Newsletter

Dunia Makin Suram! Tak Cuma Amerika, China Juga Sakit

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 August 2022 06:15
cina
Foto: REUTERS/David Gray

Jebloknya Wall Street lagi-lagi akan mengirim hawa negatif ke pasar Asia hari ini. IHSG berisiko tertekan lagi, begitu juga dengan rupiah dan SBN.

Isu resesi di Amerika Serikat bahkan dunia terus membayangi sentimen pelaku pasar. Saat ini masih ada perdebatan apakah perekonomian AS sudah mengalami resesi atau masih kuat. Sebab biasanya suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi dua kuartal beruntun.

Amerika Serikat sudah mengalaminya, tetapi pasar tenaga kerjanya masih sangat kuat. Alhasil, muncul perdebatan tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri perekonomian Amerika Serikat sedang sakit, terutama akibat inflasi yang berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

The Fed pun harus mengorbankan perekonomiannya dengan agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Resesi sepertinya pasti akan terjadi.

Hasil survei terbaru dari Reurters menunjukkan para analis melihat perekonomian AS akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan, dengan probabilitas 45%, naik dari probabilitas dalam survei Juli lalu sebesar 40%.

Tidak hanya Amerika Serikat, Eropa dan negara-negara yang mengalami penyakit inflasi juga terancam mengalami resesi.

Dalam sebuah makalah yang dirilis saat simposium Jackson Hole pekan lalu menunjukkan bank sentral disebut tidak bisa menurunkan inflasi sendiri, dan bisa membuat situasi bertambah buruk.

Riset yang ditulis oleh Francesso Bianchi dari John Hopkins University dan Leonardo Melosi dari The Fed Chicago menyebut inflasi saat ini dipicu oleh belanja pemerintah yang merespon pandemi Covid-19, dan menaikkan suku bunga tidak akan cukup untuk menurunkannya.

Artinya jika belanja pemerintah dikurangi untuk menurunkan inflasi, maka kontraksi ekonomi akan semakin dalam dan resesi semakin nyata.

Selain itu, China yang tingkat inflasinya masih terjaga justru mengalami masalah berbeda. Pemerintah China yang menerapkan kebijakan zero covid, kemudian kekeringan yang melanda membuat pertumbuhan ekonominya diperkirakan merosot. Artinya, China juga sakit seperti AS.

Tanda-tanda perekonomian China sedang sakit terlihat dari PDB di kuartal II-2022 yang hanya tumbuh 0,4% year-on-year (yoy). Memang China masih menerapkan kebijakan lockdown jika terjadi lonjakan kasus Covid-19, tetapi ada masalah berbeda juta, mulai dari krisis sektor properti hingga kekeringan.

Sakitnya perekonomian China juga terkonfirmasi dari jebloknya pendapatan raksasa e-commerce.

Pada kuartal II-2022, Alibaba melaporkan pertumbuhan pendapatan yang flat untuk pertama kalinya dalam sejarah. Bahkan, mereka harus menunda beberapa proyeknya.

JD.com, yang merupakan perusahaan e-commerce terbesar kedua di China, juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang paling lamban dalam sejarah. Namun, mereka masih dapat mengendalikan rantai pasokan dan inventaris logistiknya, meskipun ada kenaikan pada biaya operasional.

Buruknya kinerja raksasa e-commerce tersebut menunjukkan masalah China tidak sekedar lockdown, tetapi daya beli masyarakat yang menurun. Tak ayal, bank sentral China juga beberapa kali memangkas suku bunganya guna memacu perekonomian.

Yang jadi masalah, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia dan pasar ekspor utama Indonesia. Ketika perekonomiannya melambat, maka dampaknya akan terasa sampai ke dalam negeri.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular