
Bukan Karena Migas, Industri Manufaktur Jadi Dalang Defisit!
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 May 2019 18:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Defisit neraca perdagangan Indonesia periode April 2019 tercatat sebesar US$ 2,5 miliar, atau merupakan yang paling dalam sepanjang sejarah RI.
Namun kali ini penyebabnya bukanlah sektor migas. Mengapa?
Karena sektor migas sebenarnya sudah memperlihatkan perbaikan.
Memang benar, pada bulan April 2019, ekspor migas turun hingga 37,06% YoY menjadi tinggal US$ 740 juta. Namun bersamaan dengan itu impor sudah juga turun 3,86% YoY menjadi hanya US$ 2,24 miliar.
Turunnya ekspor migas juga dikarenakan saat ini Pertamina diberi mandat oleh negara untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Alhasil minyak yang selama ini dijual ke luar negeri tetap bertahan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi.
Selain itu, Indonesia juga memang merupakan negara net importir minyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan sudah sedikit berkurang.
Selain itu defisit neraca non-migas sebesar US$ 1,49 miliar pada bulan April juga hanya bertambah dalam 29,6% YoY.
Pun pada periode Januari-April 2019, neraca migas sejatinya juga sudah memperlihatkan perbaikan, karena defisitnya tinggal US$ 2,76 miliar, lebih kecil dibanding periode yang sama tahun 2018 yang mencapai US$ 3,89 miliar
Berkebalikan dengan migas, sektor non migas malah semakin memprihatinkan.
Neraca non-migas pada bulan April 2019 tercatat defisit sebesar US$ 1,01 miliar atau dalam hingga 94,2% YoY. Bahkan itu artinya neraca non-migas April 2019 sudah anjlok hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Penyebabnya adalah ekspor non migas yang makin tekor. Pada bulan April 2019, ekspor non migas hanya sebesar US$ 11,85 miliar, atau turun hingga 11% YoY. Sementara itu impor non migas turun hanya 7% YoY. Artinya kinerja ekspor yang buruk lebih menyebabkan defisit ketimbang impor.
Dalam hal ini kinerja industri pengolahan patut menjadi perhatian. Pasalnya pada April 2019, ekspor dari sektor manufaktur hanya sebesar US$ 9,41 miliar, atau anjlok hingga 11,82% YoY.
Sebagai informasi, Industri pengolahan akan berdampak sangat signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan karena porsinya mencapai 74,74% terhadap total ekspor bulan April.
Berbicara tentang kinerja ekspor, tentu saja tidak terlepas dari perkembangan industri pengolahan non migas tanah air yang agaknya stagnan, dan cenderung makin lesu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non-migas di tahun 2018 hanya sebesar 4,77%. Padahal di tahun 2017 masih bisa tumbuh sebesar 4,85%.
Artinya ada perlambatan yang terjadi pada sektor industri pengolahan non migas. Alhasil porsi industri pengolahan non migas terhadap PDB semakin tergerus, bahkan di tahun 2018 hanya tinggal 18,93% atau yang paling rendah setidaknya sejak tahun 2014.
Ini artinya masyarakat Indonesia semakin gemar menjual barang-barang komoditas mentah ketimbang mengolahnya menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah. Bahayanya, barang-barang mentah itu sangat terpengaruhi oleh harga global. Saat harga komoditas jatuh, membuat perekonomian Indonesia menjadi sangat rentan.
Tak heran sepanjang periode Januari-April 2019, ekspor industri pengolahan mencatatkan penurunan ekspor sebesar 9,04% dibanding periode yang sama tahun 2018 menjadi US$ 39,38 miliar.
Karena porsinya yang besar, kinerja industri pengolahan non migas yang loyo membuat ekspor Indonesia sepanjang Januari-April 2019 hanya US$ 48,97 miliar atau turun hingga 8,54% dibanding Januari-April 2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Disengat Corona, Indusri Otomotif hingga Farmasi RI Terdampak
Namun kali ini penyebabnya bukanlah sektor migas. Mengapa?
Karena sektor migas sebenarnya sudah memperlihatkan perbaikan.
Turunnya ekspor migas juga dikarenakan saat ini Pertamina diberi mandat oleh negara untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Alhasil minyak yang selama ini dijual ke luar negeri tetap bertahan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi.
Selain itu, Indonesia juga memang merupakan negara net importir minyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan sudah sedikit berkurang.
Selain itu defisit neraca non-migas sebesar US$ 1,49 miliar pada bulan April juga hanya bertambah dalam 29,6% YoY.
Pun pada periode Januari-April 2019, neraca migas sejatinya juga sudah memperlihatkan perbaikan, karena defisitnya tinggal US$ 2,76 miliar, lebih kecil dibanding periode yang sama tahun 2018 yang mencapai US$ 3,89 miliar
Berkebalikan dengan migas, sektor non migas malah semakin memprihatinkan.
Neraca non-migas pada bulan April 2019 tercatat defisit sebesar US$ 1,01 miliar atau dalam hingga 94,2% YoY. Bahkan itu artinya neraca non-migas April 2019 sudah anjlok hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Penyebabnya adalah ekspor non migas yang makin tekor. Pada bulan April 2019, ekspor non migas hanya sebesar US$ 11,85 miliar, atau turun hingga 11% YoY. Sementara itu impor non migas turun hanya 7% YoY. Artinya kinerja ekspor yang buruk lebih menyebabkan defisit ketimbang impor.
![]() |
Dalam hal ini kinerja industri pengolahan patut menjadi perhatian. Pasalnya pada April 2019, ekspor dari sektor manufaktur hanya sebesar US$ 9,41 miliar, atau anjlok hingga 11,82% YoY.
Sebagai informasi, Industri pengolahan akan berdampak sangat signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan karena porsinya mencapai 74,74% terhadap total ekspor bulan April.
Berbicara tentang kinerja ekspor, tentu saja tidak terlepas dari perkembangan industri pengolahan non migas tanah air yang agaknya stagnan, dan cenderung makin lesu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non-migas di tahun 2018 hanya sebesar 4,77%. Padahal di tahun 2017 masih bisa tumbuh sebesar 4,85%.
Artinya ada perlambatan yang terjadi pada sektor industri pengolahan non migas. Alhasil porsi industri pengolahan non migas terhadap PDB semakin tergerus, bahkan di tahun 2018 hanya tinggal 18,93% atau yang paling rendah setidaknya sejak tahun 2014.
Ini artinya masyarakat Indonesia semakin gemar menjual barang-barang komoditas mentah ketimbang mengolahnya menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah. Bahayanya, barang-barang mentah itu sangat terpengaruhi oleh harga global. Saat harga komoditas jatuh, membuat perekonomian Indonesia menjadi sangat rentan.
Tak heran sepanjang periode Januari-April 2019, ekspor industri pengolahan mencatatkan penurunan ekspor sebesar 9,04% dibanding periode yang sama tahun 2018 menjadi US$ 39,38 miliar.
Karena porsinya yang besar, kinerja industri pengolahan non migas yang loyo membuat ekspor Indonesia sepanjang Januari-April 2019 hanya US$ 48,97 miliar atau turun hingga 8,54% dibanding Januari-April 2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Disengat Corona, Indusri Otomotif hingga Farmasi RI Terdampak
Most Popular