Kenapa Vietnam Untung dari Perang Dagang, Indonesia Tidak?

S. Pablo I. Pareira, CNBC Indonesia
25 June 2019 20:35
Bagaimana Vietnam mampu memanfaatkan perang dagang AS-China, dan Indonesia sebaliknya.
Foto: Presiden US Donald Trump membuat perjanjian dagang di sela-sela pertemuan kedua dengan Kim Jong-Un di Vietnam. (Reuters/ Luong Thai Linh)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemudahan perizinan menjadi salah satu hal yang membedakan iklim investasi di Vietnam dan Indonesia. Hal ini membuat Vietnam lebih menarik bagi para investor asing di tengah maraknya relokasi industri manufaktur dari China.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani dalam wawancara eksklusifnya dengan CNBC Indonesia.

Seperti diketahui, untuk menghindari tarif bea masuk tinggi yang dikenakan pemerintahan Trump terhadap produk asal China dalam perang dagang, banyak importir AS mengalihkan pesanannya kepada negara-negara lain di Asia Tenggara.


Laporan perusahaan riset keuangan asal Jepang, Nomura, menyebutkan Vietnam berhasil meraup tambahan nilai dagang hingga setara 7,9% dari PDB-nya sepanjang kuartal I-2019 dari pengalihan dagang (trade diversion) yang terjadi.

Selain pengalihan dagang, tentu saja perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations/ MNCs) turut berpikir panjang akan kelangsungan bisnisnya apabila tetap bersikukuh mempertahankan basis produksinya di Negeri Tirai Bambu. Vietnam pun menjadi salah satu tujuan utama perusahaan-perusahaan asing untuk memindahkan fasilitas pabriknya.

Mengapa Indonesia kalah bersaing dalam memperebutkan relokasi pabrik ini?

Shinta mengatakan, kecepatan penerbitan izin usaha menjadi salah satu faktor yang paling mendasar bagi investor. Dia mengaku sudah mendengar beberapa rencana relokasi industri dan investasi baru dari China, namun hingga kini belum ada lampu hijau.

"Apa masalahnya? Masalahnya selalu klasik: iklim investasi kita, regulasi, ketenagakerjaan, penyediaan bahan baku, supply chain, infrastruktur, ya di situ masalahnya. Ini yang mesti kita perhatikan. Kalau kita benar-benar mau move forward mengambil peluang-peluang ini, ada banyak pembenahan yang harus dilakukan di dalam negeri," kata Shinta.



Shinta mengungkapkan, perizinan di Vietnam terintegrasi dengan sederhana dari pusat hingga ke daerah, berbeda dengan di Tanah Air. Meskipun pemerintah telah meluncurkan Online Single Submission (OSS) di mana seluruh perizinan bisa diurus satu pintu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menurutnya implementasi OSS belum bisa maksimal.

Dia mencontohkan, saat suatu perusahaan mengajukan izin usaha melalui OSS di BKPM, BKPM sebenarnya tidak bisa langsung memutuskan. Pengajuan izin tersebut harus memutar terlebih dahulu ke kementerian/lembaga teknis terkait, termasuk ke pemerintah daerah di mana investasi itu akan ditanam.

"Itu saja sudah perbedaan mendasar. OSS kita saja sampai sekarang, integrasi dengan daerah sama sekali belum jalan, ini cuma izin prinsipnya yang jalan. Jadi pada dasarnya implementasi OSS belum bisa maksimal walaupun itu menjadi jualannya Indonesia," katanya.

"Sekarang kalau kita ajukan perizinan juga nggak bisa satu pintu, mestinya kan di BKPM aja selesai. Ini enggak, masih nunggu ini-itu, it will take time. Jadi pemenuhan kondisinya juga lebih sulit, tapi walaupun dipermudah administrasinya juga masih berputar-putar begini," keluhnya.



Menurut Shinta, perizinan di Vietnam jauh lebih sederhana karena mereka menerapkan pemerintahan yang tersentralisasi. Seperti diketahui, layaknya China, Vietnam adalah negara komunis.

"Tentu itu menentukan. Jadi everything is much simpler. Mungkin juga tidak adil untuk membandingkan langsung dengan negara sebesar Indonesia. But unfortunately, investor tidak peduli. Pokoknya dia cari yang paling gampang, paling efisien, ekonomis. Jadi saya rasa itu masalah utama kenapa kita masih ketinggalan," katanya.

(hoi/hoi) Next Article Pengakuan Pengusaha AS: RI Tak Untung dari Perang Dagang

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular