Newsletter

Semoga Pelaku Pasar Sudah 'Move On' dari Neraca Dagang

Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 May 2019 07:41
Semoga Pelaku Pasar Sudah 'Move On' dari Neraca Dagang
Foto: Pembukaan Perdagangan BEI 2019 (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali menjalani hari yang berat pada perdagangan kemarin (15/5/2019): Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,49% ke level 5.980,89 yang merupakan rekor penutupan terendah sepanjang tahun, sementara rupiah melemah 0,21% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.455/dolar AS.

Kinerja IHSG kemarin berbanding terbalik dengan mayoritas indeks saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan menguat, sementara kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang juga terkulai di hadapan dolar AS.


Perkembangan positif terkait perang dagang AS-China membuat saham-saham di Benua Kuning menjadi incaran investor. Bara perang dagang AS-China yang memantik aksi jual di pasar saham Asia dalam beberapa waktu terakhir kini mulai mendingin.

Setelah seringkali mengeluarkan pernyataan yang keras terhadap China, belakangan justru Presiden AS Donald Trump nampak melunak. Kini, Trump menyebut bahwa perang dagang dengan China hanya merupakan "pertengkaran kecil" serta bersikeras bahwa negosiasi antar 2 negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut belum putus.

"Kami memiliki sebuah dialog yang sedang berlangsung. Itu akan terus berlanjut," papar Trump di hadapan reporter pada hari hari Selasa (14/5/2019) waktu setempat, dilansir dari Reuters.

Trump mengatakan bahwa negosiasi dengan China tersebut berlangsung dengan "sangat baik" dan menyebut bahwa hubungannya dengan Presiden China Xi Jinping "luar biasa".


Di sisi lain, ada juga sentimen yang membuat dolar AS selaku safe haven tetap perkasa kemarin. Perang dagang AS-China sudah tereskalasi dan pastinya akan memberikan tekanan yang lebih besar kepada perekonomian kedua negara.

AS telah resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%, sementara China telah mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Juni mendatang.

Khusus untuk pasar keuangan Indonesia, sentimen negatif datang dari rilis data perdagangan internasional periode April 2019. Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor Indonesia ambruk hingga 13,1% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 6,2% saja. Sementara itu, impor melemah sebesar 6,58%, lebih baik dibandingkan konsensus yang memperkirakan kejatuhan sebesar 11,36%.


Alhasil, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar, jauh lebih besar dibandingkan konsensus yang hanya sebesar US$ 497 juta. Defisit pada bulan April menjadi yang pertama dalam 3 bulan terakhir. Pada bulan Februari, neraca dagang membukukan surplus senilai US$ 330 juta, sementara surplus pada bulan Maret adalah senilai US$ 540 juta.

Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada bulan April merupakan terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

BERLANJUT KE HALAMAN 2

Beralih ke AS,Wall Street mengakhiri perdagangan hari Rabu dengan catatan positif: indeks Dow Jones menguat 0,45%, indeks S&P 500 naik 0,58%, dan indeks Nasdaq Composite terdongkrak 1,13%. 2 hari sudah Wall Street mengakhiri hari di zona hijau.

Bursa saham AS berhasil mencetak comeback pasca ditransaksikan melemah pada awal perdagangan. Sentimen positif bagi Wall Street datang dari kabar bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump berencana menunda menaikkan bea masuk terhadap mobil dan suku cadang dari Eropa hingga 6 bulan, seperti dilansir dari CNBC International yang mengutip 4 orang sumber.



Sejatinya, Gedung Putih menghadapi tenggat waktu pada hari Sabtu ini untuk menentukan apakah pihaknya jadi mengeksekusi kenaikan bea masuk terhadap mobil dan suku cadang dari Benua Biru tersebut, yang rencananya akan didasarkan pada alasan keamanan nasional.

Selepas hari Sabtu, pemerintahan AS akan memiliki waktu selama 180 hari untuk menentukan keputusan asalkan pihaknya tetap menggelar negosiasi dengan negara-negara mitra dagang.

Trump nampaknya tak mau mengambil risiko memantik perang dagang ronde baru di tengah perang dagang dengan China yang tengah tereskalasi. Jika jadi dieksekusi, pihak Uni Eropa sebelumnya sudah menyiapkan daftar barang yang akan dikenakan bea masuk balasan.

Dengan sikap Trump yang melunak terhadap rencananya menaikkan bea masuk terhadap mobil dan suku cadang dari Eropa, diharapkan ancaman pengenaan bea masuk lainnya juga tak akan dieksekusi, atau setidaknya dipikirkan lagi matang-matang.

Seperti yang diketahui, belum lama ini Trump mengungkapkan rencana untuk menaikkan bea masuk terhadap importasi produk asal Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Rencana tersebut dilandasi oleh kekesalannya bahwa Uni Eropa memberikan subsidi yang kelewat besar kepada Airbus, yang dinilainya sebagai praktik persaingan tidak sehat.



"Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menemukan bahwa Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus yang kemudian mempengaruhi AS. Kami akan menerapkan bea masuk kepada (impor) produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Uni Eropa sudah mengambil keuntungan dari perdagangan dengan AS selama bertahun-tahun. Ini akan segera berakhir!" keluh Trump di Twitter pada tanggal 9 April.

Barang-barang yang diincar AS tersebut di antaranya: pesawat, keju, ikan, wine, dan pakaian.


BERLANJUT KE HALAMAN 3


Untuk perdagangan hari ini, ada sejumlah sentimen yang perlu diperhatikan oleh pelaku pasar. Pertama, tentu kinerja Wall Street yang oke. Diharapkan, kinerja serupa mampu ditorehkan oleh pasar keuangan negara-negara Asia.

Kedua, dampak dari kabar penundaan kenaikan bea masuk terhadap mobil dan suku cadang asal Eropa oleh AS. Kala negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tak saling hambat di bidang perdagangan dengan blok ekonomi terbesar di dunia, tentu laju perekonomian dunia bisa didorong untuk berada di level yang relatif tinggi. Ekspektasi ini sangat mungkin untuk membuat investor memburu instrumen-instrumen di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.



Ketiga, perkembangan perang dagang AS-China perlu terus dicermati investor. Kantor Perwakilan Dagang AS diketahui telah menerbitkan proposal yang merupakan langkah awal dari proses untuk mengenakan bea masuk sebesar 25% bagi importasi produk China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang.

Selanjutnya, akan digelar dengar pendapat pada tanggal 17 Juni yang kemudian akan diikuti oleh proses diskusi selama setidaknya seminggu. Jika jadi dieksekusi, barang-barang konsumer asal China seperti telepon genggam, komputer, pakaian, dan sepatu akan menjadi lebih mahal.

China pun tak tinggal diam menghadapi ancaman pengenaan bea masuk tambahan tersebut. Pada hari Selasa, China menegaskan bahwa pihaknya tak akan tunduk kepada tekanan seperti itu. Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa pihaknya berharap AS tidak “meremehkan tekad dan kemauan China untuk melindungi kepentingan-kepentingannya”.

Jika perang dagang tereskalasi lagi, perekonomian China (dan dunia) akan semakin tersakiti. Belum tereskalasi lagi saja, perekonomian China terlihat sudah terseok-seok.



Kemarin, produksi industri China periode April 2019 diumumkan hanya tumbuh sebesar 5,4% secara tahunan, di bawah konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv sebesar 6,5% dan merupakan pertumbuhan terlemah sejak Mei 2003. Lebih lanjut, penjualan barang-barang ritel periode yang sama diumumkan hanya tumbuh sebesar 7,2% secara tahunan, di bawah konsensus yang sebesar 8,6%.


BERLANJUT KE HALAMAN 4


Sentimen keempat yang perlu dicermati investor adalah dolar AS yang sepertinya akan berada dalam tekanan pada hari ini. Pada pukul 07:18 WIB, indeks dolar AS melemah sebesar 0,03%.

Rilis data ekonomi yang mengecewakan menempatkan dolar AS dalam posisi yang lemah. Kemarin, penjualan barang-barang ritel di AS periode April 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 0,2% secara bulanan, jauh lebih buruk ketimbang konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.



Lemahnya penjualan ritel mengindikasikan bahwa tekanan inflasi di masa depan juga akan terkendali, bahkan cenderung lemah. The Federal Reserve selaku bank sentral AS pun diyakini akan mengambil opsi pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 15 Mei 2019, probabilitas pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini berada di level 40,9%, lebih tinggi dari posisi minggu lalu yang sebesar 40,1%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 26,1%, melonjak dari posisi minggu lalu yang sebesar 13,1% saja.

Praktis, dolar AS menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.

Jika momentum ini mampu dimanfaatkan oleh rupiah (yang sudah melemah selama 3 hari beruntun), maka instrumen berbasis rupiah seperti saham dan obligasi bisa menjadi incaran investor, mendorong harganya naik.

Namun, itu semua akan tergantung dari apakah pelaku pasar sudah move on dari rilis data perdagangan internasional Indonesia yang menunjukkan defisit senilai US$ 2,5 miliar, defisit terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia.

Dengan defisit neraca dagang yang begitu lebar, maka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi sangat sulit untuk diredam. Sebagai informasi, CAD pada kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih lebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.



Prospek membengkaknya CAD berpotensi memantik aksi jual atas mata uang Garuda. Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa).

Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.


BERLANJUT KE HALAMAN 5


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  •       Rilis Indeks Harga Produsen (PPI) Jepang periode April (06:50 WIB)
  •       Rilis data neraca perdagangan (ekspor-impor) Zona Euro periode Maret (16:00 WIB)
  •       Rilis data pembangunan rumah baru Amerika Serikat (AS) periode April (19:30 WIB)
  •       Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 11 Mei (19:30 WIB)
  •       Rilis Indeks Bisnis The Fed Philladelphia periode Mei (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q1-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q1-2019)US$ 2,4 miliar
Cadangan devisa (April 2019)US$ 124,29 miliar
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/prm) Next Article Sri Mulyani Umumkan Kabar Penting Hari Ini, Semoga IHSG- Rupiah Kuat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular