Newsletter

Pantau AS-China Boleh, Tapi Jangan Lupa Meksiko Sudah Resesi!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 November 2019 06:23
Pantau AS-China Boleh, Tapi Jangan Lupa Meksiko Sudah Resesi!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Namun kalau melihat pasar keuangan Asia secara umum memang agak lucu, karena tidak ada pola yang seragam.

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,46%. Sementara indeks saham utama Asia lainnya tidak menunjukkan tren yang jelas, mixed.




Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat tipis 0,07% kala penutupan perdagangan pasar spot. Seperti halnya di pasar saham, pasar valas Benua Kuning pun tidak membentuk pola yang jelas.




Apa yang terjadi di pasar keuangan Asia mencerminkan kegamangan investor. Ada keraguan kala ingin masuk ke instrumen berisiko di negara-negara Asia, karena minimnya sentimen penggerak pasar.

Investor sepertinya masih wait and see, belum ada yang berani bermain ofensif karena menunggu perkembangan hubungan AS-China. Di satu sisi, ada harapan AS-China bisa mencapai kesepakatan damai dagang Fase I.

Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah berkomunikasi dengan Presiden China XI Jinping. Hasilnya cukup positif, di mana kesepakatan dagang diperkirakan bisa terjadi dalam waktu dekat.

"Kita akan segera memperoleh kesepakatan dengan China, mungkin sudah dekat," ujar Trump dalam wawancara bersama Fox News, seperti dikutip dari Reuters.


Namun di sisi lain, pelaku pasar juga mencemaskan ada faktor lain yang bisa mempengaruhi perjanjian damai dagang tersebut yaitu Hong Kong. Sebagai informasi, Kongres AS sudah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Jika aturan ini diterapkan, maka AS bisa menjatuhkan embargo kepada pejabat China yang dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah eks koloni Inggris tersebut.

Beijing tentu tidak terima bila AS ikut campur terlalu jauh dengan urusan dalam negeri mereka. Bisa saja intervensi AS menjadi sandungan bagi tercapainya damai dagang.

Selain itu, Trump juga menegaskan kesepakatan dengan China tidak bisa imbang. Kepentingan AS harus diutamakan, karena selama ini China dinilai telah berlaku tidak adil.

"AS menderita selama bertahun-tahun karena China mencatat surplus (perdagangan) yang begitu besar. Saya sudah mengatakan kepada Presiden Xi bahwa (kesepakatan) ini tidak bisa seimbang. Kami ada di lantai, sementara Anda sudah di langit-langit," tegas Trump dalam wawancara di Fox News.

Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.

Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
 

Namun jangan khawatir, karena Wall Street memberi harapan bagi pasar keuangan Asia hari ini. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,68%, S&P 500 menguat 0,75%, dan Nasdaq Composite melonjak 1,32%.

Lagi-lagi faktor yang menentukan arah pasar adalah soal AS-China. Jangan bosan, sebab selama belum ada kejelasan kapan Washington-Beijing meneken kesepakatan damai dagang, maka spekulasi akan terus berdatangan. Setiap kabar akan mendapat respons dari pelaku pasar.

Kali ini datang kabar baik, karena Global Times (tabloid yang berafiliasi dengan Partai Komunis China) mewartakan bahwa AS-China sudah sangat dekat untuk menyepakati perjanjian dagang Fase I. Bahkan kedua negara siap untuk melanjutkan ke fase berikutnya.


"Bertentangan dengan apa yang dilaporkan berbagai media, China dan AS sudah sangat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. China tetap berkomitmen untuk melanjutkan dialog untuk Fase II atau bahkan Fase III dengan AS, berdasarkan kesetaraan," cuit akun Twiiter Global Times.


Sentimen lain yang mengangkat bursa saham New York adalah rencana merger dan akuisisi. EBay berencana menjual anak usahanya yang bergerak di bidang penjualan tiket, StubHub, kepada Viagogo senilai US$ 4,05 miliar. Aksi korporasi ini kemungkinan akan selesai pada akhir kuartal I-2019.

Kemudian ada perusahaan fesyen ternama asal Prancis, Louis Vuitton, yang sepakat untuk mengakuisisi perusahaan perhiasan, Tiffany, dengan mahar US$ 16,2 miliar. Ini adalah akuisisi terbesar yang pernah dilakukan Louis Vuitton.

"Mood yang ada cukup positif saat ini. Anda bisa melihat merger dan akuisisi, yang secara umum berdampak positif kepada pasar, dan ada optimisme bahwa kita akan melihat terciptanya damai dagang," tutur Scott Brown, Kepala Ekonom Raymond James & Associates yang berbasis di Florida, seperti dikutip dari Reuters.

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang positif. Semoga optimisme di New York bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua, investor juga wajib terus memonitor perkembangan hubungan AS-China. Seperti biasa, ada sinyal yang mixed di sini.

Di satu sisi, Global Times memang melaporkan bahwa kedua negara sudah dekat dengan kata sepakat. Namun di sisi lain, masih ada perdebatan karena China tetap keukeuh memperjuangkan penghapusan seluruh bea masuk yang diterapkan selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir.

Selama perang dagang, AS sudah menerapkan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 550 miliar. China membalas dengan membebankan bea masuk bagi produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.

Sejauh ini AS masih ingin ada bea masuk bagi impor produk Negeri Tirai Bambu. Belum lama ini, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer mengatakan penghapusan bea masuk tanpa melihat isu menyangkut perlindungan atas hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi adalah sebuah kesepakatan yang buruk buat Negeri Adidaya.

Oleh karena itu, mari kita nantikan saja sebenarnya AS-China maunya apa. Namun yang jelas, sebelum Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping meneken perjanjian damai dagang Fase I, berbagai spekulasi akan bergerak liar. Sayangnya, setiap spekulasi itu akan menjadi sentimen penggerak pasar.

Sentimen ketiga, ada kabar kurang enak. Meksiko resmi memasuki resesi setelah pada kuartal III-2019 membukukan kontraksi ekonomi (pertumbuhan negatif) 0,3%. Pada kuartal sebelumnya, ekonomi Negeri Telenovela terkontraksi 0,8%.

Resesi adalah kontraksi ekonomi selama dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Berdasarkan definisi ini, Meksiko sudah resesi.



Meksiko menjadi negara anggota G20 kedua setelah Turki yang masuk ke jurang resesi. Perkembangan di Meksiko bisa menjadi sentimen negatif bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.


Namun sejauh ini belum terlihat tanda-tanda investor melakukan aksi jual terhadap rupiah. Mengutip survei Reuters, investor masih berada di posisi long (beli) di mata uang Tanah Air.

Reuters menggunakan skala -3 sampai 3 untuk mengukur posisi long terhadap dolar AS. Semakin tinggi angkanya, maka posisi long terhadap dolar AS semakin tinggi yang mencerminkan tekanan jual terhadap mata uang domestik.

Reuters

Semoga apa yang terjadi di Meksiko tidak terlalu mempengaruhi persepsi investor terhadap aset-aset di negara berkembang lainnya. Akan tetapi, pasar keuangan Indonesia tetap harus waspada terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.


Berikut agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
  1.      Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (08:00 WIB).
  2.      Pertamina Energy Forum 2019 (09:00 WIB).
  3.      Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (10:00 WIB).
  4.      Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (14:00 WIB).
  5.      Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Tabungan Negara Tbk (14:00 WIB).
  6.      Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (14:00 WIB).
  7.      Rilis data pembacaan awal Indeks Kepercayaan Konsumen Jerman periode Desember 2019 (14:00 WIB).
  8.      Rilis data pembacaan awal neraca perdagangan AS periode Oktober 2019 (20:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Oktober 2019 YoY)

3,13%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,69 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular