Newsletter

Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 May 2020 06:00
IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, tetapi nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah malah naik.

Kemarin, IHSG finis dengan koreksi -0,75%. IHSG tidak hanya melemah, tetapi menjadi indeks saham dengan pelemahan terdalam di Asia.





Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,2% di perdagangan pasar spot. Meski terbatas, apresiasi rupiah menjadi yang tertinggi di Benua Kuning.

Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun cukup dalam yaitu 10,3 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Koreksi yield juga terjadi di hampir seluruh tenor.




Rupiah dan pasar obligasi diuntungkan oleh santernya isu kemungkinan suku bunga negatif di AS. Pelaku pasar semakin berani bertaruh bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cepat atau lambat akan menurunkan suku bunga acuan ke teritori negatif. Saat ini Federal Funds Rate sudah mendekati 0%, tepatnya 0-0,25% atau median 0,125%.

Data Bank of America Securities menyebutkan bahwa ada peluang 23% suku bunga acuan AS bisa di bawah 0% pada akhir tahun ini. Pekan lalu, peluangnya masih 10%.

Wacana suku bunga negatif lebih kencang berembus setelah datang data ekonomi terbaru. Pada April, AS mencatat deflasi -0,8% secara bulanan (month-on-month/MoM). Ini adalah catatan terendah sejak Desember 2008.

Inflasi rendah, bahkan sampai deflasi, menunjukkan bahwa ada ruang bagi kebijakan moneter yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan.



Oleh karena itu, isu suku bunga minus menjadi semakin santer. Akibatnya, dolar AS (dan aset-aset berbasis mata uang ini, terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) menjadi tertekan. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) terkoreksi -0,3%.

Namun keuntungan itu tidak dinikmati oleh saham, yang berstatus aset berisiko. Risk appetite investor sedang rendah karena ada kekhawatiran gelombang serangan kedua virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Ini terjadi setelah sejumlah negara telah dan berencana mengendurkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) karena penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu menunjukkan gejala perlambatan. Namun ternyata perlambatan itu masih sangat dini, karena kemudian malah terjadi kenaikan jumlah pasien baru kala keran aktivitas masyarakat kembali dibuka.

Apabila gelombang kedua serangan virus corona benar-benar terjadi (amit-amit), maka jalan perekonomian global menuju pemulihan menjadi semakin berat. Sulit berharap hidup kembali normal seperti dulu ketika ada virus mematikan yang terus membayangi.

Oleh karena itu, investor memilih ogah bermain agresif sampai ada kejelasan bahwa penyebaran virus corona betul-betul melambat. Ini yang membuat investor menjauhi pasar saham, tidak terkecuali di Indonesia.

[Gambas:Video CNBC]



Well, ternyata hari ini investor masih emoh menyentuh pasar saham. Buktinya pasar saham New York mengalami koreksi yang lumayan dalam. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok -2,17%, S&P 500 ambles -1,75%, dan Nasdaq Composite jatuh -1,55%.

Pelaku pasar semakin bermuram durja setelah mendengarkan paparan Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell di hadapan Kongres AS. Powell menyatakan bahwa butuh waktu bagi Negeri Paman Sam untuk bisa memulihkan ekonomi seperti dulu lagi.

Sebelum dihajar pandemi virus corona, perekonomian AS boleh dibilang sedang menikmati masa-masa keemasan. Ekonomi terus tumbuh, ekspansi terjadi dalam kurun waktu terlama dalam sejarah. Setelah mengalami resesi pada 2009, ekonomi AS berhasil tumbuh positif hingga 2019.



Begitu pula angka pengangguran. Tahun lalu, tingkat pengangguran di AS sempat turun ke 3,4%. Ini adalah yang terendah 1950-an.



Namun virus corona membalikkan semua pencapaian itu dalam sekejap. Kerja keras bertahun-tahun hilang dalam waktu hitungan bulan.

Pada kuartal I-2020, ekonomi AS terkontraksi -4,8%, pencapaian terburuk sejak Depresi Besar pada 1930-an. Sementara pada April 2020, tingkat pengangguran melonjak ke 14,7%, tertinggi sejak Perang Dunia II.

Malangnya, untuk kembali ke masa-masa jaya sebelum pandemi virus corona butuh waktu yang tidak sebentar. Pasalnya, ketidakpastian masih akan tetap tinggi sebelum vaksin atau obat virus corona berhasil ditemukan.

"Akan butuh waktu untuk kembali seperti sebelum sekarang. Pemulihan kemungkinan akan terjadi dalam tempo yang lebih lebih lambat dari perkiraan," kata Powell dalam paparan di hadapan Kongres AS secara virtual.

Selama risiko kesehatan (bahkan kehilangan nyawa) masih tinggi, Powell menegaskan akan sulit bagi dunia usaha untuk menggenjot ekspansi. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja menjadi sangat terbatas (bahkan berkurang drastis) sehingga rumah tangga juga mengalami penurunan pendapatan.

"Ini membuat ekonomi akan mengalami periode produktivitas rendah dan pendapatan yang stagnan dalam waktu yang lebih lama. Dukungan fiskal mungkin membutuhkan biaya yang tidak murah, tetapi layak jika mampu membantu menghindari kerusakan ekonomi jangka panjang dan memperkuat peluang menuju pemulihan," papar Powell.


Namun proyeksi yang suram ini belum membuat The Fed mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga ke teritori negatif. Powell menegaskan bahwa The Fed akan menggunakan seluruh instrumen yang ada, tetapi bukan suku bunga minus.

"Kami akan menggunakan instrumen yang kami miliki secara penuh sampai krisis ini terlalui dan pemulihan ekonomi mulai terjadi. Namun suku bunga negatif bukan sesuatu yang kami pertimbangkan," tegasnya.

Meski suku bunga negatif sepertinya belum akan terjadi, tetapi aura gloomy yang ditunjukkan Powell sudah lebih dari cukup untuk membuat investor menjauh dari aset-aset berisiko seperti saham. Hasilnya jelas, Wall Street mengalami koreksi tajam.


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Aksi jual massal (sell-off) di Wall Street bisa jadi akan investor di pasar keuangan Asia melakukan hal yang sama.

Sentimen kedua, dampak dari pernyataan Powell patut mendapat perhatian. Jika AS, kekuatan ekonomi nomor satu dunia, bakal menderita dalam waktu yang lama, maka pasti dampaknya akan terasa oleh negara-negara lainnya. Termasuk Indonesia.

Kala AS mengalami resesi pada 2009, ekonomi Indonesia hanya bisa tumbuh di kisaran 4%. Padahal sebelumnya ekonomi Ibu Pertiwi mampu tumbuh di atas 6%.



Saat ekonomi AS terkontraksi -6,8% pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan tidak sampai 3%. Jadi ketika semakin lama AS menderita, maka Indonesia juga bakal merasakannya. Amit-amit jabang bayi, tetapi bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia juga bakal terkontraksi.

Salah satu institusi yang meramal ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi adalah Citi. Pada 2020, Citi memperkirakan ekonomi Indonesia menyusut -1,2%. Konsumsi rumah tangga masih akan lemah seiring penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). investasi bahkan kemungkinan terkontraksi karena penundaan belanja modal pemerintah dan swasta.


Prospek ekonomi domestik yang suram bisa membuat investor menghindari pasar keuangan Indonesia. Jika ini terjadi, maka IHSG dkk akan sangat sulit untuk menguat.

Sentimen ketiga, investor perlu memperhatikan perkembangan nilai tukar dolar AS. Pada pukul 03:48 WIB, Dollar Index tercatat menguat 0,29%.

Pernyataan Powell yang membuat investor tidak berani mengambil risiko membuat permintaan greenback meningkat. Dalam situasi penuh ketidakpastian, cash is king. Pegang uang tunai, maka Anda akan mampu bertahan hidup.

Uang tunai yang dipilih investor tentu bukan sembarangan melainkan dolar AS. Maklum, greenback adalah mata uang global yang bisa diterima di mana saja. Dolar AS bisa menyelesaikan segala urusan.

Apabila keperkasaan dolar AS terus berlanjut sepanjang hari ini, maka harapan rupiah untuk kembali menguat menjadi tipis. Apalagi mata uang Tanah Air sudah menguat tajam sejak awal April.



Penguatan rupiah yang sudah agak 'kebangetan' membuatnya rentan terserang aksi ambil untung. Pasti akan tiba saatnya investor tergoda untuk mencairkan keuntungan, sehingga rupiah rawan terkena tekanan jual.


Sentimen keempat, investor perlu terus mencermati perkembangan penyebaran virus corona. Kali ini ada kabar baik, karena penyebaran di sejumlah negara dengan kasus tinggi kembali melambat.

Di AS, US Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 12 Mei adalah 1.342.594 orang. Bertambah dari posisi per hari sebelumnya yaitu 1.324.488 orang.

Namun dalam empat hari terakhir, laju pertumbuhan kasus harian terus melambat. Pertumbuhan pada 12 Mei adalah 1,37% dibandingkan sehari sebelumnya. Ini menjadi yang terendah sejak 29 Februari.



Sementara di Rusia, yang kini menjadi negara dengan kasus terbanyak kedua di dunia, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jumlah pasien positif corona per 13 Mei adalah 242.271 orang. Naik 4,32% dibandingkan hari sebelumnya, laju paling rendah sejak 30 Maret.

Dalam 10 hari terakhir, laju pertumbuhan pasien positif corona di Negeri Beruang Merah terus turun. Sejak 28 Maret, pertumbuhannya sudah stabil di kisaran satu digit, di bawah 10% per hari.



Kemudian di Inggris, WHO melaporkan jumlah pasien positif corona per 13 Mei adalah 226.467 orang. Bertambah 1,53% dibandingkan hari sebelumnya.

Sejak mencatatkan pertumbuhan harian 3,19% pada 7 Mei, laju penambahan pasien di Negeri John Bull terus melambat. Angka 1,53% adalah yang terendah sejak 24 Februari.




Memang masih belum aman betul, tetapi semoga kabar ini bisa membuat pasar agak lebih tenang. Apabila bisa dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, maka kekhawatiran terhadap gelombang serangan kedua virus corona bisa sedikit mereda.


Berikut adalah sejumlah rilis data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:

1. Rilis data angka pengangguran Australia periode April 2020 (08:30 WIB).
2. Laporan kinerja kuartal I-2020 PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (09:30 WIB).
3. Jumpa pers kesiapan layanan angkutan lebaran 2020 (10:00 WIB).
4. Rilis data angka pengangguran Prancis periode April 2020 (12:30 WIB).
5. Rilis data inflasi Jerman periode April 2020 (13:00 WIB).
6. Rilis Oil Market Report periode April 2020 oleh International Energy Agency (15:00 WIB).
7. Rilis data jumlah klaim tunjangan pengangguran di AS periode pekan yang berakhir 2 Mei (19:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian Indonesia:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (April 2020 YoY)

2,67%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2020)

4,5%

Surplus/defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2019)

US$ 4,68 miliar

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular