Newsletter

Semoga Trump-Xi Jinping Jadi Bertemu Akhir Pekan Ini..

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 June 2019 06:58
Semoga Trump-Xi Jinping Jadi Bertemu Akhir Pekan Ini..
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengawali pekan dengan kurang bersemangat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan obligasi rupiah pemerintah sama-sama melemah. Untungnya masih ada rupiah yang mampu menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup terkoreksi 0,43% ke level 6.288,46 dan mencatat aksi jual bersih investor asing sebesar Rp 106,76 miliar di pasar reguler. Sementara imbal hasil (yield) obligasi acuan seri FR0078 tenor 10 tahun 7,2 basis poin menjadi 7,84%. Adapun nilai tukar rupiah menguat 0,11% menjadi Rp 14.135/US$.



Sebagai informasi, pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Saat yield naik, artinya harga sedang menguat. Begitu pula sebaliknya.

Pengumuman neraca perdagangan terbukti tidak dapat berbuat banyak untuk IHSG. Padahal neraca dagang bulan Mei mencatat surplus sebesar US$ 210 juta, dan sangat bertolak belakang dengan konsensus yang memprediksi adanya defisit sebesar US$ 1,29 miliar.

Bila ditilik lebih dalam, sepertinya agak wajar apabila pelaku pasar kurang mengapresiasi kinerja perdagangan Indonesia. Pasalnya surplus neraca dagang tidak berarti ekspor mengalami peningkatan.



Surplus lebih disebabkan oleh penurunan impor yang cukup tajam, yaitu sebesar 17,71% year-on-year (YoY) menjadi US$ 14,53 miliar. Penurunan paling besar terjadi pada golongan barang bahan baku, yaitu mencapai 19,3% YoY. Ini tentunya bukan prestasi yang patut dibanggakan, karena penurunan impor bahan baku mengindikasikan adanya penurunan gairah aktivitas industri Tanah Air.

Dari sisi ekspor juga mengalami kontraksi sebesar 8,99% YoY menjadi tinggal US$ 14,74 miliar. Penurunan ekspor utamanya disebabkan oleh jatuhnya harga komoditas utama, yaitu batu bara dan minyak sawit. Sebuah pertanda bahwa harga komoditas sedang tidak berpihak pada kinerja perdagangan Indonesia tahun ini.

Selain itu, faktor eksternal juga turut memberi beban pada pasar keuangan Indonesia.

Alih-alih membaik, hubungan AS dengan Iran malah terlihat semakin panas. Perkembangan terbaru menyebutkan bahwa Washington terus berupaya menembus banteng pertahanan digital Teheran, tapi berhasil digagalkan.

"Mereka [AS] terus berusaha, tetapi tidak berhasil. Kami punya pengalaman panjang dalam hal penanganan teror siber. Tahun lalu, kami menetralkan 33 juta serangan berkat firewall kami," ujar Menteri Telekomunikasi Iran, Javad Azati-Jahromi, di akun Twitter pribadinya.


Konflik tentu saja bukan berita baik bagi investor. Apalagi jika sampai berkembang menjadi adu senjata, hingga perang. Kondisi ekonomi akan menjadi tak pasti.

Investor pun semakin ingin bermain aman dan hengkang dari pasar keuangan dalam negeri.

BERLANJUT KE HALAMAN 2

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif dengan kecenderungan melemah secara terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,03%, S&P 500 turun 0,17%, dan Nasdaq Composite melemah 0,32%.

Tampaknya sentimen positif akibat aura penurunan suku bunga acuan The Fed (Federal Funds Rate/FFR) sudah tidak mampu mengangkat kinerja Wall Street. Pasalnya saat ini, sebagian besar pelaku pasar sudah price in bahwa FFR akan turun pada bulan depan.




Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan FFR turun 25 basis poin mencapai 57,4%. Sementara ada pula peluang FFR turun 50 basis poin sebesar 42,6%. Sementara probabilitas suku bunga tetap ditahan di kisaran 2,25%-2,5% sudah tidak tersisa alias 0%.

Di sisi lain, investor masih dibuat harap-harap cemas menantikan pertemuan antara Presiden AS, Donald Trump dengan Presiden China, XI Jinping.

Pekan lalu, Trump dan Xi sama-sama telah mengonfirmasi rencananya untuk bertemu di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni mendatang.

Pertemuan tersebut akan menandakan babak baru perundingan dagang AS dengan China. Pasalnya sejak kesepakatan gagal dibuat bulan lalu, kedua negara tidak pernah lagi dikabarkan melakukan perundingan.



Sejauh ini auranya masih positif. Tapi siapa yang tau. Kemungkinan pertemuan Trump-Xi tidak berlangsung dengan baik juga masih ada. Bila kejadian, maka risiko eskalasi perang dagang akan semakin meningkat.

Pemerintahan Trump diketahui telah melakukan kajian atas dampak pengenaan tariff 25% pada produk China lain senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya bukan merupakan obyek perang dagang.

Selain itu, ketegangan hubungan AS-Iran yang semakin tinggi juga turut membebani kinerja pasar saham AS.

Teranyar, Trump telah menandatangani surat keputusan terkait sanksi baru terhadap Iran. Sanksi baru tersebut akan membatasi Pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan jajarannya untuk akses finansial, mengutip Reuters.




"Kami akan terus menekan Teheran hingga rezim tersebut menghentikan aktivitas yang berbahaya," ujar Trump kepada wartawan di Oval Office.

Iran pun semakin panas. Duta Besar Iran untuk AS, Majid Takht Ravanchi mengatakan bahwa pihaknya tidak akan melakukan perundingan dengan AS di bawah ancaman sanksi.

Dengan begitu, hubungan kedua negara kemungkinan besar akan terus semakin buruk. Bukan tidak mungkin konflik berkembang menjadi adu senjata, dan membuat kondisi ekonomi global makin tak pasti.


BERLANJUT KE HALAMAN 3


Untuk perdagangan hari ini, ada baiknya investor memperhatikan beberapa sentimen yang bisa mempengaruhi arah gerak pasar.

Pertama, tentu saja perkembangan nasib pertemuan Trump-Jinping yang rencananya berlangsung tiga hari lagi.

Kemarin, Wakil Menteri Perdagangan China, Wang Shouwen telah kembali menegaskan bahwa kedua pihak siap berkompromi untuk mencapai kesepakatan. Dialog akan berlangsung dengan prinsip saling menghormati demi kepentingan bersama.

"Saling menghormati artinya semua pihak akan menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara. Kedua pihak akan berkompromi untuk mencapai kesepakatan demi kepentingan bersama, tidak hanya satu pihak," kata Wang, mengutip Reuters



Seorang pejabat senior pemerintahan AS pada dini hari tadi mengatakan bahwa pertemuan dua pimpinan negara akan berlangsung pada hari kedua KTT G20, atau Sabtu (29/6/2019), mengutip Reuters. Namun detail pertemuan masih belum diketahui.

Namun demikian, pejabat tersebut juga mengatakan bahwa Trump tetap akan senang, apapun keputusan yang dihasilkan dari pertemuan tersebut. Ini mengindikasikan bahwa tidak ada tekanan dari pihak AS untuk segera meneken kesepakatan.

Sentimen kedua yang yang perlu diperhatikan adalah hubungan AS dengan Iran. Ada kemungkinan hubungan kedua negara akan semakin memanas.

Setelah Trump memberlakukan sanksi baru, tampaknya akan sulit bagi Iran untuk membuka ruang dialog. Bila gesekan antara kedua negara tak kunjung diakhiri, kemungkinan berkembang menjadi konflik bersenjata pun meningkat. Kondisi yang tidak ideal bagi pasar keuangan global karena menyebabkan ketidakpastian ekonomi bergentayangan.

Selain akan menyebabkan kondisi perekonomian global tak menentu, ketegangan AS dan Iran berpotensi menyebabkan harga minyak melonjak.



Pasalnya, konflik yang berkembang di kawasan Timur Tengah bisa membuat aliran pasokan minyak global terganggu. Terlebih Timur Tengah merupakan wilayah penghasil minyak terbesar di dunia yang bisa mempengaruhi keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) secara signifikan.

Kenaikan harga minyak bukan hal yang bagus bagi Indonesia. Sebagai negara net-importir minyak, lonjakan harga akan semakin membebani neraca transaksi berjalan.

Bahayanya, hingga kini defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kerap kali terjadi. Bahkan di kuartal I-2019, CAD tercatat sebesar US$ 6,69 miliar atau setara 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka defisit tersebut jauh lebih dalam dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar US$ 5,19 miliar atau 2,01% PDB.



Tanpa pasokan valas yang memadai, rupiah akan semakin rentan terdepresiasi akibat tekanan mata uang lain. Di pasar saham, pelemahan rupiah juga merupakan petaka karena investor berisiko mengalami kerugian akibat selisih kurs.


BERLANJUT KE HALAMAN 4


Berikut beberapa peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
  •       Rilis data penjualan rumah baru Amerika Serikat (AS) periode Mei (21:00 WIB)
  •       Rilis Indeks Keyakinan Konsumen AS periode Juni (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Mei 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini
.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular