Pengakuan Pengusaha AS: RI Tak Untung dari Perang Dagang

S. Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
25 June 2019 19:50
Vietnam jadi negara yang paling diuntungkan dari perang dagang AS-China.
Foto: Ketua Vingroup Pham Nhat Vuong memandu Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc selama tur ke pabrik mobil Vinfast pada saat upacara pembukaannya di kota Hai Phong, Vietnam 14 Juni 2019. REUTERS / Kham
Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa pekan lalu, laporan perusahaan riset keuangan asal Jepang, Nomura mengungkapkan bahwa eskalasi perang dagang antara AS dan China telah menguntungkan sejumlah negara, di antaranya Vietnam, Chile, Malaysia, Argentina, dan Thailand.

Dalam laporan tersebut, terungkap importir dari AS dan China berusaha menghindari pengenaan bea impor tinggi yang dikenakan masing-masing pemerintahnya dengan cara mengalihkan pesanan mereka ke negara-negara tersebut yang tidak dikenakan bea masuk tinggi.



Vietnam bahkan berhasil meraup tambahan nilai dagang hingga setara 7,9% PDB-nya sepanjang kuartal I-2019 dari pengalihan dagang (trade diversion) ini sebagai dampak dari perang dagang yang belum berkesudahan.

Sayangnya, Indonesia tak masuk dalam daftar 30 negara di laporan tersebut yang mendapat "durian runtuh" dari imbas perang dagang.
CNBC Indonesia kemudian melakukan wawancara eksklusif dengan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani.

Shinta mengatakan, meskipun tidak ada perang dagang sekalipun, Indonesia sudah kalah dari negara-negara ASEAN lainnya, terutama Vietnam. Fakta ini pun dicetuskan oleh perwakilan Kadin AS (US Chamber of Commerce) yang datang menemuinya.



"Barusan saya selesai meeting sama US Chamber of Commerce, karena saya mau dengar dari mereka sendiri. Dia bilang, 'You know Shinta, Indonesia is not taking advantage of this' [Indonesia tidak mengambil keuntungan apapun dari kondisi perang dagang ini]. Dia katakan negara yang paling banyak dapat keuntungan hingga 80% itu Vietnam. Itu jelas-jelas kata dia. Jadi bukan saya sendiri yang ngomong," kata Shinta kepada CNBC Indonesia.

Menurut Shinta, tanpa adanya perang dagang pun, banyak faktor yang membuat Indonesia kalah jauh dibandingkan tetangga-tetangganya, mulai dari iklim investasi hingga industri manufaktur Indonesia yang tidak melibatkan diri ke dalam rantai pasok global (global supply chain).

"Saya selalu katakan perang dagang ini seperti wake up call buat kita. Sekarang kita lihat kan, dengan adanya perang dagang kita jadi nggak bisa maju cepat karena kita nggak siap. Produk apa yang bisa kita tingkatkan? Investasi apa yang bisa masuk ke sini dengan adanya perang dagang? Ini sekarang kita sudah kalah. Jangan bilang kita nggak kalah. Kita sudah kalah. Terima dulu. Sekarang, what can we do?" jelasnya.

"Kalau kita melihat dari segi ekspor, selama ini yang jadi permasalahan adalah produk-produk Indonesia belum bisa menjadi bagian dari global supply chain. That's the biggest problem," imbuhnya.



Dalam jangka pendek, Shinta mengidentifikasi setidaknya empat industri komoditi ekspor unggulan yang sudah siap untuk mengambil ceruk pasar di Negeri Paman Sam akibat perang dagang dengan China. Keempat komoditas itu antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki (footwear), komponen otomotif dan lainnya, serta mebel (furniture).

"Masalah di industri alas kaki adalah kapasitas produksi di sini terbatas. Jadi biarpun dia mengambil peluang itu, kalau nggak ada investasi baru tentu akan kesulitan.

Apalagi? Ini yang perlu kita identifikasi. Makanan-minuman (mamin) bisa nggak? Dari China ada sih, kayak perikanan, mungkin itu bisa kita ambil. Ini yang sedang kita lakukan pemetaannya," jelas Shinta, yang juga menjabat sebagai CEO Sintesa Group.


Dalam jangka panjang, Shinta menitikberatkan pada upaya industrialisasi di Tanah Air. Menurutnya, sekitar 70% dari bahan baku produk manufaktur Indonesia saat ini masih dipenuhi dari impor, dan hal ini membuat produk kita tidak kompetitif dari segi harga. Untuk itu, Indonesia perlu mulai fokus membangun industri hulu supaya tidak ketergantungan bahan baku impor.

"Bahkan tekstil saja 80 persen lebih bahan bakunya impor. Makanya di sini kita melakukan hilirisasi dalam satu sisi, tapi industri hulu juga mesti kita kembangkan. Ini PR jangka menengah-panjang yang harus diperhatikan," katanya.
(hoi/hoi) Next Article Kenapa Vietnam Untung dari Perang Dagang, Indonesia Tidak?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular