Geopolitik Pasca Corona: Akankah China Jadi Musuh Bersama?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 May 2020 10:53
Warga melintas di depan bn berbentuk hati menjelang peringatan ke-70 pendiri Republik Rakyat China di Shanghai, Cina (26/9/2019). (REUTERS / Aly Song)
Foto: Warga melintas di depan bn berbentuk hati menjelang peringatan ke-70 pendiri Republik Rakyat China di Shanghai, Cina (26/9/2019). (REUTERS / Aly Song)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) benar-benar luar biasa. Bahkan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini bisa mengubah tatanan dunia.

Dari sisi kecepatan dan cakupan, penyebaran virus corona memang luar biasa. Dalam waktu kurang dari lima bulan, jumlah pasien positif corona mencapai lebih dari 4,2 juta orang. Dari jumlah tersebut, hampir 300.000 orang kehilangan nyawa.

Kini virus corona sudah menjangkiti lebih dari 200 negara dan teritori. Nyaris tidak ada tempat yang aman.


Awalnya wabah virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun lama-lama berkembang menjadi masalah sosial-ekonomi yang maha berat.

Demi meredam penyebaran virus corona, pemerintah di berbagai negara memberlakukan pembatasan sosial (social distancing). Intinya aktivitas dan mobilitas warga benar-benar dibatasi, disarankan atau bahkan diperintahkan #dirumahaja. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Social distancing, yang mencegah manusia untuk berkumpul dan berkerumun, berimplikasi kepada penutupan sementara perkantoran, pabrik, sekolah, lokasi wisata, rumah ibadah, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Hasilnya adalah aktivitas ekonomi yang mati suri.

Pada kuartal I-2020, berbagai negara melaporkan angka kinerja ekonomi yang jeblok. Amerika Serikat (AS) mencatatkan kontraksi (pertumbuhan negatif) -4,8%, pencapaian terburuk sejak Depresi Besar pada 1930-an.

Lalu Zona Euro membukukan kontraksi ekonomi -3,8%. China tidak kalah menderita, dengan kontraksi ekonomi yang mencapai -6,8%.

Belum lagi soal pengangguran. Pada April 2020, tingkat pengangguran di AS mencapai 14,7%, tertinggi sejak Perang Dunia II.



Disulut kemarahan akibat dampak virus corona yang begitu luar biasa baik dari aspek kesehatan, kemanusiaan, sampai sosial-ekonomi, beberapa negara mulai frustrasi dan mencari pelampiasan. China adalah target utama, karena virus corona berawal dari negara tersebut.

Presiden AS Donald Trump dan para pembantunya beberapa kali menegaskan bahwa mereka punya bukti virus corona bermula dari laboratorium penelitian di Kota Wuhan. Selain itu, risiko penularan virus juga tinggi karena hewan liar dijual untuk dikonsumsi di pasar tradisional kota tersebut.

Teranyar, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya dikabarkan sedang menyiapkan sanksi buat China. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).

Dalam RUU tersebut, China disebut harus bertanggung jawab penuh dan siap menjalani penyelidikan yang dipimpin oleh AS, sekutunya, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). China juga bisa didesak untuk menutup pasar tradisional yang menyebabkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia menjadi sangat tinggi.

RUU itu juga mengatur sanksi bagi China. Misalnya pembekuan aset warga negara dan perusahaan China di AS, larangan masuk dan pencabutan visa, larangan individu dan perusahaan China untuk mendapatkan kredit, sampai melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS.


Tidak hanya AS, negara lain pun menjadikan China sebagai sasaran tembak. Australia pun melakukan hal serupa. Marise Payne, Menteri Luar Negeri Australia, menegaskan bahwa China harus transparan dan membuka semua yang mereka ketahui tentang virus corona.

"Perhatian saya terhadap transparansi dari China saat ini sangat tinggi. Saya percaya kepada China, tetapi perhatian saya adalah memastikan bahwa kami layak untuk saling membuka diri," tegas Payne dalam wawancara bersama ABC, yang dikutip oleh Reuters.


Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporan terbaru mengulas mengenai proyeksi peta geopolitik dunia usai pandemi virus corona. Apakah China akan menjadi musuh bersama? Apakah status super power AS akan luntur?

Laporan berjudul Geopolitics After Covid-19: Is the Pandemic a Turning Point itu menyebutkan bahwa China memang butuh kerja sangat keras untuk memulihkan reputasinya. Upaya memperbaiki reputasi itu kemudian diwujudkan dengan mengirim para ahli dan berbagai bantuan ke nagara-negara lain.

"Namun secara politis ini justru akan menjadi bumerang buat China, terutama dari para rivalnya seperti AS dan negara-negara Eropa. Hubungan China dengan negara-negara tersebut akan menjadi semakin rumit," sebut laporan itu.

Selain itu, pandemi virus corona juga akan menyadarkan dunia bahwa tidak baik terlalu tergantung kepada China. Saat ini, China memang mendominasi rantai pasok manufaktur dunia.

Oleh karena itu, Trump mengajak negara-negara lain untuk mengurangi ketergantungan kepada China dengan memindahkan fasilitas produksi ke tempat lain. Salah satu tujuannya adalah Indonesia, seperti di Brebes (Jawa Tengah).


"Banyak negara dan perusahaan akan mengkaji ulang ketegantungan terhadap China untuk produk-produk vital dan kemudian mencoba melakukan diversifikasi dalam rangka ketahanan ekonomi nasional. Pandemi ini kemungkinan akan meningkatkan hasrat untuk mengedepankan kepentingan nasional, tetapi memindahkan fasilitas produksi tentu butuh waktu," tulis laporan EIU.

Kala menjadi musuh bersama di Barat, laporan EIU menyatakan China akan mencoba memperbesar pengaruh mereka di negara-negara berkembang di Afrika, Eropa Timur, dan Asia Tenggara. China punya peluang untuk itu, dengan cara memberikan berbagai bantuan untuk mengatasi pandemi virus corona.

"Bukan kebetulan China kemudian meluncurkan inisiatif Belt and Road medis untuk beberapa negara Afrika, dalam rangka mendongkrak citra dan mengamankan proyek investasi. Namun di beberapa tempat, mungkin akan terjadi pertentangan," sebut laporan EIU.


Bagaimana dengan AS? Sebagai negara yang paling parah terkena dampak wabah corona, apakah akan mengurangi kekuatan Negeri Adidaya?

"Sebenarnya sejak tiga tahun lalu, banyak negara sudah menilai AS sebagai mitra yang kurang bisa diandalkan dan dipercaya. Ini karena kebijakan Presiden Trump yang lebih mengutamakan kepentingan dalam negeri. Kebijakan America First secara tidak langsung mengurangi peran AS di panggung dunia," papar laporan EIU.

Saat AS mundur pelan-pelan dari pentas politik dunia, China mencoba masuk dan mengambil peran lebih besar. Apalagi saat ini, AS sedang sibuk oleh urusan dapurnya yaitu menangani pandemi virus corona. China bisa memanfaatkan situasi ini dengan menjadi pemain penting dalam percaturan elit global.

"Namun, meremehkan kekuatan dan kepemimpinan AS juga tidak tepat. AS tahu apa kemauan China, dan AS siap melawan balik. Wacana pengenaan bea masuk adalah salah satunya, dan ke depan sepertinya arah kebijakan AS masih begitu," tulis laporan EIU.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular