Saat Nasib Dunia Ditentukan 2 Orang Saja: Trump & Xi Jinping

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 June 2019 12:18
Saat Nasib Dunia Ditentukan 2 Orang Saja: Trump & Xi Jinping
Ilustrasi Donald Trump dan Xi Jinping (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia terlalu besar untuk ditentukan oleh satu-dua orang saja. Sebab jika hanya mengandalkan segelintir orang untuk menentukan nasib ribuan bahkan jutaan lainnya, maka hasilnya bisa mengecewakan. 

Tengok saja klub basket Amerika Serikat (AS) Chicago Bulls yang dominan pada dekade 1980-an. Walau Bulls 1996 sering disebut sebagai tim impian, tetapi banyak yang sepakat bahwa motor penggerak utama adalah duet Michael Jordan-Scottie Pippen. 

Atau klub sepak bola asal Italia, Fiorentina, juga pada era 1990-an. La Viola adalah kuda hitam yang sering merepotkan kekuatan mapan, seperti Juventus, AC Milan, atau Inter Milan. Walau sepak bola dimainkan oleh 11 orang, tetapi tidak bisa disangkal bahwa Fiorentina begitu bertumpu kepada Gabriel Batistuta-Manuel Rui Costa. 

Dengan Jordan-Pippen, Bulls merajai NBA dengan menjadi juara pada 1991, 1992, 1993, 1996, 1997, dan 1998. Sementara Fiorentina dengan Batistuta-Rui Costa menjadi salah satu dari Magnificent Seven, tujuh kekuatan utama di Serie A Italia.


Namun, tanpa Jordan-Pippen dan Batistuta-Rui Costa, kedua tim itu turun status menjadi medioker. Bahkan Fiorentina sempat bangkrut sebelum berhasil bangkit dari kubur.
 

Itulah celakanya menggantungkan nasib kepada dua orang saja. Saat dua orang itu pergi atau mengecewakan, semua orang harus merasakan dampak buruknya. 

Sayang sekali, sekarang perekonomian dunia sedang dalam kondisi seperti itu. Arah dan prospek pertumbuhan ekonomi global ditentukan oleh dua orang, yaitu Donald Trump dan Xi Jinping. 

Akhir pekan ini, sang Presiden AS dan Presiden China berencana akan bertemu di Osaka (Jepang). Seperti halnya di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu, Trump-Xi akan berdialog membahas isu-isu perdagangan di sela-sela KTT G20. 

Investor (dan seluruh pelaku ekonomi) menantikan pertemuan di Negeri Matahari Terbit itu. Pasalnya, dunia sangat berharap AS-China mencapai damai dagang setelah terlibat friksi selama sekitar setahun. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Perang dagang AS-China adalah topik utama yang mewarnai perekonomian dunia sejak 2018. Jelang akhir 2018, sempat ada harapan perang dagang akan berakhir, karena pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires yang sudah disinggung sebelumnya. Namun selepas serangkaian dialog, hubungan Washington-Beijing kembali memburuk dan dua negara kembali 'berbalas pantun' dengan kebijakan bea masuk. 

Semua pihak menjadikan isu ini sebagai sentimen negatif yang menjadi salah satu risiko besar. Berbagai bank sentral dunia masih menjadikan perang dagang AS-China sebagai risiko yang amat sangat perlu diperhatikan sekali.



"Kebijakan perdagangan dan prospek perekonomian global bisa membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS," tulis notula rapat The Federal Reserves/The Fed edisi Mei. 

"Risiko ke bawah (downside risk) perekonomian saat ini bisa datang dari dampak kebijakan proteksionistis (termasuk friksi dagang AS-China)," tulis notula rapat Bank Sentral Jepang (BoJ) edisi April. 

"Eskalasi ketegangan hubungan dagang yang meningkat makin memengaruhi dinamika perekonomian global. Ketegangan hubungan dagang makin nyata menurunkan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara," demikian pernyataan tertulis Bank Indonesia (BI) usai Rapat Dewan Gubernur edisi Juni. 

Oleh karena itu, wajar jika dunia berharap banyak pertemuan Trump-Xi akhir pekan ini bisa menelurkan hasil positif. Kesepakatan damai dagang memang masih jauh (karena perlu negosiasi bertahap-tahap), tetapi setidaknya AS-China gencatan senjata dulu deh.



Gencatan senjata, seperti yang terjadi usai dialog di Buenos Aires, terbukti ampuh mendongkrak optimisme investor. Sebab, investor menyadari bahwa gencatan senjata adalah proses awal menuju damai dagang. 

Namun kalau pertemuan Trump-Xi berujung deadlock, tidak ada yang mau berkompromi, maka dampaknya akan luar biasa. Perang dagang akan berlanjut dengan skala yang lebih besar. 

Trump sudah melontarkan ancaman jika dialog dagang di Osaka gagal, maka AS siap mengenakan bea masuk baru untuk importasi produk China senilai lebih dari US$ 300 miliar. Kalau ini terjadi, China pasti membalas dan api perang dagang berkobar kembali. 



Jika perang dagang meletus lagi, maka satu risiko besar belum bisa dihapus dari daftar. Dunia masih harus menjalani hari-hari yang penuh kekhawatiran, tidak bisa tenang, karena ada hantu menyeramkan bernama perlambatan ekonomi global.  

Situasi semacam ini bisa membawa pelaku pasar memilih bermain aman, emoh ambil risiko. Tentu sebuah kabar buruk bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Apabila semakin sedikit investor yang masuk ke pasar keuangan Indonesia, maka rupiah akan kekurangan 'darah'. Akibatnya, risiko pelemahan rupiah adalah sebuah keniscayaan. 

Belum lagi ada risiko dari sisi perdagangan. Perang dagang AS-China akan membuat rantai pasok global terganggu, karena kedua negara itu adalah perekonomian terbesar di planet bumi. 

Artinya ekspor menjadi sulit diharapkan sebagai wahana pendulang devisa, karena penurunan permintaan global. Dari sektor keuangan sudah seret, arus devisa dari perdagangan pun terancam macet. Lalu rupiah dapat kekuatan dari mana dong

Oleh karena itu, benar adanya kalau dunia kini menggantungkan nasib kepada Trump dan Xi. Ini sebenarnya tidak sehat, tetapi apa boleh buat. 

Jadi, mari berharap Trump dan Xi berperforma baik layaknya Jordan-Pippen dan Batistuta-Rui Costa yang mampu membawa kejayaan. Sehingga saat mereka harus pergi, dunia punya kenangan yang indah, bukan mimpi buruk.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular