
Newsletter
Hati-Hati, Euforia Suku Bunga The Fed Mulai Pudar..
Taufan Adharsyah, Anthony Kevin, & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 June 2019 06:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri mampu membukukan hasil yang memuaskan pada perdagangan kemarin, Selasa (25/6/2019).
Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,38% ke level 6.312,1, nilai tukar rupiah menguat 0,11% menjadi Rp 14.120/US$.
Adapun imbal hasil (yield) obligasi acuan pemerintah tenor 10 tahun turun 3,7 basis poin menjadi 7,44%. Pergerakan yield dan harga di pasar obligasi akan bergerak berlawanan arah. Kala yield turun, artinya harga sedang naik. Berlaku pula sebaliknya.
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan melemah: indeks Nikkei turun 0,43%, indeks Shanghai turun 0,87%, indeks Hang Seng turun 1,15%, indeks Straits Times turun 0,22%, dan indeks Kospi turun 0,22%.
Pada penutupan pasar spot, penguatan rupiah juga terasa istimewa karena sebagian besar mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong dan yen Jepang yang menemani rupiah di jalur hijau.
Sentimen yang berkembang di pasar agaknya memang mendukung investor untuk lebih berhati-hati masuk ke instrumen-instrumen berisiko.
Salah satunya adalah ketegangan Amerika Serikat (AS) dengan Iran yang semakin menjadi-jadi. Pada hari Selasa (26/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump menjatuhkan sanksi baru kepada Iran.
Trump menandatangani perintah eksekutif yang disebut Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin akan membekukan aset-aset Iran senilai miliaran dolar, dilansir dari Reuters.
"Sanksi itu akan menutup akses Pemimpin Tertinggi (Iran) dan jajarannya, serta mereka yang terafiliasi dengannya dan kantornya terhadap sumber-sumber dan dukungan keuangan yang penting," kata Trump.
Perkembangan terbaru, Iran menyebut bahwa sanksi yang diberikan AS kepada pemimpin tertingginya dan pejabat-pejabat lain telah secara permanen menutup pintu diplomasi antara Teheran dan Washington.
"Mengenakan sanksi yang tak berguna terhadap Pemimpin Tertinggi Iran (Ayatollah Ali Khamenei dan panglima diplomasi Iran (Menter Luar Negeri Mohammad Javad Zarif) berarti penutupan pintu diplomasi secara permanen," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi di Twitter.
Konflik jelas bukan kabar baik bagi investor karena akan mengundang ketidakpastian politik dan ekonomi muncul di pasar.
Hal lain yang membuat pelaku pasar grogi adalah penantian pertemuan Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang pada akhir pekan ini.
Meskipun sejauh ini auranya masih positif, namun potensi eskalasi perang dagang masih ada. Trump sudah berkali-kali menyatakan keinginannya untuk mengenakan tarif baru 25% pada produk China senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya bukan objek perang dagang.
Dua sentimen tersebut membuat investor cenderung enggan untuk masuk ke pasar keuangan benua kuning, kecuali Indonesia. Pasalnya, pasar keuangan Merah Putih memang memiliki sejumlah keuntungan.
Contohnya bursa saham Indonesia yang menawarkan keuntungan lebih karena valuasi yang lebih murah ketimbang sejumlah negara tetangga. Saat ini Price to Earnings Ratio(P/E) Indeks Harga Saham Gabungan ada di 16,33 kali. Lebih rendah ketimbang KLCI Malaysia (18,3 kali), SET Thailand (16,98 kali), PSEI Filipina (19,48 kali), atau Sensex India (24,21 kali).
Selain keuntungan, Indonesia juga menawarkan keamanan investasi seiring kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor's (S&P) dari BBB- menjadi BBB. Indonesia semakin layak dijadikan tujuan investasi.
Keuntungan dan keamanan, menjadi alasan kuat bagi investor untuk terus masuk ke pasar keuangan Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,38% ke level 6.312,1, nilai tukar rupiah menguat 0,11% menjadi Rp 14.120/US$.
Adapun imbal hasil (yield) obligasi acuan pemerintah tenor 10 tahun turun 3,7 basis poin menjadi 7,44%. Pergerakan yield dan harga di pasar obligasi akan bergerak berlawanan arah. Kala yield turun, artinya harga sedang naik. Berlaku pula sebaliknya.
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan melemah: indeks Nikkei turun 0,43%, indeks Shanghai turun 0,87%, indeks Hang Seng turun 1,15%, indeks Straits Times turun 0,22%, dan indeks Kospi turun 0,22%.
Pada penutupan pasar spot, penguatan rupiah juga terasa istimewa karena sebagian besar mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong dan yen Jepang yang menemani rupiah di jalur hijau.
Sentimen yang berkembang di pasar agaknya memang mendukung investor untuk lebih berhati-hati masuk ke instrumen-instrumen berisiko.
Salah satunya adalah ketegangan Amerika Serikat (AS) dengan Iran yang semakin menjadi-jadi. Pada hari Selasa (26/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump menjatuhkan sanksi baru kepada Iran.
Trump menandatangani perintah eksekutif yang disebut Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin akan membekukan aset-aset Iran senilai miliaran dolar, dilansir dari Reuters.
"Sanksi itu akan menutup akses Pemimpin Tertinggi (Iran) dan jajarannya, serta mereka yang terafiliasi dengannya dan kantornya terhadap sumber-sumber dan dukungan keuangan yang penting," kata Trump.
Perkembangan terbaru, Iran menyebut bahwa sanksi yang diberikan AS kepada pemimpin tertingginya dan pejabat-pejabat lain telah secara permanen menutup pintu diplomasi antara Teheran dan Washington.
"Mengenakan sanksi yang tak berguna terhadap Pemimpin Tertinggi Iran (Ayatollah Ali Khamenei dan panglima diplomasi Iran (Menter Luar Negeri Mohammad Javad Zarif) berarti penutupan pintu diplomasi secara permanen," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi di Twitter.
Konflik jelas bukan kabar baik bagi investor karena akan mengundang ketidakpastian politik dan ekonomi muncul di pasar.
Hal lain yang membuat pelaku pasar grogi adalah penantian pertemuan Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang pada akhir pekan ini.
Meskipun sejauh ini auranya masih positif, namun potensi eskalasi perang dagang masih ada. Trump sudah berkali-kali menyatakan keinginannya untuk mengenakan tarif baru 25% pada produk China senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya bukan objek perang dagang.
Dua sentimen tersebut membuat investor cenderung enggan untuk masuk ke pasar keuangan benua kuning, kecuali Indonesia. Pasalnya, pasar keuangan Merah Putih memang memiliki sejumlah keuntungan.
Contohnya bursa saham Indonesia yang menawarkan keuntungan lebih karena valuasi yang lebih murah ketimbang sejumlah negara tetangga. Saat ini Price to Earnings Ratio(P/E) Indeks Harga Saham Gabungan ada di 16,33 kali. Lebih rendah ketimbang KLCI Malaysia (18,3 kali), SET Thailand (16,98 kali), PSEI Filipina (19,48 kali), atau Sensex India (24,21 kali).
Selain keuntungan, Indonesia juga menawarkan keamanan investasi seiring kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor's (S&P) dari BBB- menjadi BBB. Indonesia semakin layak dijadikan tujuan investasi.
Keuntungan dan keamanan, menjadi alasan kuat bagi investor untuk terus masuk ke pasar keuangan Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Aroma Dovish The Fed Pudar
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular