Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan kemarin bukanlah pekan yang baik bagi pasar keuangan dalam negeri. Tercatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak melemah sepanjang pekan lalu.
Investor asing 'kabur' dari bursa saham Tanah Air dengan membukukan jual bersih Rp 460 miliar. Ini menyebabkan indeks acuan pasar modal lokal semakin tertekan.
Pada minggu kemarin, IHSG melemah 1,04% secara point-to-point dan terpaksa ditutup keluar dari zona psikologis 5,800 tepatnya di angka 5.773,12, menjadi penutupan mingguan terburuk IHSG tahun ini. Koreksi di pasar modal lokal terjadi di tengah ketakutan akan semakin mengganasnya kasus Covid-19 terutama di Asia.
Selanjutnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga bergerak melemah sepanjang pekan lalu. Seretnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Ibu Pertiwi membuat rupiah kekurangan 'bensin' untuk melaju di jalur hijau.
Sepanjang pekan ini, nilai tukar rupiah melemah 1,09% secara point-to-point di hadapan dolar AS di perdagangan pasar spot. Mengawali pekan ini bawah Rp 14.200/US$, rupiah berakhir di atas Rp 14.300/US$.
Dari sisi fundamental, pelemahan rupiah bisa dimaklumi. Pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa atau transaksi berjalan (current account) memang tidak sebanyak dulu lagi.
Pada kuartal III dan IV tahun lalu, transaksi berjalan Indonesia berhasil membukukan surplus untuk kali pertama sejak 2011. Namun seiring impor yang kembali deras seiring pemulihan aktivitas ekonomi, transaksi berjalan kembali ke zona defisit.
Pada kuartal I-2021, neraca barang memang masih surplus US$ 7,91 miliar. Namun sudah tidak bisa menutup defisit di neraca jasa (-US$ 3,42 miliar) dan pendapatan primer (6,92 miliar). Jadilah transaksi berjalan kembali ke zona defisit yaitu minus US$ 996,83 juta atau 0,36% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Sejalan dengan kinerja ekspor yang positif dan permintaan domestik yang melanjutkan perbaikan, kinerja impor juga meningkat cukup tinggi sehingga menahan surplus neraca barang lebih lanjut," papar keterangan tertulis Bank Indonesia (BI).
"Sementara itu, defisit neraca jasa meningkat, antara lain disebabkan oleh defisit jasa transportasi yang melebar akibat peningkatan pembayaran jasa freight seiring kenaikan impor barang. Di sisi lain, defisit neraca pendapatan primer tercatat lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada triwulan sebelumnya sejalan dengan penurunan pembayaran kupon dan dividen investasi portofolio,"
Dari pasar modal acuan global AS, Indeks acuan saham di Wall Street bergerak mixed pekan lalu seiring dengan indeks saham bursa global yang masih bercampur meskipun cenderung merah.
Tercatat pekan lalu indeks acuan Dow Jones terkoreksi 0,35%, indeks S&P 500 turun 0,18%, sedangkan indeks acuan saham-saham teknologi Paman Sam sukses naik 0,69%.
Data makro AS yang dirilis di akhir pekan berhasil menyelamatkan bursa saham Paman Sam jatuh ke zona merah pada penghujung perdagangan pekan lalu.
Rilis data pengangguran AS yang 'ok' mampu menjadi booster untuk aset-aset berisiko seperti ekuitas. Data klaim tunjangan pengangguran di AS mencapai angka 444.000, atau jauh lebih baik dari polling Dow Jones yang semula memperkirakan angka 452.000 setelah sepekan sebelumnya mencapai 473.000.
Angka pengangguran yang terus turun menjadi indikator positif bahwa perekonomian terbesar di dunia semakin membaik seiring dengan masifnya vaksinasi dan pembukaan ekonomi secara gradual.
"Perbaikan klaim tunjangan pengangguran memperkuat pandangan kami bahwa data tenaga kerja yang mengecewakan bakal menjadi persoalan ketimbang pertanda penurunan, dan kami mengantisipasi perbaikan pasar tenaga kerja dalam beberapa bulan ke depan," tutur Manajer Portofolio Insight Investment Scott Ruesterholz seperti dikutip CNBC International.
Selain kabar gembira rilis klaim pengangguran ternyata masih ada rilis data makro Paman Sam di pekan lalu yang cukup apik. Salah satunya tentunya dari rilis data aktivitas manufaktur terbaru di Negeri Paman Sam. IHS Markit melaporkan pembacaan awal (flash reading) terhadap aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) pada Mei 2021 berada di 61,5.
Angka ini naik dibandingkan angka April 2021 yang sebesar 60,5 sekaligus menjadi rekor tertinggi sejak pencatatan dilakukan oleh IHS Markit pada Oktober 2009. "Ekonomi AS terpantau mengalami akselerasi yang spektakuler pada bulan ini, tingkat ekspansi bisnis melonjak ke titik tertinggi seiring aktivitas masyarakat yang dibuka kembali usai ditutup karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
"Namun, survei Mei menunjukkan kekhawatiran lebih jauh soal inflasi karena pertumbuhan menyebabkan kenaikan harga. Rata-rata harga barang dan jasa naik ke level yang tidak terduga, yang kemungkinan akan tercermin di angka inflasi pada bulan-bulan mendatang," papar Chris Williamson, Chief Business Economist IHS Markit, seperti dikutip dalam siaran tertulis.
Ya, meskipun rilis data ekonomi oke, pasar masih takut akan adanya potensi The Fed melakukan tapering pembelian bonds ataupun peningkatan kembali suku bunga karena angka inflasi yang terus melaju yang tentu saja akan membuat aset-aset beresiko menjadi kurang peminat.
Sentimen perdagangan untuk pekan depan tentu saja masih serputar Covid-19 dimana para pelaku pasar masih akan memperhatikan perkembangan kasus corona teurtama di kawasan Asia dan di Indonesia dimana ada potensi dalam berberapa minggu kedepan terjadi lonjakan kasus nCov-19 di dalam negeri akibat arus balik pemudik pasca liburan Idul Fitri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di negara-negara Asia Selatan dan Timur per 20 Mei 2021 mencapai 29.258.662 orang. Bertambah 298.324 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Malaysia mulai menjadi sorotan dunia. Pada Kamis pekan ini, 59 orang meninggal dunia akibat serangan virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Ini adalah angka kematian harian tertinggi sejak virus corona mewabah di Negeri Harimau Malaya.
Kini total pasien positif corona di Malaysia adalah 492.302 orang. Di level Asia Tenggara, hanya lebih sedikit dari Indonesia dan Filipina. Dinamika ini membuat pemerintah Malaysia memberlakukan karantina wilayah (lockdown) yang dalam 'kearifan lokal' disebut Movement Control Order (MCO).
Tidak hanya Malaysia, Singapura dan Taiwan juga terpaksa memberlakukan lockdown karena lonjakan kasus corona.
Untuk pekan depan tak banyak rilis data makro penting yang mampu menggerakan pasar. Berberapa rilis yang perlu dipantau adalah iklim bisnis Jerman Ifo dimana pasar memprediksikan iklim bisnis Negara Bavaria akan mebaik dari posisi bulan sebelumnya di angka 96,8 menjadi 98,5.
Sedangkan di Amerika Serikat data yang akan dipantau pada hari Kamis (27/5/21) adalah orderan barang-barang tahan lama yang bisa menjadi salah satu tolak ukur apakah Paman Sam sudah bangkit perekonomianya atau belum. Konsensus meramalkan order barang tahan lama akan terjadi sedikit perbaikan dari posisi bulan Maret di angka 0,5% menjadi 0,7% di bulan April.
Tingkat keyakinan konsumen Jerman juga masih akan dipantau pasar dimana lagi-lagi diprediksikan adanya perbaikan IKK dari posisi bulan lalu diangka -.8,8 menjadi hanya -3.
Sedangkan dari dalam negeri Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga acuan pada hari Selasa (25/5/21), konsensus pasar memprediksi Perry Warjiyo Dkk masih akan mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5% yang merupakan level terendah sepanjang sejarahnya.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
• Inflasi Meksiko Periode Pertengahan May 2021 (06:00 WIB)
• Tingkat Pengangguran Rusia Periode April 2021 (23:00 WIB)
• Penjualan Ritel Rusia Periode April 2021 (23:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA