Newsletter

Apa Kabar IHSG Hari Ini? Pantau The Fed & MH Thamrin

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Selasa, 23/08/2022 06:15 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Senin (22/8/2022) kemarin kompak terkoreksi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan harga obligasi pemerintah ditutup melemah.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup merosot 0,9% ke posisi 7.107,98. Indeks bursa saham Tanah Air tersebut nyaris keluar dari zona psikologisnya di 7.100 pada perdagangan kemarin.

Pada awal perdagangan sesi I kemarin, IHSG dibuka melemah 0,28% di posisi 7.152,13. Bahkan, IHSG sempat menyentuh posisi terendahnya di 7.064,5. Berbeda dengan perdagangan akhir pekan lalu, sepanjang perdagangan kemarin, IHSG konsisten bergerak di zona merah.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 13 triliun dengan melibatkan 26 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 138 saham terapresiasi, 399 saham terdepresiasi, dan 156 saham lainnya stagnan.

Investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 956,72 miliar di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 956,65 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 67,77 juta di pasar tunai dan negosiasi.

Di Asia-Pasifik, hampir seluruh bursa utamanya mengalami koreksi. Hanya indeks Shanghai Composite China dan Straits Times Singapura yang ditutup cerah kemarin, di mana Shanghai ditutup menguat 0,6% sedangkan Straits Times terapresiasi 0,49%.

Sedangkan dari indeks Asia-Pasifik yang mengalami koreksi, indeks bursa saham Filipina menjadi yang paling parah koreksinya kemarin, yakni mencapai 2,32%. Kemudian disusul indeks BSE Sensex India yang ambles 1,46%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan Senin kemarin ditutup melemah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Dengan demikian, rupiah sudah tidak pernah menguat dalam 5 hari perdagangan beruntun. Sepanjang pekan lalu, Mata Uang Garuda sudah merosot lebih dari 1%.

Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,1% dan semakin membengkak hingga nyaris menyentuh Rp 14.900/US$, atau merosot 0,37%.

Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.885/US$, melemah 0,34% di pasar spot.

Sementara untuk mata uang Asia-Pasifik lainnya, secara mayoritas juga mengalami pelemahan. Hanya dolar Australia dan rupee India yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Senin kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin, secara mayoritas mengalami pelemahan harga dan peningkatan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.

Hanya SBN tenor 3, 25 dan 30 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield.

Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 3 tahun melandai 1,1 basis poin (bp) ke posisi 6,085%. Sedangkan yield bertenor 25 tahun melemah 3,4 bp ke 7,523%, dan yield berjangka waktu 30 tahun turun 0,4 bp ke 7,337%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menguat 6,1 bp ke posisi 7,155%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.

Biang kerok terkoreksinya IHSG dan rupiah adalah isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.

Pemerintah diisukan akan mengumumkan kenaikan tersebut di pekan ini. Hal tersebut disinyalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.

"Minggu depan Presiden akan mengumumkan terkait apa dan bagaimana mengenai harga BBM ini. Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," ungkap Menko Luhut dalam Kuliah Umum Menko Marves di Universitas Hasanudin dikutip Minggu (21/8/2022).

"Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," tambahnya.

Jika harga Pertalite dinaikkan, maka inflasi di Indonesia kemungkinan akan melesat. Saat inflasi semakin meninggi, maka nilai tukar mata uang semakin tergerus. Rupiah pun tertekan.

Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (year-on-year/yoy).

Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).

Selain itu, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa besok yang bisa menjadi penggerak rupiah.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan sebagian besar lembaga/institusi memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%.

Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 10 memproyeksi BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,50%. Dua lainnya memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada bulan ini.

Suku bunga acuan sebesar 3,5% sudah berlaku sejak Februari 2021 atau 18 bulan terakhir.


(chd/sef)
Pages