Jagat keuangan Tanah Air kemarin ikut goyah terimbas perkara harga minyak mentah kontrak yang jatuh ke teritori negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah dan nilai tukar rupiah terdepresiasi di hadapan dolar greenback.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, harga minyak mentah pengiriman Mei yang kontraknya berakhir pada 21 April 2020, ambrol sampai 300% lebih. Ya kemarin minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) jatuh ke teritori negatif dan menyentuh level minus US$ 37,63/barel.
Kabar yang menggemparkan dunia persilatan ini membuat bursa saham global mulai dari Wall Street, Asia hingga Indonesia kompak ditutup di zona merah. IHSG harus kembali merasakan getirnya berada di zona pesakitan akibat terkoreksi 1,62%.
Investor asing masih ogah-ogahan masuk ke bursa saham RI. Tengok saja data perdagangan kemarin. Mengacu pada data BEI, asing masih cabut dari pasar ekuitas Tanah Air sebesar Rp 427,3 miliar. Di sepanjang 2020, asing sudah bawa kabur Rp 15,87 triliun.
Beralih ke pasar Surat Utang Negara (SUN), harga surat utang pemerintah RI yang bertenor 10 tahun justru mengalami kenaikan. Hal ini terlihat dari penurunan imbal hasil sebesar 7,5 basis poin kemarin. Obligasi pemerintah seri acuan lain yang bertenor 5, 15 dan 20 tahun juga mengalami penurunan imbal hasil.
Beda nasib dengan pasar SUN yang menguat, nilai tukar rupiah malah terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Kemarin, keperkasaan mata uang Garuda diuji dan harus berakhir dengan pelemahan 0,16%. Di pasar spot rupiah dibanderol Rp 15.400/US$.
Di tengah kondisi seperti sekarang ini nilai tukar rupiah memang rawan koreksi. Impian Bank Indonesia (BI) rupiah bisa sentuh level Rp 15.000/US$ agaknya berat.
Pasalnya kalau melihat realita, dengan adanya pandemi corona (COVID-19), ekspor terancam menjadi tak bergairah karena pelemahan permintaan global dan pendapatan dari sektor pariwisata jelas tak bisa diharapkan.
Hal tersebut membuat amunisi bank sentral menjadi lebih terbatas. Apalagi saat rupiah mengalami depresiasi gila-gilaan di hadapan dolar AS pada akhir Februari hingga awal Maret lalu, cadangan devisa BI sudah tergerus US$ 10 miliar sendiri.
Di sisi lain musim pembagian dividen hingga Mei nanti yang berpotensi jadi katalis positif di pasar ekuitas bisa jadi penekan rupiah. Apalagi kondisi saat ini adalah menjelang Ramadan yang kebutuhan impor bahan baku dan konsumsi biasanya meningkat.
Kebutuhan akan dolar AS yang tinggi berpotensi menekan nilai tukar rupiah yang saat ini masih sangat bergantung pada aliran dana jangka pendek alias '
' yang bisa pulang kampung kapan saja.
Beralih ke bursa saham Negeri Paman Sam, dini hari tadi tiga indeks saham utama bursa saham New York ditutup di zona merah. Pelemahan pada ketiga indeks utama bursa saham AS dipicu oleh berbagai sentimen negatif seputar anjloknya harga minyak, rilis kinerja keuangan kuartal satu 2020 hingga data ekonomi yang buruk.
Setelah sehari sebelumnya harga minyak mentah berjangka WTI yang kontraknya kadaluwarsa pada 21 April 2020 ditransaksikan di teritori negatif, jelang masa berakhirnya kontrak komoditas emas hitam ini dihargai US$ 8,5/barel. Sudah masuk ke zona positif lagi.
Namun jangan senang dulu, harga kontrak WTI yang lebih aktif diperdagangkan untuk periode Juni 2020 sekarang jadi kena getahnya. Amblesnya minyak WTI kontrak pengiriman Mei juga memicu jebloknya harga kontrak untuk pengiriman bulan berikutnya.
Hal ini jelas menjadi sentimen negatif di pasar saham AS. Terutama untuk sektor yang terimbas langsung seperti industri migas. Amblesnya harga minyak menjadi sentimen buruk untuk saham-saham yang bergerak di sektor migas AS seperti OneOk yang ambles 4,43%, Conocco Phillips terkoreksi 3,12% dan Occiental Petroleum turun 1,87% jelang penutupan perdagangan.
Anjloknya harga minyak membuat Trump tak tinggal diam. Ia meminta kepada Menteri Energi AS Dan Brouillette dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin untuk menyiapkan rencana pendaan bagi industri sektor migas AS yang tengah goyah.
“Saya telah menginstruksikan menteri energi dan menteri keuangan untuk membuat formulasi dan rencana agar ada pendanaan untuk perusahaan-perusahaan dan lapangan kerja di industri ini penting ini agar bisa selamat untuk ke depannya” cuit Trump melalui akun twitternya, melansir CNBC Internasional.
Anjloknya harga minyak mentah disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang membuat permintaan terhadap emas hitam anjlok signifikan. Pandemi COVID-19 juga menyebabkan industri lainnya terguncang. Salah satunya adalah sektor software.
Salah satu emiten teknologi AS yakni IBM melaporkan penurunan penjualan 3,4% daari periode yang sama tahun lalu. Chief Financial Officer raksasa teknologi AS yakni IBM membenarkan bahwa kinerja perusahaan terancam goyah akibat pandemi. Alhasil saham IBM pun ikut terkoreksi 3,34%.
Tak hanya IBM saja yang sahamnya anjlok, saham dua raksasa teknologi Paman Sam lain yang bisnisnya juga mengandalkan software yakni Oracle dan Salesforce bernasib sama. Hingga penutupan perdagangan dini hari tadi saham Salesforce dan Oracle masing-masing ditutup dengan koreksi sebesar 7,45% dan 4,91%.
Kabar buruk lain juga datang dari rilis data ekonomi AS terbaru. Mengacu pada data National Association of Realtors, data penjualan rumah lama di AS bulan Maret mengalami kontraksi sebesar 8,5% dibanding bulan sebelumnya.
Penjualan rumah lama periode Maret 2020 mencapai 5,27 juta unit. Jauh lebih rendah dari estimasi pasar sebesar 5,3 juta unit dan anjlok dari bulan Februari yang mencapai 5,76 juta unit.
Pandemi COVID-19 memang telah merongrong perekonomian AS. Apalagi kini AS masih bertengger sebagai jawara di klasemen negara-negara dengan kasus COVID-19 terbanyak. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah penderita COVID-19 di AS sudah melebihi angka 800 ribu orang.
Di tengah berbagai sentimen buruk yang menerpa pasar AS kemarin, ada satu sentimen positif yang datang dari anggota parlemen AS. Setelah mengalami diskusi yang alot akhirnya Senat sepakat meloloskan rancangan undang-undang untuk paket stimulus tambahan senilai US$ 320 miliar yang diperuntukkan bagi usaha kecil di AS.
Stimulus tambahan yang masih merupakan bagian dari
Paycheck Protection Program (PPP) ini diusulkan setelah PPP kehabisan uang pekan lalu karena jutaan pemilik usaha kecil AS berbondong-bondong mengajukan pinjaman lunak senilai US$ 350 miliar.
Stimulus tersebut memang jadi sentimen positif. Namun mengingat sentimen negatif lebih banyak akhirnya Wall Street harus kembali ditutup dengan raut wajah muram. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 2,67%. Sementara itu di saat yang sama S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing terkoreksi 3% dan 3,4%. Artinya dalam dua hari terakhir Wall Street dirundung duka. Untuk perdagangan Rabu (22/4/2020) investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang datang dari luar maupun dalam negeri yang berpotensi menggerakkan pasar hari ini.
Pertama adalah kinerja Wall Street. Sebagai kiblat kapitalisme global, apa yang terjadi di Wall Street akan menjadi sentimen di bursa saham belahan dunia lainnya termasuk bursa saham Benua Kuning dan Indonesia yang buka pagi ini.
Wall Street yang bermuram durja dua hari terakhir bukanlah kabar yang baik untuk pasar saham kawasan Asia. Jika tidak ada kabar baik lain yang datang maka bursa saham Asia dan RI bisa mengekor Wall Street yang terbenam di zona merah dua hari terakhir.
Sentimen kedua yang perlu dicermati oleh investor tak lain dan tak bukan adalah perkembangan kasus COVID-19 secara global maupun nasional.
Mengacu pada data John Hopkins University CSSE, per Rabu (22/4/2020) 03.52 WIB dini hari tadi jumlah kasus secara global mencapai 2.546.527 orang sudah terinfeksi virus ganas ini. sebanyak 175.812 orang di antaranya dilaporkan meninggal dunia karena sistem pernapasannya dirusak oleh virus.
Amerika masih jadi pemimpin klasemen untuk hari ini dari segi jumlah kasus COVID-19 secara global jauh meninggalkan kawan-kawannya dengan 810.561 kasus dengan 43.796 kematian.
Sejatinya pertambahan jumlah kasus baru di AS sudah turun dua hari terakhir. Pada 19 April 2020 dalam sehari jumlah kasus COVID-19 di AS bertambah sebanyak 26.900 kasus. Pada 20 April 2020 jumlah kasus baru bertambah sebanyak 25.200 kasus. Artinya ada penurunan kasus sebanyak 1.700.
Melandainya jumlah kasus baru tak hanya terjadi di AS saja tetapi juga terjadi sebagian negara-negara Eropa seperti Italia, Perancis, Jerman, belanda, Swiss, Swedia dan Austria. Namun penurunan jumlah kasus baru di mayoritas negara-negara tersebut belum terjadi secara signifikan seperti kenaikannya.
Di sisi lain jumlah pertambahan kasus di belahan dunia lainnya masih terus bertambah. Salah satunya adalah Asia Tenggara. Pemimpin klasemen COVID-19 di Asia Tenggara adalah Singapura dengan total kasus mencapai 9.125 dengan 11 kematian.
Singapura mencatatkan pertambahan jumlah kasus baru yang signifikan akhir-akhir ini. kasus di Singapura bertambah lebih dari 1.400 dalam sehari. Hal ini memaksa Perdana Menteri Negeri Singa Lee Hsien Loong memperpanjang kebijakan semi-lockdown atau yang lebih dikenal dengan circuit breaker hingga 1 Juni nanti dari sebelumnya dijadwalkan berakhir pada 4 Mei.
Kebijakan semi-lockdown telah diterapkan di Singapura pada Selasa (7/4/2020). Warga diminta tetap tinggal di rumah dan sekolah-sekolah diliburkan. Hanya layanan penting seperti pasar, supermarket, klinik, rumah sakit, transportasi dan perbankan yang diperbolehkan buka. DI posisi kedua untuk regional Asia Tenggara ada Indonesia dengan jumlah kasus mencapai lebih dari angka 7.000 per kemarin. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI per Selasa (21/4/2020), jumlah penderita COVID-19 di Tanah Air secara kumulatif mencapai 7.145 orang.
Jumlah pasien yang dinyatakan sembuh sekarang lebih banyak dari yang meninggal. Jumlah pasien sembuh mencapai 842 orang sementara yang meninggal mencapai 616 orang. Jumlah sembuh bertambah banyak bisa jadi sentimen positif untuk pasar.
Namun mengingat jumlah kasus sudah berada di tahap yang mengkhawatirkan serta tingkat kematian masih berada di rentang 8,6% tentu bukanlah sebuah kabar yang positif.
Indonesia terus berupaya untuk memerangi musuh tak kasat mata dengan berbagai cara. Di sektor kesehatan sendiri lembaga biologi molekuler Eijkman dikabarkan menggandeng Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mengembangkan obat berupa antibodi dari pasien COVID-19 yang telah sembuh.
Di beberapa negara seperti AS dan China metode ini telah diimplementasikan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Mengacu pada sebuah laporan yang dipublikasikan 43 orang ilmuwan China di jurnal ilmiah internasional PNAS menyebutkan pasien COVID-19 yang menunjukkan gejala parah seperti batuk, sesak napas hingga sakit dada mengalami perbaikan bahkan sembuh dalam waktu 3 hari setelah diberikan plasma berisi antibodi.
Di sisi lain, industri farmasi Tanah Air juga terus berupaya untuk mengembangkan obat antivirus corona dan tak mau kalah dengan perusahaan farmasi global. Kabar terbaru menyebutkan emiten distributor alat kesehatan PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) menyatakan kesiapannya untuk memasok Avimac, obat yang dinilai dapat menangkal virus corona.
Sementara itu, emiten farmasi domestik yakni PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) juga dikabarkan tengah memproduksi obat COVID-19 dan bermitra dengan perusahaan farmasi asing.
Direktur Utama Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan perusahaan melakukan penelitian dan pengembangan bersama dengan partner perusahaan asing tersebut. Ia memberikan catatan obat Covid-19 ini tak hanya akan dibutuhkan saat ini tetapi akan dibutuhkan masyarakat jangka panjang.
"Sedang dalam proses persiapan, mudah-mudahan bulan Mei-Juni depan sudah bisa. Iya kolaborasi dengan partner dari luar negeri," kata Vidjongtius kepada CNBC Indonesia, Selasa (14/4/2020).
Investor perlu mencermati pergerakan saham dari emiten farmasi ini mengingat keduanya mendapat sentimen positif dari isu ini.
Dengan pertambahan jumlah kasus COVID-19 di berbagai daerah di dalam negeri, kini tak hanya wilayah Jabodetabek saja yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Surabaya, Gresik dan Sidoarjo juga akan mengikuti langkah yang sama Jabodetabek setelah mengantongi izin dari Menteri Kesehatan.
Dengan adanya kebijakan PSBB dan social distancing sektor telekomunikasi terutama operator seluler berpotensi besar meraup cuan dari peningkatan trafik. Oleh karena itu investor juga perlu mencermati saham-saham yang ada di sektor ini. Dengan pertambahan jumlah kasus COVID-19 di berbagai daerah di dalam negeri, kini tak hanya wilayah Jabodetabek saja yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Surabaya, Gresik dan Sidoarjo juga akan mengikuti langkah yang sama Jabodetabek setelah mengantongi izin dari Menteri Kesehatan.
Dengan adanya kebijakan PSBB dan social distancing sektor telekomunikasi terutama operator seluler berpotensi besar meraup cuan dari peningkatan trafik. Oleh karena itu investor juga perlu mencermati saham-saham yang ada di sektor ini.
Sentimen ketiga datang dari anjloknya harga minyak mentah kontrak berjangka. Harga kontrak WTI sebelumnya jatuh lebih dari 300% dan membuatnya berada di zona negatif. Harga minyak WTI yang negatif mengindikasikan produsen akan memberikan insentif alias duit kepada pembeli minyak yang sedang tidak membutuhkan komoditas ini.
Memberikan insentif kepada pelanggan dinilai jauh lebih ekonomis dibanding harus menutup produksi yang biayanya mahal seiring dengan kapasitas storage yang terisi penuh. Walau minyak WTI kini sudah berada di teritori positif.
Namun anjloknya kontrak WTI pengiriman Mei yang kadaluwarsa per 21 April juga membuat harga minyak WTI kontrak pengiriman Juni yang aktif diperdagangkan anjlok nyaris 50% dan dihargai belasan dolar per barel.
Sementara itu di saat yang sama harga kontrak minyak mentah acuan internasional Brent juga ambles 20,8% dalam sehari dan semakin mendekati level US$ 20/barel.
Ke depan analis memperkirakan tekanan pada harga minyak masih akan terjadi. Bahkan tak menutup kemungkinan harga minyak bisa minus lagi akibat oversupply yang terjadi di tengah pandemi COVID-19 ini.
Agensi Energi Internasional memperkirakan permintaan minyak mentah untuk April 2020 anjlok hingga 29 juta barel per hari (bpd). Namun di tengah merosotnya permintaan minyak yang tajam, organisasi negara-negara eksportir minyak dan koleganya (OPEC+) baru akan memangkas produksi pada Mei. Itu pun hanya 9,7 juta bpd dan dinilai kurang cukup untuk mengimbangi anjloknya permintaan minyak.
"Kami memperkirakan fundamental yang sangat lemah akan bertahan setidaknya sampai bulan depan," tulis analis Deutsche Bank Michael Hsueh dalam sebuah catatan kepada klien Senin, mengutip CNBC Intenational. “Tekanan yang berkelanjutan dapat mengakibatkan harga menjadi negatif lagi sebelum akhir Mei, nanti," tambahnya.
Kejatuhan harga minyak inilah yang membuat jagat finansial global kelimpungan dan saham-saham di sektor migas amburadul. Karena harga minyak masih tertekan maka sentimen negatif masih membayangi pasar. Saham-saham di sektor migas dalam negeri berpotensi kembali tertekan. Harga si emas hitam yang anjlok tak hanya membebani pasar keuangan saja. Harga bahan bakar fosil lain serta produk substitusinya yang dibayangi pelemahan permintaan di tengah pandemi juga mengalami penurunan signifikan.
Sentimen negatif dari anjloknya harga minyak juga memicu pelemahan harga batu bara. Kemarin harga batu bara termal kontrak acuan Newcastle (6.000 Kcal/Kg) anjlok lebih dari 5%. Harga batu bara makin mendekati level US$ 50/ton dan menjadi level terendah sejak Juni 2016.
Anjloknya harga batu bara termal perlu diwaspadai karena berpotensi membuat saham-saham emiten batu bara RI yang portofolio produknya didominasi oleh batu bara berkalori tinggi (> 6.000 Kcal/Kg) akan ikut tertekan. Pasalnya harga batu bara di 2019 saja untuk jenis termal sudah anjlok 30% lebih.
Di sisi lain tekanan pada harga minyak juga menjadi sentimen negatif untuk komoditas minyak sawit mentah (CPO). CPO merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan biodiesel yang menjadi produk substitusi minyak. Sehingga pergerakan harga minyak akan menjadi sentimen bagi pergerakan harga CPO.
Kemarin, harga CPO kontrak pengiriman Juli 2020 di Bursa Malaysia Derivatif (BMD) anjlok lebih dari 7% menyusul melorotnya harga minyak. Kini CPO dibanderol di rentang harga RM 2.000/ton atau setara dengan harga awal tahun lalu.
Krisis energi yang terjadi di tengah pandemi COVID-19 semakin menunjukkan bahwa perekonomian global sedang mengalami badai yang dahsyat. Ketika perekonomian terguncang, aset-aset minim risiko menjadi diminati. Dan kali ini fenomena itu muncul lagi.
Kejatuhan harga minyak juga membuat pasar panik dan memburu aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS dan dolar. Penurunan imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun dan menguatnya indeks dolar adalah indikatornya.
Virus corona memang buas dan kejam. Bukan hanya nyawa manusia saja yang ia minta. Virus jahat ini juga meminta tumbal lain. Korbannnya siapa lagi kalau bukan pasar keuangan, komoditas hingga perekonomian.
Dengan segenap sentimen negatif ini dan
mood di pasar cenderung menghindari risiko (
risk averse) dan mencari perlindungan karena corona mulai mencari tumbal lagi, maka bursa saham Asia dan Indonesia berpotensi tertekan lagi. Keperkasaan dolar AS pun berpotensi menumbangkan mata uang lainnya termasuk rupiah.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data URA Property Index Singapura Q120 (07.30 WIB)
- Rilis data Westpac Leading Index Australia bulan Maret 2020 (08.30 WIB)
- Rilis data perminyakan AS periode mingguan versi EIA (21.00 WIB)
Berikut sejumlah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini:
- Dividen PT Petrosea Tbk (PTRO)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Maret 2020 YoY) | 2,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN-P 2020) | -5,07% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (Maret 2020) | US$ 120,97 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA