BI 'Cetak Uang' Rp 500 T, Bank Sentral Lain Berapa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 May 2020 10:16
Ilustrasi Bank Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi isu krisis kesehatan dunia yang belum pernah terjadi di era modern.
Berdasarakan data Worldometer, hingga saat ini Covid-19 sudah "menyerang" lebih dari 200 negara, menjangkiti lebih dari 4,4 juta orang, dan nyaris 300 ribu orang meninggal dunia.

Tidak hanya krisis kesehatan, virus ini juga menyebabkan kemeresotan ekonomi dunia akibat negara-negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing guna meredam penyebarannya yang masif.

Lockdown dan social distancing membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti, akibatnya pertumbuhan ekonomi dunia merosot bahkan menuju resesi.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown yang dirilis pada pertengahan April lalu memprediksi perekonomian dunia akan mengalami kontraksi alias minus 3% di tahun ini.

Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), hingga negara emerging market seperti Indonesia mengalami kemerosotan. Perkonomian AS diprediksi minus 5,9%, sementara perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh walau hanya 0,5% di tahun ini.



Guna menanggulangi dampak ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19, bank sentral di beberapa negara, termasuk Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan "mencetak uang".

Hingga saat ini BI sudah "mencetak uang" lebih dari Rp 500 triliun untuk menambah likuiditas di pasar yang sedang mengetat akibat roda perekonomian yang melambat bahkan nyaris berhenti berputar.

Istilah "mencetak uang" disini bukan benar-benar mencetak uang fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Patut diingat, penambahan suplai tersebut juga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk simpanan perbankan.

Sejak pandemi Covid-19 menghantam perekonomian Indonesia, BI sudah mengambil kebijakan yang termasuk ketegori "mencetak uang". Hal tersebut dilakukan BI dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dua kali di tahun ini.

Mulai awal Mei, BI menurunkan GWM 200 basis poin (bps) untuk bank umum, dan 50 bps untuk bank syariah. Dengan penurunan tersebut, BI mengatakan ada penambahan likuiditas ke perekonomian sebesar Rp 117,8 triliun.

Sebelumnya di awal tahun ini, BI juga sudah melonggarkan GWM yang menambah likuditas sebesar 53 triliun.

Selain itu, BI juga melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai 166,2 triliun. Kemudian memberikan fasilitas repo perbankan senilai Rp 137,1 trilun, dengan fasilitas tersebut lembaga keuangan atau korporasi yang memiliki SBN bisa menggadaikannya di BI.

BI juga memberikan fasilitas swap valas sebesar 29,7 triliun. Sehingga jika di total, BI sudah "mencetak uang" senilai Rp 503,8 triliun.

Istilah "mencetak uang" ini mulai populer setelah krisis finansial 2008, saat itu The Fed dan beberapa bank sentral utama dunia lainnya menerapkan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE).

Sejak saat itu, ketika bank sentral melakukan QE maka lazim disebut "printing money" atau "mencetak uang".

[Gambas:Video CNBC]




Bank sentral Jepang (BoJ) menjadi bank sentral pertama yang mengambil kebijakan "mencetak uang" di era milenium. BoJ pertama kali melakukannya pada Maret 2001, untuk memberikan stimulus ke perekonomian, dan menaikkan inflasi. BoJ kala itu melakukan QE dengan membeli obligasi pemerintah, obligasi perusahaan swasta hingga saham. Sama dengan yang dilakukan BI dengan membeli SBN.

Pasca krisis finansial global 2008, The Fed, Swiss National Bank (SNB), Bank of England (BoE), hingga European Central Bank (ECB) juga melakukan hal yang sama guna memacu perekonomian masing-masing. Sehingga sejak saat itu istilah "mencetak uang" menjadi semakin populer.

Kini dengan adanya pandemi Covid-19, beberapa bank sentral juga menerapkan kebijakan "mencetak uang" untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) misalnya, untuk pertama kalinya akan melakukan pembelian obligasi pemerintah senilai US$ 50 miliar (Rp 750 triliun, kurs Rp 15.000/US$). Selain itu, RBA juga menyediakan fasilitas repo senilai US$ 90 miliar atau Rp 1.350 triliun.

Bank sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New Zealand/RBNZ) juga mengumumkan akan "mencetak uang" senilai US$ 27 miliar atau setara Rp 405 triliun dalam 12 bulan ke depan.

Selanjutnya bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) mulai menjalankan program QE ini sejak 1 April, dengan membeli obligasi pemerintah senilai US$ 5 miliar (Rp 75 triliun) per pekan, dan akan terus dilakukan hingga perekonomian Kanada pulih.

Wajah-wajah lama seperti bank sentral Jepang (BoJ) yang sudah menerapkan QE bertahun-tahun menambah jumlah "uang yang dicetak" akibat pandemi Covid-19. Untuk tahun ini BoJ menaikkan target pembelian obligasi menjadi US$ 118 miliar atau setara Rp 1.770 triliun.



Bank sentral Inggris (BoE) juga sudah "mencetak uang" sebelum pandemi Covid-19 melanda Inggris. Covid-19 membuat ekonomi Inggris nyungsep, minus 2% quarter-on-quarter (QoQ) di triwulan I-2020. Tetapi yang terburuk baru akan datang di triwulan ini, pertumbuhan ekonomi Inggris diprediksi minus alias berkontraksi 25%. Dampaknya sepanjang tahun 2020 kontraksi diramal sebesar 14%, atau yang terburuk sejak tahun 1706, berdasarkan data historis yang dimiliki BoE. Oleh karena itu, BoE di menambah jumlah QE sebesar 200 miliar poundsterling (Rp 3.640 triliun, kurs Rp 18.200/GBP).

Masih dari Benua Biru, bank sentral Eropa (ECB) sebenarnya sudah mulai "mencetak uang" lagi pada November 2019 lalu senilai 20 miliar euro per bulan. Kemudian pada pertengahan Maret lalu mengumumkan tambahan QE Senilai 870 miliar euro (Rp 13.920 triliun, kurs Rp 16.000/EUR).

Yang paling sensasional tentunya bank sentral paling powerful di dunia, The Fed, yang mengumumkan akan melakukan QE dengan nilai sebesarapun diperlukan guna memulihkan perekonomian AS. Berdasarkan data Fitch Ratings, hanya dalam waktu enam pekan periode Maret-April, The Fed sudah "mencetak uang" senilai US$ 1,4 triliun, nilainya jauh lebih besar dari nilai perekonomian Indonesia US$ 1 triliun.

Semua kebijakan "mencetak uang" tersebut dilakukan guna menyediakan likuiditas di perekonomian yang sedang mengetat, serta untuk merangsang perekonomian agar bisa segera bangkit setelah pandemi Covid-19 berhasil diredam.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Page
The Fed
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular