Newsletter

Kala Corona Bisa Berujung Perang Dunia III, Amit-amit...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 May 2020 06:00
Antisipasi Penyebaran Virus Corona di Stasiun Senen, Jakarta, Senin (9/3/2020). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Antisipasi Penyebaran Virus Corona di Stasiun Senen, Jakarta, Senin (9/3/2020). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup bervariasi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetapi, nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah justru menguat.

Kemarin, IHSG ditutup melemah nyaris 1%. Namun indeks saham utama Asia lainnya pun melemah, bahkan lumayan banyak yang terkoreksi lebih dalam ketimbang IHSG.

Berikut posisi penutupan indeks saham Asia pada perdagangan kemarin:




Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat tipis 0,07% di perdagangan pasar spot. Rupiah menghabiskan sebagian besar hari di zona merah, dan baru menguat jelang penutupan perdagangan.

Penguatan juga terjadi di pasar obligasi pemerintah. Imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 3,7 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang menguat.

Tidak hanya yang 10 tahun, penurunan yield juga terjadi di hampir seluruh tenor. Berikut posisi yield Surat Berharga Negara (SBN) pada perdagangan kemarin:




Sejatinya sentimen di pasar cenderung negatif. Investor ketar-ketir setelah mendengar kabar yang kurang sedap dari Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

Dalam paparannya di hadapan Kongres, Powell menyebut bahwa proses pemulihan ekonomi yang hancur lebur akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) akan memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Selama risiko kesehatan (bahkan kehilangan nyawa) masih tinggi, Powell menegaskan akan sulit bagi dunia usaha untuk menggenjot ekspansi. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja menjadi sangat terbatas (bahkan berkurang drastis) sehingga rumah tangga juga mengalami penurunan pendapatan.

"Ini membuat ekonomi akan mengalami periode produktivitas rendah dan pendapatan yang stagnan dalam waktu yang lebih lama. Dukungan fiskal mungkin membutuhkan biaya yang tidak murah, tetapi layak jika mampu membantu menghindari kerusakan ekonomi jangka panjang dan memperkuat peluang menuju pemulihan," papar Powell.


Ketika perekonomian AS masih sulit tumbuh tinggi karena dihalangi pandemi virus corona, maka dunia akan ikut merasakannya. Maklum, AS adalah negara konsumen terbesar di dunia. Saat permintaan dari AS turun, maka rantai pasok tentu akan terganggu.

Perkembangan ini membuat investor ogah mengambil risiko. Dalam situasi yang sangat tidak pasti, lebih baik bermain aman sehingga bursa saham Asia terjebak di zona merah, termasuk di Indonesia.

Namun mengapa rupiah dan harga SBN masih bisa menguat? Kemungkinan besar ada campur tangan Bank Indonesia (BI). Sepertinya intervensi MH Thamrin di pasar sekunder SBN berhasil membawa rupiah ke jalur hijau, yang otomatis juga mengangkat harga obligasi.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu menegaskan bahwa meningkatkan intensitas kebijakan triple intervention di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (NDF), dan pembelian SBN di pasar sekunder. Sepertinya kemarin BI berada di pasar dan 'mengguyur' likuiditas dalam jumlah besar.



Beralih ke bursa saham New York, tiga indeks utama berhasil ditutup menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 1,62%, S&P 500 bertambah 1,15%, dan Nasdaq terangkat 0,91%.

Kala pembukaan pasar, Wall Street sempat terjebak di zona merah. Penyebabnya adalah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang kecewa dengan China karena dinilai gagal menahan penyebaran virus corona.

Kegagalan China membuat virus yang bermula dari Kota Wuhan itu menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Apesnya, AS kini jadi negara dengan kasus corona tertinggi di dunia.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di Negeri Paman Sam per 13 Mei 2020 adalah 1.322.054 orang. Jumlah itu adalah 31,7% dari total pasien corona di seluruh dunia.

coronaWHO

"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.


Pelaku pasar (dan dunia) cemas bahwa kekecewaan Trump bisa berujung ke balas dendam dari sisi ekonomi. Washington dan Beijing memang baru meneken kesepakatan damai dagang fase I pada 15 Januari 2020. Namun gara-gara pandemi virus corona, Trump sepertinya tidak tertarik untuk melanjutkan negosiasi ke babak selanjutnya.

Bahkan beredar kabar pemerintahan Trump akan membuat Undang-undang (UU) yang mengharuskan China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).

Dalam UU tersebut, China disebut harus bertanggung jawab penuh dan siap menjalani penyelidikan yang dipimpin oleh AS, sekutunya, dan WHO. China juga bisa didesak untuk menutup pasar tradisional yang menyebabkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia menjadi sangat tinggi.

UU itu juga mengatur sanksi bagi China. Misalnya pembekuan aset warga negara dan perusahaan China di AS, larangan masuk dan pencabutan visa, larangan individu dan perusahaan China untuk mendapatkan kredit, sampai melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS.


"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump.

Kekhawatiran terhadap risiko friksi AS-China bakal menajam membuat investor cemas dan melakukan aksi jual. Namun itu tidak berlangsung lama karena setelah 30 menit perdagangan Wall Street berhasil menyeberang ke zona hijau.

Sepertinya harga saham yang dinilai sudah murah menggoda investor untuk 'menyerok'. Maklum, sejak awal bulan ini DJIA sudah anjlok 2,96% dan S&P 500 ambles 2,3%.

"Enough is enough. Mungkin investor melihat bahwa koreksi yang terjadi sudah cukup dalam," kata Dennis Dick, Trader Bright Trading LLC yang berbasis di Las Vegas, seperti dikutip dari Reuters.

Selain itu, datang juga kabar baik dari Gedung Putih. Kayleigh McEnany, Juru Bicara Gedung Putih, mengungkapkan pemerintahan Trump siap menambah stimulus fiskal untuk memerangi dampak negatif dari wabah virus corona.

"Bapak Presiden sedang mempertimbangkannya. Beliau terbuka untuk itu," kata McEnany, seperti dikutip dari Reuters.


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang positif. Semoga optimisme di New York berhasil menyeberangi Samudra Atlantik dan menular ke Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua, investor perlu mencermati risiko geopolitik global yang berubah akibat wabah virus corona. Tidak hanya AS, banyak negara yang kecewa dengan China karena mereka tidak tahu apa-apa tetapi menjadi korban.


Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.

Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.

Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang memang sulit untuk dikesampingkan. Sangat disayangkan jika pandemi virus corona harus berujung ke Perang Dunia III.


Sejauh ini, China masih bisa menahan diri. Keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri China menyebutkan hubungan Washington-Beijing tetap terjalin dengan baik demi kepentingan dua negara dan seluruh dunia.

"Setiap pernyataan dan tindakan yang bertendensi menyebabkan stigmatisasi terhadap pandemi ini, termasuk upaya untuk merusak jalinan hubungan kedua negara, tentunya tidak kondusif bagi upaya kerja sama internasional dalam memerangi pandemi," sebut keterangan itu.

Semoga pandemi virus corona segera berlalu sehingga aksi saling tuding seperti ini bisa dihentikan. Sebab kalau ketegangan terus tereskalasi, risiko perang menjadi semakin tinggi. Amit-amit jabang bayi...


Sentimen ketiga, investor perlu waspada dengan tren penguatan dolar AS yang masih berlanjut. Pada pukul 02:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,24%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah melesat 1,61%.



Hari ini, penguatan dolar AS dipicu oleh rilis data terbaru di Negeri Adidaya. Pada pekan yang berakhir 9 Mei, jumlah klaim tunjangan pengangguran di AS tercatat sebanyak 2,98 juta. Turun dibandingkan pekan sebelumnya yaitu 3,17 juta.

Klaim tunjangan pengangguran turun dalam enam minggu terakhir setelah mencapai puncak pada pertengahan Maret. Namun itu tidak menghapus kenyataan bahwa sejak pertengahan Maret, jumlah klaim tunjangan pengangguran mencapai 36,5 juta. Artinya, satu dari lima orang angkatan kerja di AS kini menggantungkan diri dari tunjangan pemerintah karena menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).




"Data ini menggambarkan bahwa keluarga-keluarga di AS masih menderita. Gelombang kedua PHK mungkin sedang terjadi. Kini PHK sudah melanda pekerja di level menengah," kata Robert Frick, Corporate Economist Navy Federal Credit Union yang berbasis di Virginia, seperti dikutip dari Reuters.

Sepertinya benar kata Powell. Ekonomi AS sudah 'menyelam' terlalu dalam, sehingga butuh waktu untuk kembali ke permukaan. Pemulihan ekonomi dalam pola V-Shaped (terjadi koreksi dalam tetapi bisa bangkit dalam waktu singkat) sepertinya kian sulit terwujud.

"Data klaim tunjangan pengangguran memperkecil peluang pemulihan ekonomi bisa dalam pola V-Shaped. Pasar tenaga kerja menggali lubang semakin dalam sehingga sulit untuk keluar," kata Chris Rupkey, Chief Economist MUFG yang berbasis di New York, juga dikutip dari Reuters.

Prospek ekonomi yang semakin suram membuat pelaku pasar enggan mengambil risiko. Lagi-lagi bermain aman menjadi pilihan dan dolar AS menjadi incaran. "Dolar AS adalah raja ketika terjadi situasi semacam ini," tambah John Doyle, Vice President Tempus Inc yang berbasis di Washington, seperti diwartakan Reuters.

Jika tren penguatan dolar AS terus berlanjut, maka mata uang lainnya akan tertekan termasuk rupiah. Oleh karena itu, sepertinya rupiah kembali membutuhkan uluran tangan BI jika ingin bertahan di jalur hijau.



Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional (ekspor-impor) periode April 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan median ekspor terkontraksi (tumbuh negatif) -1,91% year-on-year (YoY).

Sedangkan impor terkontraksi jauh lebih dalam yaitu -16,17% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatatkan defisit tipis US$ 45 juta.


Impor yang terkontraksi begitu dalam menunjukkan kelesuan ekonomi domestik. Padahal biasanya momentum Ramadan-Idul Fitri seperti ini adalah saatnya dunia usaha menggenjot impor, baik itu bahan baku untuk diproduksi di dalam negeri maupun barang konsumsi. Maklum, Ramadan-Idul Fitri adalah puncak peningkatan konsumsi rumah tangga. 



"Dari sisi ekspor, negara tujuan ekspor utama Indonesia masih menerapkan social distancing yang menekan permintaan. Sementara dari sisi impor, Indonesia membukukan salah satu kontraksi terdalam di aktvitas manufaktur pada April dibandingkan dengan negara-negara lain sehingga impor terkontraksi," sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset.


Data perdagangan bisa menjadi bukti terbaru bagaimana sadisnya virus corona 'menyiksa' perekonomian Indonesia. Sebelum virus ini berhasil dijinakkan, maka pelaku pasar harus bersiap melihat data dengan hasil minor.


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Rilis data perdagangan internasional periode April 2020 (09:00 WIB).
2. Rilis data produksi industri, penjualan ritel, dan tingkat pengangguran China periode April 2020 (09:00 WIB).
3. Rilis data Statistik Utang Luar Negeri periode Maret 2020 (10:00 WIB).
4. Rilis data pembacaan awal angka pertumbuhan ekonomi Jerman periode kuartal I-2020 (15:00 WIB).
5. Rilis data pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi Zona Euro periode kuartal I-2020 (16:00 WIB).
6. Rilis data penjualan ritel AS periode April 2020 (19:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (April 2020 YoY)

2,67%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2020)

4,5%

Surplus/defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2019)

US$ 4,68 miliar

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular