegagalan menurunkan inflasi berarti penderitaan yang lebih besar akan terjadi," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/8/2022).

Pernyataan Powell tersebut dilihat pasar sebagai indikasi The Fed akan membiarkan perekonomian AS mengalami resesi guna meredam inflasi.

Hal yang sama kemungkinan akan dilakukan bank sentral lainnya yang juga mengalami masalah inflasi tinggi. Sehingga, resesi dunia menjadi kian nyata.

Alhasil, sentimen pelaku pasar memburuk, pasar finansial Indonesia juga ikut terpukul.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Lagi-Lagi Ambrol



Bursa saham AS (Wall Street) kembali ambrol pada perdagangan Senin waktu setempat, melanjutkan kinerja buruk Jumat pekan lalu.

Indeks Dow Jones sempat merosot hingga 300 poin sebelum berhasil di pangkas menjadi 184 poin ke 32.098,99 atau melemah 0,57%. Indeks Nasdaq merosot 0,67% ke 4.030,61, dan Nasdaq ambrol lebih dari 1% ke 12.017,67.

Seperti diketahui, sejak Powell berpidato di simposium Jackson Hole Wall Street terus merosot. Jumat lalu ketiga indeks utama jeblok lebih dari 3%.

Sentimen pelaku pasar yang buruk pun meluas ke berbagai belahan bumi. Isu resesi dunia semakin menguat, sebab banyak bank sentral diperkirakan akan mengambil langkah yang sama dengan The Fed guna meredam inflasi.

"Volatilitas pasar ke depannya akan meningkat sebab bank sentral di dunia akan lebih agresif, kata Mohamed El-Erian, kepala penasehat ekonomi Allianz, dalam acara "Squawk Box" CNBC International, Senin (29/8/2022) waktu setempat.

Pejabat elit bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) kini sudah mengindikasikan harus agresif demi meredam inflasi.

Seperti diketahui, ECB di bawah pimpinan Christine Lagarde pada bulan lalu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0%.

Dengan suku bunga 0%, ECB masih memberikan stimulus ke perekonomian, dan masih berisiko memicu inflasi. Para ekonom menganggap suku bunga ECB akan netral jika berada di 1,5%.

Artinya, ECB kemungkinan akan bertindak agresif juga guna meredam inflasi yang berada di rekor tertinggi sepanjang masa.

Anggota dewan gubernur ECB Isabel Schnabel pada akhir pekan lalu mengatakan bank sentral harus agresif dalam meredam inflasi, meski konsekuensinya perekonomian mengalami resesi.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Jebloknya Wall Street lagi-lagi akan mengirim hawa negatif ke pasar Asia hari ini. IHSG berisiko tertekan lagi, begitu juga dengan rupiah dan SBN.

Isu resesi di Amerika Serikat bahkan dunia terus membayangi sentimen pelaku pasar. Saat ini masih ada perdebatan apakah perekonomian AS sudah mengalami resesi atau masih kuat. Sebab biasanya suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi dua kuartal beruntun.

Amerika Serikat sudah mengalaminya, tetapi pasar tenaga kerjanya masih sangat kuat. Alhasil, muncul perdebatan tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri perekonomian Amerika Serikat sedang sakit, terutama akibat inflasi yang berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

The Fed pun harus mengorbankan perekonomiannya dengan agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Resesi sepertinya pasti akan terjadi.

Hasil survei terbaru dari Reurters menunjukkan para analis melihat perekonomian AS akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan, dengan probabilitas 45%, naik dari probabilitas dalam survei Juli lalu sebesar 40%.

Tidak hanya Amerika Serikat, Eropa dan negara-negara yang mengalami penyakit inflasi juga terancam mengalami resesi.

Dalam sebuah makalah yang dirilis saat simposium Jackson Hole pekan lalu menunjukkan bank sentral disebut tidak bisa menurunkan inflasi sendiri, dan bisa membuat situasi bertambah buruk.

Riset yang ditulis oleh Francesso Bianchi dari John Hopkins University dan Leonardo Melosi dari The Fed Chicago menyebut inflasi saat ini dipicu oleh belanja pemerintah yang merespon pandemi Covid-19, dan menaikkan suku bunga tidak akan cukup untuk menurunkannya.

Artinya jika belanja pemerintah dikurangi untuk menurunkan inflasi, maka kontraksi ekonomi akan semakin dalam dan resesi semakin nyata.

Selain itu, China yang tingkat inflasinya masih terjaga justru mengalami masalah berbeda. Pemerintah China yang menerapkan kebijakan zero covid, kemudian kekeringan yang melanda membuat pertumbuhan ekonominya diperkirakan merosot. Artinya, China juga sakit seperti AS.

Tanda-tanda perekonomian China sedang sakit terlihat dari PDB di kuartal II-2022 yang hanya tumbuh 0,4% year-on-year (yoy). Memang China masih menerapkan kebijakan lockdown jika terjadi lonjakan kasus Covid-19, tetapi ada masalah berbeda juta, mulai dari krisis sektor properti hingga kekeringan.

Sakitnya perekonomian China juga terkonfirmasi dari jebloknya pendapatan raksasa e-commerce.

Pada kuartal II-2022, Alibaba melaporkan pertumbuhan pendapatan yang flat untuk pertama kalinya dalam sejarah. Bahkan, mereka harus menunda beberapa proyeknya.

JD.com, yang merupakan perusahaan e-commerce terbesar kedua di China, juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang paling lamban dalam sejarah. Namun, mereka masih dapat mengendalikan rantai pasokan dan inventaris logistiknya, meskipun ada kenaikan pada biaya operasional.

Buruknya kinerja raksasa e-commerce tersebut menunjukkan masalah China tidak sekedar lockdown, tetapi daya beli masyarakat yang menurun. Tak ayal, bank sentral China juga beberapa kali memangkas suku bunganya guna memacu perekonomian.

Yang jadi masalah, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia dan pasar ekspor utama Indonesia. Ketika perekonomiannya melambat, maka dampaknya akan terasa sampai ke dalam negeri.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Dari dalam negeri, pelaku pasar masih menanti pengumuman harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar.

Isu kenaikan keduanya semakin menguat setelah pemerintah menggelontorkan bantuan sosial senilai Rp 24 triliun. Memang pemerintah tidak secara gamblang menyebut bansos tersebut sebagai bantalan dari dana pengalihan subsidi BBM.

Namun, melihat dinamika yang terjadi belakangan ini, arahnya sangat kuat ke sana.

Informasi yang diterima oleh CNBC Indonesia, kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar Subsidi ini akan diumumkan pada 31 Agustus ini, dan harga baru kedua BBM tersebut akan berlaku pada 1 September 2022 ini.

"Pada hari Senin (29/8/2022) akan ada rapat lanjutan mengenai tindak lanjut rapat-rapat sebelumnya," ungkap sumber tersebut kepada CNBCIndonesia, Sabtu (27/8/2022).

Sementara itu, dari sumber tersebut juga, kemungkinan kenaikan harga BBM Pertalite di SPBU Pertamina masih akan berada di bawah Rp 10.000 per liter dengan range kenaikan Rp 1.000 sampai Rp 2.500 dari harga yang saat ini Rp 7.650 per liter.

"Kemungkinan di bawah Rp 10.000/liter," kata sumber tersebut.

Selama masih belum ada kepastian kenaikan harga Pertalite, maka pasar masih akan volatil. Maklum saja, kenaikan harga Pertalite dan Solar bisa memicu inflasi tinggi, yang bisa menggerus daya beli masyarakat, pada akhirnya berdampak pada pelambatan ekonomi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • RUPS PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY)
  • Data sektor perumahan Australia (8:30 WIB)
  • Data inflasi Jerman (19:00 WIB)
  • Data pembukaan lapangan kerja AS (21:00 WIB)
  • Data indeks keyakinan konsumen AS (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

5,44%

Inflasi (Juli 2022 YoY)

4,94%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2022)

3,75%

Surplus Anggaran (APBN 2022 per Juli)

0,57% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY)

1,1% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (Juli 2022)

US$ 132,2 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular