Newsletter

Kabar Gembira, RI (Mungkin) Tak Akan Resesi!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 July 2020 05:59
Rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Memberi sinyal bahwa reli panjang kemungkinan bakal segera berakhir.

Kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat tipis 0,07% ke Rp 14.480/US$ di perdagangan pasar spot. Padahal rupiah sempat begitu perkasa dengan menyentuh posisi terkuat di Rp 14.420/US$.

Begitu pula dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Mengawali perdagangan dengan stagnasi di 5.116.67, IHSG harus puas finis di zona merah dengan koreksi 0,07%.

Sepertinya baik rupiah maupun IHSG mulai kehilangan pamor. Maklum, keduanya sudah menguat lumayan tajam.

Selama sepekan terakhir, rupiah sudah menguat 1,36% di hadapan greenback. Sementara selama sebulan ke belakang, IHSG melesat 4,31%. Jadi tidak heran investor mulai berpikir untuk mencairkan keuntungan.

Kebetulan ada momentum yang tepat untuk itu. Ketidakpastian di perekonomian dunia masih tinggi, terutama soal pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 28 Juli 2020 adalah 16.341.920 orang. Bertambah 226.783 (1,41%) dibandingkan posisi sehari sebelumnya.

Sejak 7 Juli, kasus corona selalu bertambah lebih dari 100.000 per hari. Bahkan dalam 9 hari terakhir penambahannya selalu di atas 200.000.

"Orang-orang selalu berpikir bahwa ini musiman. Ini berbeda, virus menyukai segala cuaca. Kita sedang berada di gelombang pertama, gelombang pertama yang besar," tegas Margaret Harris, Juru Bicara WHO. Seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, sepertinya hari ini investor harus lebih waspada. Sebab koreksi bisa terjadi, dan mungkin bakal lebih dalam.

Beralih ke bursa saham New York, tiga indeks utama ditutup melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,77%, S&P 500 minus 0,65%, dan Nasdaq Composite ambles 1,27%.

Kemarin, Wall Street menguat setelah ada harapan stimulus fiskal baru senilai US$ 1 yang diajukan oleh kubu Partai Republik di House of Representaives (salah satu dari dua kamar legistatif di AS). Namun proposal ini tidak berjalan mulus.

Pihak Partai Demokrat di House menilai proposal Republik terlalu cemen. Demokrat ingin agar nilai stimulus lebih besar lagi, yaitu US$ 3 triliun.

Bahkan kubu Republik di Senat juga tidak sepakat dengan proposal yang diajukan koleganya di House. Randall 'Rand' Paul, Senator Negara Bagian Kentucky dari Partai Republik, menilai uang yang dikeluarkan untuk penanganan virus corona sudah terlalu banyak.

"Saya tidak mau lagi berutang triliunan dolar," ujarnya, seperti dikutip dari Reuters.

Mandeknya proposal stimulus ini membuat penonton, eh investor, kecewa. Padahal rakyat AS butuh kepastian dalam waktu dekat, karena program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar US$ 600 per pekan akan segera berakhir.

Tanpa BLT, dan lapangan kerja yang masih terbatas, dikhawatirkan konsumsi rumah tangga di Negeri Paman Sam bakal terganggu. Kala konsumsi rumah tangga bermasalah, sulit berharap ekonomi bisa pulih. Maklum, konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 70% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama dan yang paling utama tentu soal pandemi virus corona.

Di Indonesia, penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini agak mengkhawatirkan. Per 28 Juli, jumlah pasien positif corona tercatat 102.051 orang, bertambah 1.748 orang (1,74%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam dua hari terakhir, terlihat penambahan pasien baru mengalami peningkatan. Dua hari lalu, jumlah kasus corona bertambah 1.525 (1,54%).

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyatakan bahwa pagebluk virus corona masih akan menjadi sumber ketidakpastian, setidaknya sampai tahun depan. Selagi virus corona masih bergentayangan, maka aktivitas masyarakat tidak akan kembali normal sehingga menghambat laju roda perekonomian.

"Recovery atau pemulihan ekonomi global sangat tidak pasti akibat Covid-19. Beberapa lembaga internasional memperkirakan pemulihan ekonomi akan cukup cepat untuk tahun depan, dengan asumsi tahun ini menurunnya sangat tajam. Namun kita melihat bahwa lembaga-lembaga tersebut terus-menerus melakukan revisi pemulihan ekonomi 2020-2021," papar Sri Mulyani.

Sentimen kedua, investor perlu mencermati perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah 'teraniaya' cukup lama, mata uang Negeri Paman Sam mulai bangkit.

Pada pukul 04:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,09%. Pasar kembali melirik dolar AS yang memang sudah melemah tajam. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah ambrol 1,42%.

Kebangkitan dolar AS, jika bertahan sepanjang hari, menjadi alarm tanda bahaya bagi rupiah. Apalagi mata uang Ibu Pertiwi sudah menguat tajam dalam sepekan terakhir. Jadi jangan heran kalau rupiah akan cooling down dulu hari ini.

Sentimen ketiga, ada kabar yang cukup melegakan. Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia berpeluang untuk terhindar dari resesi.

Pada kuartal I-2020, ekonomi Tanah Air tumbuh 2,97% year-on-year (YoY) dan pada kuartal II-2020 kemungkinan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Pemerintah memperkirakan ekonomi April-Juni 2020 terkontraksi -4,3% sementara proyeksi Bank Indonesia (BI) adalah sekitar -4%.

Jika pada kuartal III-2020 ekonomi kembali negatif, maka Indonesia resmi masuk resesi. Namun ada kemungkinan ekonomi Indonesia bisa tumbuh positif pada Juli-September tahun ini.

"Kalau penanganan (virus corona) efektif dan berjalan seiring dengan pembukaan aktivitas ekonomi, maka kondisi ekonomi bisa recover pada kuartal III-2020 dengan positive growth 0,4% dan pada kuartal IV akan akselerasi ke 3%. Kalau itu terjadi, maka pertumbuhan ekonomi kita secara keseluruhan tahun akan bisa tetap di zona positif," ungkap Sri Mulyani.

Sejauh ini, tanda-tanda pemulihan ekonomi nasional sudah terlihat bahkan sejak bulan lalu. Pada Juni, ekspor Indonesia sudah tumbuh 2,28% YoY setelah tiga bulan beruntun mengalami kontraksi.

Kemudian Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada naik dari 77,8 pada Mei menjadi 83,8 pada Juni. Walau masih di bawah 100, pertanda bahwa konsumen kurang pede menghadapi kondisi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan, tetapi ada perbaikan.

Lalu ada Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan optimisme dunia usaha. Pada Juni, PMI manufaktur Indonesia berada di 39,1, naik ketimbang Mei yang sebesar 28,6. Masih di bawah 50, berarti industriawan belum melakukan ekspansi, tetapi ada tanda pemulihan.

"Laju penurunan PMI manufaktur Indonesia menunjukkan perlambatan pada Juni seiring pelonggaran upaya penanganan penyebaran virus corona. Dengan ekspektasi pelonggaran Pembatasan Sosial BerskalaBesar (PSBB) dan kehidupan yang berangsur normal, sentimen dunia usaha meningkat ke level tertinggi sejak Januari. Dunia usaha sudah siap untuk meningkatkan produksi," sebut Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Semua ini bisa terus membaik pada bulan-bulan ke depan, sehingga harapan ekonomi Indonesia tumbuh positif pada kuartal III-2020 bukan cuma pepesan kosong. Namun ada syaratnya, kasus corona harus lebih terkendali agar PSBB tidak diketatkan lagi.

Sebab kalau PSBB ketat lagi, kelar sudah. Mana bisa ekonomi tumbuh, pengangguran dan kemiskinan turun, kalau masyarakat dipaksa harus kembali #dirumahaja.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Korea Selatan periode Juli 2020 (06:30 WIB).

2. Rilis data inflasi Australia periode Juli 2020 (08:30 WIB).

3. Penandatanganan perjanjian kerja sama dan nota kesepahaman untuk program penjaminan pemerintah kepada korporasi padat karya dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional (08:00 WIB).

4. Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Prancis periode Juli 2020 (13:45 WIB).

5. Paparan kinerja PT Kimia Farma Tbk (14:00 WIB).

6. Rilis data produksi minyak AS periode pekan yang berakhir 24 Juli (21:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (Juni 2020 YoY)

1,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020)

4%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Transaksi berjalan (kuartal I-2020)

-1,42% PDB

Neraca pembayaran (kuartal I-2020)

-US$ 8,54 miliar

Cadangan devisa (Juni 2020)

US$ 131,72 miliar

 

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Ekonominya Jeblok, Dolar Singapura Malah Rekor! Rahasianya?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular