Newsletter

Trump: China "Curang", The Fed Beri Kami Uang!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 November 2019 06:52
Trump: China
Foto: Presiden AS Donald Trump (REUTERS/David Becker)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri bergerak variatif pada perdagangan Selasa (12/11/19) kemarin, sentimen pelaku pasar mulai membaik setelah kabar-kabar bagus mulai berdatangan.

Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat membalikkan pelemahan di awal pekan, tetapi obligasi atau surat utang negara (SUN) masih melanjutkan pelemahan.

Perundingan kesepakatan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China masih menjadi penggerak utama, investor berfokus pada pidato Presiden AS Donald Trump di acara Economic Club di New York Selasa waktu setempat. Pasar Asia sudah ditutup saat Trump berpidato, sehingga terjadi aksi wait and see.



Rupiah mampu mencatat penguatan tipis, 0,06% ke level Rp 14.050/US$. Meski demikian penguatan rupiah patut diapresiasi mengingat mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS.



Seiring dengan rupiah, IHSG mencetak penguatan 0,53% ke level 6.180,99, tetapi penguatan IHSG justru diikuti dengan aksi jual asing. Berdasarkan data RTI, asing melakukan aksi jual bersih atau net sell Rp 483,86 miliar di pasar reguler.

Aksi net sell tersebut menggambarkan investor masih berhati-hati menanti perkembangan kesepakatan dagang AS-China.

Sementara itu yield SUN tenor 10 tahun Selasa kemarin naik 3,6 basis poin ke level 7,05%. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Sembari menanti perkembangan kesepakatan dagang AS-China, beberapa kabar bagus datang dari Eropa sejak Senin kemarin. Inggris berhasil lepas dari terhindar dari resesi Inggris berhasil lepas dari resesi setelah perekonomiannya tumbuh 0,3% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ) pada periode Juli-September.

Selain itu kabar bagus lainnya datang dari ketua umum Partai Brexit, Nigel Farage, yang memberikan jalan bagi Partai Konservatif untuk bisa memperbanyak kursi mayoritas di parlemen Inggris pada Pemilihan Umum (Pemilu) sela yang akan diadakan 12 Desember nanti.

Jika kurs mayoritas Partai Konservatif bertambah, maka lolosnya proposal Brexit di parlemen akan menjadi lebih mudah. Partai Konservatif merupakan partai pemerintah saat ini di bawah pimpinan Boris Johnson yang juga merupakan perdana menteri Inggris.



Selanjutnya pada Selasa kemarin, Sementara itu pada hari ini, ONS melaporkan tingkat pengangguran Inggris turun menjadi 3,8% di bulan September dari bulan sebelumnya 3,9%.

Penurunan tingkat pengangguran juga diikuti dengan pertumbuhan rata-rata upah yang cukup baik. Dalam tiga bulan yang berakhir September, rata-rata upah naik 3,6% di badingkan periode yang sama pada tahun lalu, meski pertumbuhan tersebut lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 3,8%.

Kabar bagus juga datang dari zona euro, tingkat keyakinan ekonominya mengalami perbaikan signifikan. Hasil survei yang dilakukan ZEW terhadap analis dan investor menunjukkan angka indeks -1.

Angka di minus memang menunjukkan para analis dan investor pesimistis terhadap kondisi ekonomi dalam enam bulan ke depan, tetapi jika dilihat dari rilis sebelumnya -23,5, tentunya terjadi perbaikan sentimen yang signifikan.

Indeks keyakinan ekonomi Jerman juga mengalami perbaikan yang signifikan, dari -22,8 pada bulan Oktober, menjadi -2,1 di bulan ini.

Kabar paling menggembirakan datang setelah CNBC International melaporkan Presiden Trump pekan ini diperkirakan akan mengumumkan penundaan kenaikan bea masuk produk otomotif dari Uni Eropa hingga enam bulan ke depan.

Bursa saham AS (Wall Street) kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada perdagangan Selasa kemarin. Jika di hari Senin indeks Dow Jones yang mencetak rekor tertinggi sementara S&P 500 dan Nasdaq terkoreksi, kemarin malah berkebalikan. 

Indeks Dow Jones mengakhiri perdagangan Selasa dengan stagnan di 27,671,49, sementara S&P 500 dan Nasdaq mencetak rekor tertinggi sepanjang masa dengan menguat masing-masing 0,2% dan 0,3% ke 3.091,84 dan 8,486,09.

Pasar merespon pidato Presiden Trump di ajang Economic Club of New York. Pada kesempatan itu, Presiden AS ke-45 itu mengindikasikan China antusias dalam mencapai kesepakatan dagang, meski juga menyerang Negeri Tiongkok dengan menyebutnya "curang" dalam kesepakatan dagang di era presiden-presiden AS sebelumnya. 



Kemajuan perundingan kesepakatan dagang AS-China menjadi pemicu utama Wall Street terus mencetak rekor tertinggi. Dalam satu bulan terakhir indeks Dow Jones dan S&P 500 menguat lebih dari 3%, sementara Nasdaq memimpin 5,3%. 

Pada bulan lalu, Presiden Trump mengatakan kedua negara sudah sepakat untuk menandatangani kesepakatan dagang fase satu di bulan November. Namun belakangan terjadi pasang surut perundingan dagang kedua negara. 



China mengklaim AS sudah setuju untuk membatalkan sebagian bea masuk, tetapi hal tersebut segera dibantah oleh para pejabat Negeri Paman Sam, termasuk oleh Presiden Trump. 

Meski demikian, para investor tetap optimistis kedua negara pada akhirnya akan menandatangani kesepakatan dagang.

"Aksi jual di pasar berkurang, karena kami memiliki optimisme terhadap perundingan dagang ... musim laporan earning yang lebih baik dari prediksi dan kita menuju musim belanja yang kuat, banyak hal bagus yang terjadi saat ini" kata JJ Kinahan, kepala strategist pasar di TD Ameritrade, sebagaimana dilansir CNBC International

Tidak hanya Wall Street, bursa saham Eropa juga menghijau pada Selasa kemarin, ini berarti bursa di tiga benua kompak menguat. Serangkaian kabar bagus dari Eropa yang disebutkan sebelumnya serta rekor beruntun yang dicetak Wall Street dapat mengirim hawa positif lagi ke pasar Asia pada perdagangan hari ini Rabu (13/11/19), IHSG berpeluang kembali menguat.

Pidato Presiden Trump pada Selasa waktu setempat, atau tengah malam tadi waktu Indonesia sebenarnya cukup keras dalam menyerang China. Trump menyebut China "curang" dalam kesepakatan dagang di era presiden-presiden AS sebelumnya. 

"Sejak China masuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001, tidak ada negara yang memanipulasi atau memanfaatkan Amerika Serikat sebaik China. Saya tidak akan mengatakan "curang", tapi tidak ada yang lebih curang dari China, saya akan mengatakan itu" kata Trump dalam acara Economic Club of New York, sebagaimana dilansir CNBC International

Meski memberikan pernyataan keras, tetapi Trump tidak menyalahkan China, ia justru menyalahkan presiden-presiden sebelumnya yang melakukan negosiasi perdagangan dan membiarkan AS dimanipulasi. 


Selain China, Trump juga menyerang Uni Eropa yang dikatakan menerapkan kebijakan perdagangan yang tidak adil. 

"Banyak negara mengenakan kita bea masuk yang sangat tinggi atau menciptakan hambatan dalam perdagangan. Dan saya akan jujur, Uni Eropa, sangat, sangat sulit. Hambatan perdagangan yang mereka buat sangat mengerikan, dalam banyak hal mereka lebih buruk dari China" ujar Trump. 

Serangan terhadap Uni Eropa terjadi saat kabar menyebutkan Trump akan menunda kenaikan bea masuk otomotif dari Benua Biru selama enam bulan, salah satu faktor yang membuat bursa saham Eropa menguat Selasa kemarin. 

Meski pernyataan Trump tersebut terlihat keras, tapi sejauh ini pelaku pasar masih merespon positif dan tetap optimistis akan adanya kesepakatan dagang. Tapi patut diperhatikan juga perbedaan interpretasi dari investor yang bisa memicu koreksi di pasar.



Setelah menyerang China dan Uni Eropa, Presiden Trump juga menyerang lagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Trump mengatakan The Fed ragu-ragu dalam menurunkan suku bunga yang berdampak pada tertahannya laju pertumbuhan ekonomi serta penguatan bursa saham AS. Trump berpendapat The Fed seharusnya terus memangkas suku bunga agar AS bisa kompetitif di pasar global. 

"Kita secara aktif berkompetisi dengan negara-negara yang terbuka memangkas suku bunga sehingga banyak yang dibayar ketika melunasi pinjaman mereka, atau yang dikenal dengan suku bunga negatif" kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International. "Siapa yang pernah mendengar hal tersebut?" tanya Trump kepada audience.

"Berikan saya itu. Berikan saya uang itu. Saya ingin uang itu. Bank sentral kita tidak mengijinkan kami melakukan itu" kata Trump.

Pernyataan Trump terakhir merujuk pada suku bunga di AS yang masih dianggap terlalu tinggi dibandingkan negara-negara maju lainnya. Trump ingin The Fed terus menurunkan suku bunga akan sehingga lebih banyak uang yang beredar di pasar, sehingga roda perekonomian diharapkan bisa lebih terpacu. 

The Fed sudah tidak kali memangkas suku bunga di tahun ini masing-masing sebesar 25 basis poin, dan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) saat ini sebesar 1,5-1,75%. 



Kali terakhir The Fed memangkas suku bunga pada akhir Oktober lalu, tetapi kala itu ketua The Fed, Jerome Powell, mengindikasikan suku bunga tidak akan dipangkas lagi, kecuali perekonomian AS memburuk. 

Kurang dari 24 jam setelah Trump menyerang The Fed, Powell akan memberikan testimoni di hadapan Kongres AS. Powell kemungkinan akan menegaskan sikapnya untuk menahan suku bunga kecuali ekonomi AS memburuk. 

Namun, Powell dijadwalkan memberikan testimoni mulai pukul 23:00 WIB, saat pasar Asia sudah ditutup, sehingga belum akan direspon oleh pasar dalam negeri. Selain itu, nanti malam akan dirilis data inflasi AS, yang merupakan salah satu acuan The Fed dalam menentukan suku bunga. 

Akibatnya akan ada aksi wait and see jilid II di pasar Asia pada hari ini. Tetapi setidaknya Trump yang kembali menyerang The Fed sedikit memberikan tekanan bagi dolar AS, dan rupiah bisa mendapat keuntungan dari hal tersebut. 



Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini

  • Indeks Upah Australia (pukul 7:30 WIB)
  • Pengumuman suku bunga Bank Sentral Selandia Baru (pukul 8:00 WIB)
  • Inflasi Jerman (pukul 14:00 WIB)
  • Inflasi Inggris (pukul 16:30 WIB)
  • Produksi Industri Zona Euro (pukul 17:00 WIB)
  • Inflasi AS (pukul 20:30 WIB)
  • Testimoni Ketua The Fed Jerome Powell (pukul 23:00 WIB) 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Oktober 2019 YoY)

3,13%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (2Q-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (2Q-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,7 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular