Newsletter

Jangan Remehkan Virus Corona, Wall Street Saja Lesu Dibuatnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2020 06:02
Jangan Remehkan Virus Corona, Wall Street Saja Lesu Dibuatnya
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Sepertinya investor merespons negatif proyeksi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan ada kekhawatiran terhadap penyebaran virus Corona ke beberapa negara Asia.

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi 0,11%. Hampir seluruh pasar saham Asia juga melemah, hanya Taiwan yang mampu menguat.

Berikut perkembangan indeks saham utama Asia pada perdagangan kemarin:




Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga melemah. Rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,18%.

Mirip dengan di pasar saham, nyaris seluruh mata uang utama Benua Kuning pun melemah. Hanya satu yang selamat di jalur hijau yaitu yen Jepang.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada perdagangan kemarin:




IMF baru saja merilis World Economic Outlook edisi Januari 2020. Pertumbuhan ekonomi global pada 2019 diperkirakan 2,9%, dan akan meningkat menjadi 3,3% pada 2020 dan 3,4% pada 2021. Sedikit melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3% pada 2019, 3,4% pada 2020, dan 3,6% pada 2021.

"Revisi ke bawah tersebut sebagian besar disebabkan oleh India. Secara umum, perkiraan pemulihan pertumbuhan ekonomi global masih tidak pasti. Pemulihan ekonomi akan bergantung kepada negara-negara berkembang, sementara pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju sepertinya masih akan stabil di level yang sekarang," kata Gita Gopinath, Direktur Departemen Riset IMF, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Kewaspadaan belum boleh dikendurkan. IMF mencatat masih ada risiko seperti perang dagang AS-China yang belum hilang sepenuhnya, karena kedua negara baru sampai di kesepakatan Fase I. Ditambah lagi ada risiko geopolitik dan konflik sosial yang meningkat, seperti di Timur Tengah.


Risiko-risiko yang digarisbawahi IMF menunjukkan ketidakpastian di perekonomian global belum sepenuhnya reda. Meski AS-China sudah berdamai, tetapi ada berbagai hal lain yang bisa menghambat proses pemulihan ekonomi.

Agak khawatir dengan risiko-risiko yang ada, investor memilih menahan diri. Akibatnya, minat terhadap instrumen berisiko di negara berkembang berkurang, termasuk di Indonesia.

Selain itu, pelaku pasar juga mencemaskan merebaknya virus Corona di China. Pemerintah China mengungkapkan virus ini telah bisa menular melalui kontak antar-manusia.

Zhou Xianwang, Wali Kota Wuhan, mengungkapkan bahwa enam orang warganya meninggal akibat virus Corona. Wuhan adalah daerah yang paling parah, di mana terjadi 300 kasus serangan virus Corona.


Tidak hanya di China, kasus serangan virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, hingga Thailand. Semuanya melibatkan turis China asal Wuhan.

Oleh karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggelar rapat pada Rabu waktu AS. Rapat tersebut akan menentukan apakah serangan virus Corona sudah bisa diberi status darurat internasional.

"Saya bukan ahli pandemi, tetapi Anda bisa lihat contoh kasus sebelumnya seperti virus SARS yang juga berasal dari Asia. Sepertinya pasar khawatir akan ada kejadian serupa," kata Cristian Maggio, Head of Emerging Markets Strategy di TD Securites yang berbasis di London, seperti diberitakan Reuters.

[Gambas:Video CNBC]



Setelah libur memperingati Hari Martin Luther King Jr, pasar saham AS kembali dibuka. Sayang, Wall Street mengawali pekan dengan kurang enak.

Tiga indeks utama di bursa saham New York ditutup melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,57%, S&P 500 terkoreksi 0,28%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,2%.

Seperti di Asia, investor di New York juga mencemaskan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari IMF yang agak gloomy. Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, menyebutkan bahwa meski pertumbuhan ekonomi global sudah menyentuh titik nadir pada 2018, tetapi sepertinya belum terjadi lompatan yang signifikan.

"Kita belum sepenuhnya pulih, kenyataannya pertumbuhan ekonomi global masih lambat. Pada pekan pertama 2020, kita sudah melihat ada peningkatan risiko geopolitik di Timur Tengah serta dampak perubahan iklim yang dramatis di Australia dan sebagian Afrika," kata Georgieva dalam konferensi pers di sela-sela pertemuan World Economic Forum di Davos (Swiss), dikutip dari Reuters.


Risiko penyebaran virus Corona juga sedikit banyak mempengaruhi pergerakan Wall Street. Kenangan buruk pada 2002-2003 terngiang kembali, kala itu virus SARS merenggut nyawa hampir 800 orang di seluruh dunia.

Saham emiten perhotelan dan kasino yang memiliki operasional di China bertumbangan. Harga saham Las Vegas Sands Corp amblas 5,29% sementara saham Wynn Resorts anjlok 6,38%.

Begitu pula saham-saham sektor pariwisata seperti Booking Holdings (-3,28%) dan TripAdvisor Inc (-1,55%). Belum lagi saham-saham sektor transportasi misalnya Boeing (-3,53%).

"Masyarakat cemas karena ini bisa menjadi wabah yang kemudian berdampak terhadap aktivitas ekonomi. Kalau sudah mewabah, siapa yang mau bepergian?" tegas Peter Cardillo, Chief Market Economist di Spartan Capital Securities yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.

Situasi kian genting kala US Centers for Disease Control and Prevention menemukan sudah ada satu kasus pengidap virus Corona di AS. Kasus ini terjadi di Seattle, pengidapnya adalah seorang turis China asal Wuhan.


"Kejadian-kejadian seperti ini bisa menjadi risiko yang sistematis yang kemudian mempengaruhi fundamental perusahaan. Di pasar saham, dinamika seperti ini tidak mengejutkan. Apalagi memang ada alasan bagi investor untuk melakukan profit taking (ambil untung)," kata Mike Loewengart, Vice President Investment Strategy di E*TRADE Financial Corp, sebagaimana diwartakan Reuters.

Sepanjang pekan lalu, Wall Street menguat tajam di mana DJIA melompat 1,82%, S&P 500 melesat 1,96%, dan Nasdaq Composite meroket 2,29%. Ini adalah kenaikan mingguan tertinggi sejak pekan keempat Agustus 2018. Jadi memang ada alasan kuat bagi investor untuk mencairkan cuan.

 

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Koreksi pasar saham New York bisa membuat mood investor di Asia sudah jelek sebelum perdagangan dimulai.

Sentimen kedua adalah penyebaran virus Corona di China. Jangan meremehkan risiko ini, karena sudah terbukti bisa membuat pasar keuangan Asia sampai AS terjeblos ke zona merah.

Hal yang mencemaskan adalah kasus ini terjadi jelang Tahun Baru Imlek. Kalau di Indonesia hari libur utama adalah Idul Fitri, bisa dibilang Tahun Baru Imlek adalah ekuivalennya di China.


Saat Imlek, seperti halnya Idul Fitri di Indonesia, warga China berbondong-bondong mudik ke kampung halaman. Pemerintah China memperkirakan bakal ada tiga miliar perjalanan pada Imlek tahun ini, naik sedikit dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan itu, 2,43 miliar ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.

Bayangkan, kasus penyebaran virus terjadi kala masyarakat sedang aktif berpindah lokasi. Risiko perluasan penyebaran menjadi semakin tinggi. Apalagi kalau ada warga China yang sudah tertular dan merayakan libur Imlek di luar negeri, penyebaran virus bisa menjadi risiko global.

Kala kasus SARS menjadi ancaman global pada 2002-2003, bursa saham utama Asia berjatuhan. Indeks Hang Seng menjadi yang paling parah, karena saat itu jumlah korban jiwa terbanyak ada di Hong Kong.



Sepertinya perekonomian global punya masalah baru. Kala ketegangan di Timur Tengah masih ada, kini muncul risiko virus Corona. Ada-ada saja...


Sentimen kedua, kali ini kabar gembira, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mencapai kesepakatan soal pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan teknologi. Isu ini sempat memantik ketegangan Washington-Paris.


Pada Juli 2018, Prancis memberlakukan pajak 3% terhadap pendapatan perusahaan jasa yang didapat di negara tersebut. Pajak dikenakan terhadap perusahaan dengan pendapatan lebih dari EUR 25 juta di Prancis dan EUR 750 juta di seluruh dunia.

AS tidak terima, karena pajak tersebut menyasar perusahaan-perusahaan teknologi raksasa asal Negeri Paman Sam seperti Google, Facebook, Apple, Amazon, dan sebagainya. Trump mengancam bakal membalas dengan mengenakan bea masuk untuk impor produk Prancis seperti anggur, sampanye, keju, sampai tas mewah.


Namun setelah bertemu di Davos, keduanya menyepakati 'gencatan senjata'. Beberapa sumber di pemerintahan Prancis membisikkan kepada Reuters bahwa pengenaan pajak terhadap perusahaan-perusahaan teknologi akan ditunda dan AS berjanji tidak akan menerapkan bea masuk.

"Mereka (Trump dan Macron) setuju untuk memberi waktu bernegosiasi sampai akhir tahun ini. Selama periode tersebut, tidak ada pengenaan pajak maupun bea masuk," ungkap sang sumber.

Kesepakatan Trump-Macron membuat risiko perang dagang AS-Prancis mereda. Jika cukup kuat, maka kabar ini bisa menjadi sentimen positif di pasar.

 

Sentimen ketiga adalah perkembangan politik di AS. Hari ini, Senat memulai proses persidangan terhadap Trump yang terancam dilengserkan.

Bulan lalu, House of Representatives sepakat untuk mengajukan pemakzulan (impeachment) terhadap Trump. Sang presiden ke-45 Negeri Adidaya dinilai membahayakan kepentingan dan keamanan nasional dengan menjanjikan sesuatu kepada pihak luar untuk kepentingan pribadi/golongan.


Setelah lolos di House, proses berikutnya adalah sidang di Senat. Kalau keputusan harus diambil melalui voting, Trump akan aman ketika suara yang mendukung pemakzulan hanya kurang dari dua pertiga kursi Senat yang berjumlah 100. Namun jika dua pertiga suara setuju dengan pemakzulan, maka Trump harus berpisah dengan Gedung Putih.

Hari ini sidang masih membahas seputar tata cara, termasuk pemanggilan saksi-saksi. Pimpinan Mayoritas Senat Mitch McConnel (Partai Republik) menyebutkan pemanggilan para saksi dinilai tidak perlu karena sudah dilakukan sebelumnya ketika kasus berproses di House.

McConnell ingin persidangan berlangsung cepat tanpa kesaksian dan bukti-bukti baru. Partai Demokrat dan tim kuasa hukum Trump diberi waktu masing-masing dua hari untuk menyampaikan argumen.

Namun kubu Partai Demokrat menolak usulan ini. Demokrat menilai McConnell mencoba bermain curang. Mereka tetap ingin memanggil para saksi, salah satunya mantan Penasihat Keamanan Gedung Putih John Bolton.

Sembari menunggu putusan Senat, pelaku pasar bisa saja mengambil posisi defensif. Sebab sidang ini akan menentukan apakah AS akan mengalami pergantian kepemimpinan di tengah jalan atau tidak. Tentu sebuah risiko yang sangat besar kalau Trump sampai dilengserkan sebelum Pemilu AS yang sebenarnya tinggal hitungan bulan.

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan menggelar konferensi pers kuartalan. Seharusnya agenda ini berlangsung kemarin, tetapi diundur sehari.

KSSK dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai anggota. Undang-undang No 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan mewajibkan KSSK mengadakan rapat berkala setiap tiga bulan untuk menilai kesehatan sistem keuangan nasional.

Rapat KSSK kali ini berarti memiliki cakupan kuartal IV dan keseluruhan 2019. Dari sini akan diperoleh informasi bagaimana pembacaan KSSK terhadap sejumlah indikator penting seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, sistem pembayaran, kesehatan perbankan, penyaluran kredit, dan sebagainya.

Apakah pertumbuhan ekonomi 2019 masih mepet dengan 5%? Apakah neraca pembayaran, khususnya transaksi berjalan (current account), masih aman? Apakah pertumbuhan kredit masih melambat? Apakah industri perbankan dan non-bank seperti asuransi masih kuat?


Jawaban dari berbagai pertanyaan ini bisa diperoleh dari konferensi pers KSSK. Semoga ada kabar baik yang bisa menenangkan pasar.


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Korea Selatan periode kuartal IV-2019 (06:00 WIB).
2. Konferensi pers KSSK (08:30 WIB).
3. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Garuda Indonesia Tbk (09:00 WIB).
4. Rapat kerja Komisi XI DPR dengan OJK (10:00 WIB).
5. Rilis laporan keuangan PT Bank Negara Indonesia Tbk periode 2019 (14:00 WIB).
6. Rilis penjualan sepeda motor Indonesia periode Desember 2019 (tentatif).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Desember 2019 YoY)

2,72%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,18 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular