
Usai Komisi XI, Komisi VI DPR Ikut Bentuk Panja Jiwasraya
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
21 January 2020 17:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut membentuk panitia kerja (Panja) industri jasa keuangan, Komisi VI DPR juga bentuk Panja yang khusus penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Ketua Panja Jiwasraya sekaligus Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima memastikan, panja yang dibentuk oleh komisi VI ini tidak akan tumpang tindih dengan panja yang sudah dibentuk oleh Komisi XI DPR.
Pasalnya, kata Aria, panja yang dibentuk di Komisi XI lebih kepada hal yang menyangkut wilayah pemerintah. Seperti pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Bank Indonesia (BI).
"Apakah kalau PMN [Penyertaan Modal Negara] ada duitnya, privatisasi nanti berapa yang bisa diputuskan besarannya. [...] Jadi kalau kinerja korporasi supaya sehatnya itu seperti apa, timeline seperti apa, itu di kami," jelas Aria usai melakukan rapat pembentukan panja Jiwasraya di Ruang Rapat Komisi VI DPR, Selasa (21/1/2020).
Lebih lanjut, Aria menjelaskan, hasil dari panja Komisi VI ini, kata Aria ujungnya sama seperti output yang akan dihasilkan oleh Komisi XI DPR, yakni mengembalikan dana nasabah. Di tambah dengan menyehatkan kondisi keuangan perusahaan pelat merah tersebut.
Komisi VI memandang, setidaknya terdapat beberapa opsi yang bisa menjadi pilihan untuk menyehatkan Jiwasraya. Di antaranya yakni holding BUMN, privatisasi, serta bail out dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).
Dalam opsi privatisasi, Aria menegaskan, bahwa pemerintah harus tetap menjadi pemilik saham mayoritas perseroan. Di mana besaran saham yang di lepaskan kepada investor tidak boleh lebih dari 10%. Namun apabila 10% tidak cukup, maksimal privatisasi hanya bisa dilepaskan maksimal sampai 30% saja.
"Kan butuhnya Rp 32 triliun [mencukupi ketentuan RBC OJK 120%], tapi itu dilakukan secara bertahap. Pokoknya [pemerintah] harus di atas 50%. Harus mayoritas," ujarnya.
Kendati demikian, kata Aria privatisasi tidak menjadi pilihan utama. Panja lebih condong untuk mengusulkan agar penyelamatan Jiwasraya melalui skema holding atau bail out dari pemerintah melalui PMN.
Sejauh ini, Komisi VI masih melakukan koordinasi dengan Komisi XI DPR yang bermitra dengan Kemenkeu dan OJK.
"Kami masih menghitung privatisasi konsekuensinya apa, holding konsekuensinya apa, PMN apa. Ada dasar ada tujuan, ada target, ada sasaran. Kalau di panja ada kelebihan kami itung. Inilah gunanya panja untuk bicara yang lebih detail di dalam korporasi," ujar dia.
Saat ini, di tataran parlemen selain Komisi VI, Komis XI dan Komisi III juga telah membentuk panja terkait kasus yang menimpa Jiwasraya.
Pasalnya, perusahaan asuransi pelat merah tersebut terjerat kasus gagal bayar klaim dan polis akibat penempatan portofolio investasi di saham-saham gorengan. Per Agustus 2019 lalu, total kewajiban yang seharusnya dibayarkan perseroan kepada nasabah mencapai Rp 13,7 triliun.
(hps/hps) Next Article Dicecar DPR soal Goreng-menggoreng Saham, Begini Strategi OJK
Ketua Panja Jiwasraya sekaligus Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima memastikan, panja yang dibentuk oleh komisi VI ini tidak akan tumpang tindih dengan panja yang sudah dibentuk oleh Komisi XI DPR.
Pasalnya, kata Aria, panja yang dibentuk di Komisi XI lebih kepada hal yang menyangkut wilayah pemerintah. Seperti pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Bank Indonesia (BI).
Lebih lanjut, Aria menjelaskan, hasil dari panja Komisi VI ini, kata Aria ujungnya sama seperti output yang akan dihasilkan oleh Komisi XI DPR, yakni mengembalikan dana nasabah. Di tambah dengan menyehatkan kondisi keuangan perusahaan pelat merah tersebut.
Komisi VI memandang, setidaknya terdapat beberapa opsi yang bisa menjadi pilihan untuk menyehatkan Jiwasraya. Di antaranya yakni holding BUMN, privatisasi, serta bail out dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).
Dalam opsi privatisasi, Aria menegaskan, bahwa pemerintah harus tetap menjadi pemilik saham mayoritas perseroan. Di mana besaran saham yang di lepaskan kepada investor tidak boleh lebih dari 10%. Namun apabila 10% tidak cukup, maksimal privatisasi hanya bisa dilepaskan maksimal sampai 30% saja.
"Kan butuhnya Rp 32 triliun [mencukupi ketentuan RBC OJK 120%], tapi itu dilakukan secara bertahap. Pokoknya [pemerintah] harus di atas 50%. Harus mayoritas," ujarnya.
Kendati demikian, kata Aria privatisasi tidak menjadi pilihan utama. Panja lebih condong untuk mengusulkan agar penyelamatan Jiwasraya melalui skema holding atau bail out dari pemerintah melalui PMN.
Sejauh ini, Komisi VI masih melakukan koordinasi dengan Komisi XI DPR yang bermitra dengan Kemenkeu dan OJK.
"Kami masih menghitung privatisasi konsekuensinya apa, holding konsekuensinya apa, PMN apa. Ada dasar ada tujuan, ada target, ada sasaran. Kalau di panja ada kelebihan kami itung. Inilah gunanya panja untuk bicara yang lebih detail di dalam korporasi," ujar dia.
Saat ini, di tataran parlemen selain Komisi VI, Komis XI dan Komisi III juga telah membentuk panja terkait kasus yang menimpa Jiwasraya.
Pasalnya, perusahaan asuransi pelat merah tersebut terjerat kasus gagal bayar klaim dan polis akibat penempatan portofolio investasi di saham-saham gorengan. Per Agustus 2019 lalu, total kewajiban yang seharusnya dibayarkan perseroan kepada nasabah mencapai Rp 13,7 triliun.
(hps/hps) Next Article Dicecar DPR soal Goreng-menggoreng Saham, Begini Strategi OJK
Most Popular