Newsletter

Lockdown Dibuka, Banjir Stimulus, Pasar pun Ceria!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 April 2020 06:17
Wall Street
Foto: REUTERS/Eduardo Munoz
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bergerak bervariasi pada perdagangan Senin (27/4/2020) kemarin. Meski perjalanannya tak mulus, tetapi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu mencatat penguatan, rupiah juga melanjutkan kinerja impresif, sementara harga obligasi kembali melemah.

Banyak sentimen positif dari eksternal sejak akhir pekan lalu yang membuat sentimen pelaku pasar cukup bagus. Sementara pada perdagangan hari ini, Selasa (28/4/2020) ada beberapa sentimen yang membuat pelaku pasar ceria, yang akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan dalam negeri. Sentimen tersebut akan dipaparkan di halaman 3 dan 4.



IHSG Senin kemarin bergerak dengan volatilitas tinggi, beberapa kali keluar masuk zona hijau dan merah, sebelum akhirnya membukukan penguatan 0,38% di 4.513,141. Dengan demikian, IHSG melanjutkan tren sideways (menyamping) yang sudah terjadi sekitar dua pekan terakhir. IHSG bergerak dalam rentang 4.441 sampai 4.747.

Sementara itu rupiah kembali melanjutkan kinerja impresifnya. Rupiah menghabiskan mayoritas perdagangan hari ini di zona merah, bahkan menjadi yang terburuk di Asia sejak pagi hingga siang hari.



Tetapi di menit-menit akhir, rupiah memangkas pelemahan hingga berbalik menguat 0,26% ke Rp 15.310/US$, bahkan menjadi juara alias yang terbaik ketiga di Asia. Style alias gaya khas rupiah dalam mengarungi perdagangan selalu seperti itu dalam tiga hari perdagangan beruntun pekan lalu, plus hari ini. Bahkan jika melihat jauh ke belakang, pergerakan seperti itu sering kali terjadi, rupiah style!

Sementara dari pasar obligasi, yield tenor 10 tahun naik 6,8 basis poin (bps) menjadi 7,992%.

Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.

Meski demikian, sepanjang pekan lalu terjadi inflow di pasar obligasi senilai Rp 110 miliar, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.



Sentimen positif datang dari Amerika Serikat (AS) yang membuat pasar Asia ceria. Pada Jumat (24/4/2020) waktu AS, Presiden Trump menandatangani paket stimulus baru senilai US$ 484 miliar. Sebesar US$ 370 miliar dari paket tersebut akan diberikan kepada UMKM, kemudian US$ 75 miliar untuk membantu rumah sakit yang berjuang melawan pandemi, dan US$ 25 miliar untuk memperluas tes COVID-19.

Paket stimulus fiskal tersebut menjadi yang ke-empat digelontorkan pemerintah AS, termasuk yang stimulus jumbo US$ 2 triliun yang digelontorkan sebelumnya. Total stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah AS nyaris US$ 3 triliun.

Bursa saham AS menguat merespon gelontoran stimulus tersebut. Sementara pasar Asia dan pasar baru akan merespon di awal pekan kemarin.

Setelah AS, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) menambah gairah di pasar keuangan. Dalam pengumuman kebijakan moneter kemarin, BOJ mengatakan akan melakukan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas guna meredam dampak penyebaran penyakit virus corona (COVID-19) ke perekonomian.

Kebijakan tersebut sama dengan bank sentral AS (The Fed) yang diumumkan Maret lalu, melakukan pembelian aset berapa pun yang diperlukan, alias tanpa batas

Dalam kebijakan sebelumnya, bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda menetapkan nilai QE sebesar 80 triliun yen per tahun. Kemarin, batas tersebut dihilangkan, sehingga diartikan sebagai QE tanpa batas.



Dengan menghapus batas QE 80 triliun yen per tahun, BOJ dikatakan akan lebih mudah saat mulai mengetatkan moneter ketika kondisi ekonomi sudah mulai normal, dan inflasi mendekati target bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut.

"Bagi BOJ, menghapus batas QE seperti menjatuhkan dua burung dengan satu batu. Karena BoJ dapat meningkatkan pembelian aset saat ini, dan menguranginya jika ingin mengakhiri kebijakan moneter ultra longgar" kata Toru Soehiro, ekonom senior di Mizuho Securities, sebagaimana dilansir Reuters. 

Panduan kebijakan moneter bank sentral sangat mempengaruhi pergerakan pasar keuangan, apalagi bank sentral utama dunia seperti BOJ. Program QE cenderung membuat aset-aset berisiko menguat, tetapi ketika bank sentral mengumumkan akan mengurangi jumlah QE, aksi jual akan terjadi dan membuat pasar bergejolak.

Hal ini pernah terjadi pada tahun 2013, ketika The Fed mengumumkan akan mengurangi nilai QE, pasar pun bergejolak saat itu, mata uang negara emerging market, yang dikenal dengan istilah "taper tantrum"

Dengan hilangnya batas nilai QE 80 triliun per tahun, ke depannya BOJ tentunya tidak perlu lagi memberikan panduan berapa nilai QE yang akan dikurangi saat mulai menghentikan kebijakan moneter ultra longgar, sehingga meminimalisir gejolak di pasar.

[Gambas:Video CNBC]




Bursa saham AS (Wall Street) menguat pada perdagangan Senin kemarin setelah beberapa negara bagian akan membuka lockdown secara bertahap.
Indeks S&P 500 menguat 1,47% di 2.878,48, kemudian Dow Jones +1,51% di 24.133,78, dan Nasdaq +1,11% di 8.730,16.

Gubernur New York, Andrew Cuomo, mengatakan lockdown akan dibuka dalam beberapa fase setelah Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan jumlah pasien rawat inap sudah menurun dalam 14 hari terakhir.

Fase satu, New York dunia usaha di bidang konstruksi dan manufaktur akan diizinkan kembali beraktivitas. Fase kedua dunia usaha perlu rencana untuk beroperasi kembali, termasuk memiliki pengaman individual serta menerapkan social distancing.

Kemudian Gubernur Ohio, Mike DeWine, mengatakan sektor ritel dan jasa bisa kembali beroperasi pada 12 Mei.

Selain itu, negara bagian Alaska, Georgia, South Carolina, Tennessee dan Texas sudah mengizinkan restoran dan beberapa usaha lainnya untuk kembali beroperasi.

"Saat beberapa negara bagian mulai memutar kembali roda perekonomian dan melonggarkan kebijakan social distancing, sekilas kita akan bisa melihat seperti pada hidup new normal. Risiko terbesar yang dihadapi pasar saham adalah roda perekonominan AS yang diputar secara prematur, yang dapat meningkatkan kasus COVID-19" kata Marc Chaikin, CEO Chaikin Analytics, sebagaimana dilansir CNBC International.



Selain lockdown yang dilonggarkan di beberapa negara bagian, perkembangan vaksin COVID-19 juga turut mengangkat sentimen pelaku pasar. New York Times melaporkan pada akhir Mei nanti ada vaksin yang berpeluang dilakukan uji coba klinis terhadap 6.000 orang. Vaksin tersebut dikembangkan oleh Jenner Institute dari Oxford University, dan dikatakan menunjukkan hasil yang bagus ketika di uji coba kepada monyet.

Sebelumnya pada Jumat (17/4/2020) dua pekan lalu, kabar bagus datang dari Gilead Sciences Inc., raksasa farmasi AS, yang dikatakan memiliki obat yang efektif melawan virus corona.

CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien COVID-19 yang parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.



Tetapi pekan lalu, pelaku pasar dibuat kecewa setelah Financial Times melaporkan obat dari Gilead tersebut tidak mampu memperbaiki kondisi pasien. Financial Times mengutip sebuah dokumen yang secara tidak sengaja dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dan merupakan hasil uji klinis di China, sebagaimana dilansir CNBC International.

Namun, Gilead mengatakan hasil tersebut terjadi akibat "karakteristik yang tidak sesuai" sehingga "tidak bisa disimpulkan".

"Kami menyesal WHO merilis sebuah informasi terkait penelitian secara prematur, dimana rilis tersebut kini telah dihapus. Para peneliti dalam penelitian ini tidak memiliki izin untuk mempublikasikan hasilnya" kata juru bicara Gilead, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Lebih lanjut, kami percaya rilis tersebut berisi karakteristik yang tidak sesuai dalam penelitian. Yang penting, penelitian tersebut dihentikan lebih awal karena kecilnya sampel, sehingga secara statistik tidak bisa menghasilkan kesimpulan yang berarti. Saat ini tren menunjukkan remdesivir menunjukkan potensi yang bagus, terutama jika digunakan pada pasien dengan tahap awal COVID-19" ujar juru bicara Gilead.

AS sebenarnya juga sedang menguji remdesivir tetapi hasil penelitiannya masih belum dipublikasikan. Jumat lalu, Reuters melaporkan hasil pengujian tersebut akan dirilis pada pertengahan Mei, dan kemungkinan hasil preliminary akan dikeluarkan lebih dulu.

Hasil uji coba di AS tersebut dianggap lebih reliabel dalam menarik kesimpulan sehingga dinanti pelaku pasar.



Penyebaran COVID-19 tentunya masih menjadi salah satu perhatian pelaku pasar. Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE, jumlah kasus di seluruh dunia kini sudah melewati 3 juta orang. Dari total kasus tersebut, lebih dari 210 ribu orang meninggal dunia, dan lebih dari 891 ribu orang sembuh.

Meski sudah menembus 3 juta kasus, tetapi tren penambahan per harinya sudah melandai. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tren penambahan kasus per harinya sudah satu digit persentase sejak 30 Maret lalu.

Sementara itu di Indonesia, Senin kemarin dilaporkan total kasus mencapai 9,096 orang, dengan 765 meninggal dunia dan 1.151 sembuh. Tren penambahan kasus di Indonesia sebesar satu digit persentase sejak 13 April lalu. Jakarta yang menjadi episentrum, tingkat penambahan kasusnya juga sudah melandai.

Laju penambahan kasus yang terkendali tersebut menimbulkan dua persepsi, yang pertama penanganan dari pemerintah yang efektif meredam penyebaran, dan yang kedua masih sedikitnya warga yang dites.

Citi mengukur efektivitas social distancing dengan memperkenalkan Social Distancing Index. Semakin menjauhi nol, maka masyarakat semakin berjarak yang artinya kebijakan pembatasan sosial cukup berhasil.

Pada 17 April, nilai Social Distancing Index Indonesia adalah -39. Lebih baik dibandingkan negara-negara maju seperti Jerman (-38), Amerika Serikat (-35), atau Jepang (-24).



Sementara dari sisi jumlah tes yang dilakukan, Worldometer mencatat jumlah uji corona yang telah dilakukan di Indonesia adalah kepada 75.157 orang. Artinya dari 1 juta populasi Ibu Pertiwi, hanya 275 orang yang sudah menjalani tes corona.

Jumlah tersebut masih sedikit dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Singapura, misalnya, telah melakukan uji corona terhadap 121.774 orang. Artinya dari 1 juta penduduk Negeri Singa, 20,815 orang sudah melakukan tes.

Kemudian di Malaysia, pengujian sudah dilakukan terhadap 144.686 orang. Dari 1 juta penduduk Negeri Jiran, 4.470 sudah melakukan tes.

Akibat dua persepsi tersebut, belum bisa dipastikan apakah penyebaran COVID-19 di Indonesia memang terkendali atau ini hanya puncak dari gunung es.

Selain perkembangan kasus COVID-19, pergerakan harga minyak mentah juga perlu diperhatikan. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kembali ambrol 25% kemarin dan mengakhiri perdagangan di kisaran US$ 12/barel. Sementara minyak Brent merosot lebih dari 6%, dan kembali ke bawah US$ 20/barel.

Ambrolnya harga minyak mentah kemarin tidak terlalu mempengaruhi sentimen pelaku pasar yang sedang membaik setelah adanya rencana pembukaan lockdown di Eropa dan AS.

Meski demikian, jika minyak mentah hari ini kembali ambrol dan ke bawah US$ 10/barel, bisa jadi sentimen pelaku pasar kembali memburuk.

Sementara itu penguatan Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia sekali lagi mengirim hawa positif ke pasar Asia hari ini. Mulai dilonggarkannya lockdown di beberapa negara bagian AS tentunya memunculkan harapan perekonomian AS perlahan mulai bangkit, dan kemerosotan ekonomi mampu diredam.

Sebelumnya AS, beberapa negara di Eropa juga sudah berencana membuka lockdown setelah penyebaran COVID-19 melambat. Italia berencana membuka lockdown secara bertahap pada 4 Mei nanti. Italia dan Spanyol bahkan sudah mengijinkan warganya mulai beraktivitas meski terbatas sejak dua pekan lalu.

Kemudian Jerman juga mulai mengizinkan warganya beraktivitas, toko-toko kecil sudah diizinkan buka kembali sejak Senin, dan sekolah mulai aktif lagi per 4 Mei. Belanda juga berencana membuka lockdown secara bertahap mulai 11 Mei.

Sementara itu Reuters yang mengutip Telegraph melaporkan Inggris akan mulai melonggarkan aturan pembatasan sosial Mei nanti.



"7 Mei adalah hari di mana pemerintah wajib meninjau langkah-langkah lockdown, tetapi jika Boris ingin merubahnya, menjadi lebih cepat ... bisa saja terjadi lebih cepat," tulis salah satu partai pendukungnya.

Dalam pidatonya Senin pagi waktu setempat, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson mengatakan saat ini masih terlalu dini menghentikan lockdown, dan risiko akan ada penyebaran gelombang kedua menjadi cukup besar jika hal tersebut dilakukan.

Tetapi kabar baiknya, Inggris dikatakan sudah berada di puncak penyebaran, yang artinya jumlah kasus akan mulai melandai. Johnson tidak memberikan detail apakah kapan lockdown akan mulai dilonggarkan, tetapi ia mengatakan akan memberikan update dalam beberapa hari ke depan.


Selain lockdown yang mulai dibuka, stimulus dari bank sentral juga kembali mengangkat risk appetite pelaku pasar. Setelah BOJ kemarin, giliran The Fed dan European Central Bank (ECB) yang akan mengumumkan kebijakan moneter.

The Fed akan mengumumkan kebijakan moneternya pada Kamis (30/4/2020) dini hari, dan ECB menyusul di sore hari.

The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sejauh ini sudah membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%. Kemudian QE juga dilakukan dengan nilai tak terbatas. Dalam pengumuman kali ini, The Fed diprediksi belum akan mengambil langkah lebih lanjut, dan lebih memilih melihat terlebih dahulu efek kebijakan agresif yang diterapkan.

Meski demikian, para analis mengatakan perlu memperhatikan penyataan The Fed mengenai sampai kapan suku bunga rendah akan ditahan setelah perekonomian pulih, begitu juga dengan nilai QE kapan akan mulai dikurangi.

Sementara itu, ECB sudah menggelontorkan QE senilai 750 miliar euro guna melawan pandemi COVID-19. CNBC International melaporkan, dengan nilai tersebut dan dengan laju pembelian aset yang dilakukan saat ini, stimulus dari ECB tersebut diprediksi akan habis pada bulan Oktober.



Oleh karena itu, ECB di bawah pimpinan Christine Lagarde di prediksi bisa saja menerapkan kebijakan "helikopter uang". Istilah tersebut yang diperkenalkan oleh ekonom Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut pelonggaran moneter yang tak biasa, dimana bank sentral mencetak uang dan diberikan langsung ke masyarakat. Kebijakan yang mirip dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tetapi dilakukan oleh bank sentral dan dengan mencetak uang. Tujuannya, agar belanja konsumen meningkat, dan pemulihan ekonomi dari resesi menjadi lebih cepat.

Lagarde mengatakan sejauh ini ECB tidak pernah membahas mengenai "helikopter uang", oleh karena itu ECB belum mengambil sikap resmi terkait hal tersebut.

John Wraith, kepala strategi suku bunga di UBS mengatakan jika QE yang dilakukan ECB dalam 6 sampai 12 bulan ke depan menunjukkan memberikan dampak yang tidak signifikan maka kebijakan "helikopter uang" kemungkinan akan diterapkan.

CNBC Internsional melaporkan, Gubernur Bank Sentral Prancis, François Villeroy de Galhau, di awal bulan ini mengatakan jika ada risiko besar kepada stabilitas harga (inflasi), yang menjadi mandat utama EC, maka "helikopter uang" dapat diberikan ke perusahaan, mendukung dunia usaha ketimbang memberikan langsung ke masyarakat.

Analis lainnya mengatakan ketimbang menerapkan kebijakan "helikopter uang", ECB dikatakan sebaiknya menerapkan suku bunga negatif pada program pinjaman jangka panjang melalui program (Targeted Longer-Term Refinancing Operations/TLTRO) yang dimiliki ECB.

Dengan TLTRO negatif, artinya ECB memberikan pinjaman ke bank umum untuk disalurkan, plus bank tersebut diberikan uang. Tetapi bank sentral tersebut harus menyalurkan kredit ke masyarakat dengan suku bunga 0%.

"Contoh ekstrim dari ini, misalnya TLTRO tenor 10 tahun dengan suku bunga -1%, uang akan diberikan ke bank dengan syarat mereka memberikan pinjaman ke nasabahnya dengan suku bunga 0%," kata Ducrozet dari Pictet Wealth Management, sebagaimana dilansir CNBC International.

Dengan kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi mampu terdorong sekaligus dapat menjawab kritik independensi bank sentral jika menerapkan kebijakan "helikopter uang", dimana kemungkinan ada campur tangan pemerintah dalam penentuan siapa saja yang layak mendapatkan bantuan.

Spekulasi-spekulasi yang berhembus terkait gelontoran stimulus dari bank sentral membuat pelaku pasar bersemangat, dan mulai masuk kembali ke aset-aset berisiko yang bisa membuat IHSG, rupiah, maupun obligasi kembali menguat. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini
  • Tingkat Pengangguran Jepang (6:30 WIB)
  • Tingkat Keyakinan Konsumen Prancis (1:45 WIB)
  • Tingkat Penganggruan Spanyol (14:00 WIB)
  • Tingkat Keyakinan Konsumen AS (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN-P 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Maret 2020)

US$ 120,97 miliar




TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular