Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Senin (22/8/2022) kemarin kompak terkoreksi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan harga obligasi pemerintah ditutup melemah.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup merosot 0,9% ke posisi 7.107,98. Indeks bursa saham Tanah Air tersebut nyaris keluar dari zona psikologisnya di 7.100 pada perdagangan kemarin.
Pada awal perdagangan sesi I kemarin, IHSG dibuka melemah 0,28% di posisi 7.152,13. Bahkan, IHSG sempat menyentuh posisi terendahnya di 7.064,5. Berbeda dengan perdagangan akhir pekan lalu, sepanjang perdagangan kemarin, IHSG konsisten bergerak di zona merah.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 13 triliun dengan melibatkan 26 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 138 saham terapresiasi, 399 saham terdepresiasi, dan 156 saham lainnya stagnan.
Investor asing kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 956,72 miliar di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 956,65 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 67,77 juta di pasar tunai dan negosiasi.
Di Asia-Pasifik, hampir seluruh bursa utamanya mengalami koreksi. Hanya indeks Shanghai Composite China dan Straits Times Singapura yang ditutup cerah kemarin, di mana Shanghai ditutup menguat 0,6% sedangkan Straits Times terapresiasi 0,49%.
Sedangkan dari indeks Asia-Pasifik yang mengalami koreksi, indeks bursa saham Filipina menjadi yang paling parah koreksinya kemarin, yakni mencapai 2,32%. Kemudian disusul indeks BSE Sensex India yang ambles 1,46%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan Senin kemarin ditutup melemah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Dengan demikian, rupiah sudah tidak pernah menguat dalam 5 hari perdagangan beruntun. Sepanjang pekan lalu, Mata Uang Garuda sudah merosot lebih dari 1%.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,1% dan semakin membengkak hingga nyaris menyentuh Rp 14.900/US$, atau merosot 0,37%.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.885/US$, melemah 0,34% di pasar spot.
Sementara untuk mata uang Asia-Pasifik lainnya, secara mayoritas juga mengalami pelemahan. Hanya dolar Australia dan rupee India yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Senin kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin, secara mayoritas mengalami pelemahan harga dan peningkatan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.
Hanya SBN tenor 3, 25 dan 30 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield.
Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 3 tahun melandai 1,1 basis poin (bp) ke posisi 6,085%. Sedangkan yield bertenor 25 tahun melemah 3,4 bp ke 7,523%, dan yield berjangka waktu 30 tahun turun 0,4 bp ke 7,337%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menguat 6,1 bp ke posisi 7,155%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.
Biang kerok terkoreksinya IHSG dan rupiah adalah isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Pemerintah diisukan akan mengumumkan kenaikan tersebut di pekan ini. Hal tersebut disinyalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.
"Minggu depan Presiden akan mengumumkan terkait apa dan bagaimana mengenai harga BBM ini. Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," ungkap Menko Luhut dalam Kuliah Umum Menko Marves di Universitas Hasanudin dikutip Minggu (21/8/2022).
"Jadi Presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita pertahankan terus demikian, karena harga BBM kita jauh lebih murah di kawasan Asia ini, dan itu beban terlalu besar kepada APBN kita," tambahnya.
Jika harga Pertalite dinaikkan, maka inflasi di Indonesia kemungkinan akan melesat. Saat inflasi semakin meninggi, maka nilai tukar mata uang semakin tergerus. Rupiah pun tertekan.
Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (year-on-year/yoy).
Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Selain itu, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa besok yang bisa menjadi penggerak rupiah.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan sebagian besar lembaga/institusi memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%.
Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 10 memproyeksi BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,50%. Dua lainnya memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada bulan ini.
Suku bunga acuan sebesar 3,5% sudah berlaku sejak Februari 2021 atau 18 bulan terakhir.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street kembali terkoreksi pada perdagangan Senin kemarin, menghentikan reli pekan lalu karena kekhawatiran pada kenaikan suku bunga yang agresif dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,91% ke posisi 33.063,61, S&P 500 ambruk 2,14% ke 4.137,99, dan Nasdaq Composite anjlok 2,55% menjadi 12.381,57.
Investor hingga saat ini masih mengantisipasi komentar terbaru Ketua The Fed, Jerome Powell tentang kondisi inflasi dan potensi kenaikan suku bunga dalam simposium ekonomi tahunan bank sentral AS yang akan di helat di Jackson Hole, Wyoming mulai dari Kamis hingga Jumat pekan ini.
Hal ini dapat terlihat dari indeks CBOE Volatility atau indeks VIX, yang naik menjadi 23,9, tertinggi dalam lebih dari dua minggu terakhir, menandakan bahwa pelaku pasar semakin khawatir. Index VIX dapat digunakan sebagai pengukur psikologis pasar di Wall Street.
"Ketika Anda melihat pasar saat ini turun seperti ini, hal ini merupakan pasar yang mengatakan The Fed harus lebih agresif untuk memperlambat ekonomi lebih lanjut, jika mereka ingin menurunkan inflasi kembali," kata Robert Cantwell, manajer portofolio di Upholdings, dikutip dari CNBC International.
Saham teknologi di AS terkoreksi karena terbebani oleh potensi kenaikan suku bunga acuan yang lebih tinggi oleh The Fed, seperti saham Amazon yang tergelincir 3,6% sedangkan saham Nvidia ambrol 4,6%.
Di lain sisi, saham Netflix ambruk 6,1% setelah beberapa analis merubah rekomendasinya dari sebelumnya dijual menjadi hold.
Menurut analis dari Wells Fargo, Michael Schumacher, pasar memprediksi Powell akan berbicara lebih keras tentang kenaikan suku bunga acuan, setelah komentar hawkish baru-baru ini dari para pejabat The Fed lainnya.
"Kami tidak yakin dia akan mencabut cakarnya dan akan terdengar lebih hawkish. Kami berpikir bahwa ketakutan pelaku pasar adalah dia akan menjadi makin hawkish," kata Schumacher, sebagaimana dilansir dari CNBC International.
Pekan lalu, Presiden The Fed St. Louis, James Bullard mengatakan bahwa dia ingin melihat kenaikan suku bunga 0,75 poin persentase ketiga berturut-turut pada September mendatang.
Tak hanya Bullard saja, Presiden the Fed San Francisco, Mary Daly juga bersikap sama, di mana Daly juga mengharapkan kenaikan 75 basis poin (bp) sangat terbuka pada September.
Bullard berharap suku bunga acuan bisa di bawa ke kisaran 3,75-4,00% pada akhir tahun ini. The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bp sepanjang tahun ini sehingga kini ada di kisaran 2,25%-2,50%.
"Inflasi masih sangat tinggi. Memang sedikit melandai tapi saya belum senang dengan itu. Saya tidak menghitung (penurunan inflasi Juli). Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," tutur Daly, kepada CNN International.
Pelaku pasar dalam polling Reuters memperkirakan The Fed akan kembali menaikan suku bunga acuannya sebesar 50 bp pada pertemuan edisi September.
Hal ini menyebabkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali menanjak pada perdagangan kemarin.
Yield Treasury tenor 10 tahun yang merupakan acuan (benchmark) obligasi pemerintah Negeri Paman Sam menanjak ke posisi 3,024% pada perdagangan Senin kemarin, di mana yield Treasury tenor 10 tahun menyentuh kisaran 3% untuk pertama kalinya sejak 21 Juli lalu.
Pada hari ini, investor akan memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang terpantau berjatuhan pada perdagangan awal pekan ini.
Ambruknya Wall Street terjadi karena investor masih mengantisipasi komentar terbaru Ketua The Fed, Jerome Powell tentang kondisi inflasi dan potensi kenaikan suku bunga dalam simposium ekonomi tahunan bank sentral AS yang akan di helat di Jackson Hole, Wyoming mulai dari Kamis hingga Jumat pekan ini.
Kekhawatiran investor kembali muncul setelah komentar dari Presiden The Fed St. Louis, James Bullard mengatakan bahwa dia ingin melihat kenaikan suku bunga 0,75 poin persentase ketiga berturut-turut pada September mendatang.
Tak hanya Bullard saja, Presiden the Fed San Francisco, Mary Daly juga bersikap sama, di mana Daly juga mengharapkan kenaikan 75 basis poin (bp) sangat terbuka pada September.
Bullard berharap suku bunga acuan bisa di bawa ke kisaran 3,75-4,00% pada akhir tahun ini. The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bp sepanjang tahun ini sehingga kini ada di kisaran 2,25%-2,50%.
Saat ini, prediksi pasar cenderung terbelah, di mana ada yang memperkirakan The Fed akan menaikkan kembali suku bunga acuannya sebesar 50 bp pada pertemuan September mendatang, ada juga yang memperkirakan kenaikan 75 bp.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 50 bp ke 2,75-3% adalah 58,5%. Sementara kemungkinan kenaikan 75 bp adalah 41,5%.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuan 225 bp sepanjang tahun ini. Namun, The Fed diperkirakan belum akan melunak. Dalam rapat bulan depan, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan hampir pasti akan kembali menaikkan Federal Funds Rate.
Di lain sisi, investor global pada hari ini akan memantau rilis data flash reading dari aktivitas manufaktur, jasa, dan komposit yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode Agustus 2022 di beberapa negara.
Adapun negara-negara yang akan merilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan komposite adalah Australia, Jepang, Uni Eropa, Inggris, Jerman, Prancis, dan AS.
Selain data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan komposit, beberapa negara juga akan merilis data indeks keyakinan konsumen (IKK), seperti di Korea Selatan dan Uni Eropa.
Sementara itu di AS, data penjualan rumah baru pada periode Juli 2022 juga akan dirilis pada malam hari ini waktu Indonesia.
Beralih ke dalam negeri atau Indonesia, pasar akan memantau hasil dari Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada siang hari ini, di mana rapat kebijakan moneter terbaru ini digelar pada Senin hingga Selasa pekan ini.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan sebagian besar lembaga/institusi memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%.
Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 11 memproyeksi BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,50%. Dua lainnya memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bp menjadi 3,75% pada bulan ini.
Sebagai informasi, suku bunga acuan BI sebesar 3,5% sudah berlaku sejak Februari 2021 atau 18 bulan terakhir.
Pelaku pasar juga masih menimbang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Pemerintah diisukan akan mengumumkan kenaikan tersebut di pekan ini. Hal tersebut disinyalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.
Jika harga Pertalite dinaikkan, maka inflasi di Indonesia kemungkinan akan melesat. Saat inflasi semakin meninggi, maka nilai tukar mata uang semakin tergerus. Rupiah pun dapat makin tertekan.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data indeks keyakinan konsumen Korea Selatan periode Agustus 2022 (04:00 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Australia periode Agustus 2022 (06:00 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Jepang periode Agustus 2022 (07:30 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Prancis periode Agustus 2022 (14:15 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Jerman periode Agustus 2022 (14:30 WIB),
- Keputusan suku bunga Bank Indonesia (14:30 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Uni Eropa periode Agustus 2022 (15:00 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Inggris periode Agustus 2022 (15:30 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Jerman periode Agustus 2022 (06:00 WIB),
- Rilis data flash reading PMI manufaktur, jasa, dan gabungan Amerika Serikat periode Agustus 2022 (20:40 WIB),
- Rilis data penjualan rumah baru Amerika Serikat periode Juli 2022 (21:00 WIB),
- Rilis data awal indeks keyakinan konsumen Uni Eropa periode Agustus 2022 (21:00 WIB).
Â
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Luar Biasa PT Aneka Tambang Tbk (10:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Wijaya Karya Beton Tbk (14:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Provident Agro Tbk (14:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (Juli 2022 YoY) | 4,94% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2022) | 3,5% |
Surplus Anggaran (APBN 2022 per Juli) | 0,57% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY) | 1,1% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (Juli 2022) | US$ 132,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA