Newsletter

Awas, Dolar AS Mau Balas Dendam!

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 April 2019 04:52
Awas, Dolar AS Mau Balas Dendam!
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah signifikan, sementara nilai tukar rupiah justru menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG finis dengan koreksi mencapai 1,05%. Indeks saham utama Asia pun cenderung merah, tetapi IHSG menjadi yang terlemah kedua di Benua Kuning. 


Sepertinya investor ramai-ramai mencairkan keuntungan setelah bursa saham Asia mencatatkan penguatan selama beberapa waktu terakhir. Misalnya indeks Shanghai Composite sudah naik 7,1% selama sebulan ke belakang sebelum kemarin anjllok 1,6%. Kemudian Hang Seng melesat 5,67% dan kemarin terpangkas 0,93%. 

Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan menguat 0,11% terhadap dolar AS. Penguatan rupiah baru terjadi pada 1 jam terakhir perdagangan. 


Rupiah berhasil memanfaatkan kondisi eksternal yang kondusif. Kemarin, dolar AS sedang dalam posisi bertahan setelah rilis notulensi rapat The Federal Reserve/The Fed edisi Maret. 

"Mayoritas peserta rapat memperkirakan proyeksi ekonomi dan risiko ke depan kemungkinan menyebabkan suku bunga acuan tidak berubah sampai akhir tahun. Para peserta rapat juga menyadari berbagai ketidakpastian, termasuk yang menyangkut ekonomi dan pasar keuangan global," sebut risalah itu. 

Pintu kenaikan suku bunga acuan yang semakin tertutup membuat dolar AS terpojok. Sebab tanpa dukungan kenaikan suku bunga, berinvestasi di mata uang ini menjadi kurang seksi. 


Kedua, masih dari AS, ada perkembangan baru seputar prospek damai dagang AS-China. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, mengaku telah berbicara dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He melalui sambungan telepon.  

Dia menggambarkan pembicaraan tersebut berlangsung sangat produktif. Menurut Mnuchin, Washington-Beijing sepakat untuk membentuk semacam kantor bersama untuk mengawasi pelaksanaan butir-butir kesepakatan damai dagang.  


Ketiga, di China juga ada rilis data positif. Inflasi di tingkat produsen (PPI) China pada Maret tercatat 0,4% year-on-year (YoY), kenaikan pertama dalam 9 bulan terakhir. Ini menandakan dunia usaha China mulai pulih, ditopang oleh stimulus fiskal dan moneter yang digelontorkan pemerintah dan Bank Sentral China (PBoC). 

Sementara inflasi di tingkat konsumen (CPI) pada Maret adalah 2,3% YoY, laju tercepat sejak Oktober 2018. Tidak hanya dunia usaha, konsumen pun terlihat lebih bergairah. 

Keempat, pelaku pasar lega karena pertemuan Uni Eropa-Inggris untuk membahas Brexit membuahkan hasil yang memuaskan. Uni Eropa akhirnya setuju untuk memberikan tambahan waktu bagi Inggris untuk mempersiapkan perpisahan sampai 31 Oktober. Sedianya Brexit akan terjadi pada 12 April. 

Sementara dari dalam negeri, angka Prompt Manufacturing Index (PMI) keluaran Bank Indonesia (BI) pada kuartal I-2019 berada di 52,65. Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 5,192 dan kuartal I-2018 yang sebesar 50,14. Angka kuartal I-2019 menjadi yang tertinggi sejak kuartal IV-2013. 

Data ini menunjukkan dunia usaha, utamanya yang bergerak di sektor manufaktur, masih ekspansif. Artinya pertumbuhan ekonomi domestik masih akan terjaga. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif dalam kisaran terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,05%, S&P 500 stagnan, dan Nasdaq Composite berkurang 0,21%. 

"Tidak banyak yang terjadi hari ini. Orang-orang memilih untuk menunggu informasi selanjutnya, seperti laporan keuangan," ujar Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di India, mengutip Reuters. 

Ya, investor di bursa saham New York kini fokus menyambut musim laporan keuangan (earnings season). Pada Jumat pagi waktu setempat, earnings season akan dimulai dengan laporan keuangan JPMorgan Chase dan Wells Fargo, dua bank raksasa di Negeri Paman Sam. 

Hawa di earnings season kuartal I-2019 agak suram, karena S&P Global Market Intelligence memperkirakan rata-rata laba emiten turun 3% YoY. Sementara rata-rata laba sepanjang 2019 hanya 1,9%, jauh di bawah 2018 yang mencapai 22,9%. 

Penyebabnya adalah tahun lalu laba korporasi melesat akibat pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Saat ini dampak dari kebijakan tersebut sudah pudar, menyisakan base effect yang terlalu tinggi sehingga sulit tertandingi. Wajar jika laba kuartal I-2019 terkontraksi. 

"Namun penurunan laba ini tidak signifikan, ibarat orang yang jatuh dari jendela ruang bawah tanah. Jarang ada orang yang cedera kalau jatuh dari sana. Selain itu, investor akan lebih mengapresiasi saat ada emiten yang membukukan laba karena investor sudah punya pikiran bakal terjadi penurunan," papar Sam Stovall, Chief Investment Strategist di CFRA Research yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Sikap investor yang memilih wait and see menyebabkan volume perdagangan di Wall Street begitu tipis. Volume perdagangan hari ini hanya 6 miliar unit saham, jauh di bawah rata-rata selama 20 hari terakhir yaitu 7,17 miliar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang adem-ayem, sepi, kalem saja. Dikhawatirkan sikap yang sama bisa menular ke Asia, sehingga membuat IHSG kembali kurang bertenaga. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang bangkit berdiri setelah kemarin terkoreksi. Pada pukul 03:49 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,24%. 

Dolar AS memang sudah lumayan lama tertekan, Dollar Index saja sudah melemah 3 hari beruntun. Jadi wajar kalau hari ini dolar AS siap 'balas dendam'.



Apalagi nyaris tidak ada sentimen yang bisa membuat risk appetite pasar naik dan meninggalkan mata uang Negeri Paman Sam. Sentimen yang ada malah positif yaitu pasar tenaga kerja AS yang semakin membaik.

Pada pekan yang berakhir 6 April, klaim tunjangan pengangguran turun 8.000 menjadi 196.000. Angka tersebut menjadi yang terendah sejak Oktober 1969. 

Kemudian inflasi di tingkat produksi pada Maret adalah 0,6% secara month-to-month (MoM). Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 0,1% dan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2018.
 
Data-data ini menunjukkan ekonomi Negeri Adidaya masih menggeliat. Memang ada gejala-gejala perlambatan, tetapi sepertinya tidak akan terjadi hard landing. Semua masih terkendali. 

"Berbagai data yang masuk memang menunjukkan sinyal-sinyal bahwa ekonomi AS melambat dibandingkan 2018. Namun tetap akan ada ekspansi, ekonomi masih tumbuh, dan menjadi rekor laju ekspansi ekonomi terpanjang," tegas Richard Clarida, Wakil Gubernur The Fed, mengutip Reuters. 

"Kita mendekati rekor laju ekspansi ekonomi, angka pengangguran mencapai titik terendah, dan inflasi mendekati target 2%. Dari perspektif kebijakan moneter, ini adalah ekonomi yang sehat walau saya juga menyadari tidak semua orang bisa menikmati manfaatnya," kata John Williams, Presiden The Fed New York, dikutip dari Reuters. 

Meski demikian, Presiden The Fed St Louis James Bullard menegaskan bahwa ekonomi yang sudah sehat belum otomatis membuat bank sentral mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan. Perlu situasi yang agak 'istimewa' untuk menggerakkan hati The Fed. 

"Kita perlu deviasi ke bawah dari inflasi, pertumbuhan ekonomi, atau keduanya untuk menjustifikasi penurunan suku bunga acuan," kata Bullard, seperti dikutip dari Reuters. 

Well, Federal Funds Rate yang sepertinya belum akan turun dalam waktu dekat bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Bertahan saja sudah bagus, karena harapan untuk naik praktis sudah sirna. Oleh karena itu, ada baiknya rupiah dan mata uang Asia lainnya waspada.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Namun rupiah bisa diuntungkan oleh sentimen ketiga yaitu anjloknya harga minyak. Pada pukul 04:13 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terpangkas masing-masing 1,12% dan 1,41%. 

Koreksi harga si emas hitam disebabkan oleh munculnya kabar bahwa Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mulai mempertimbangkan untuk kembali menambah produksi. Sebagai informasi, OPEC dan negara produsen lain seperti Rusia sepakat untuk memotong produksi hingga 1,2 juta barel/hari untuk mendongrak harga minyak. 

Namun ada kemungkinan OPEC berubah pikiran. Bukan apa-apa, produksi minyak memang perlu ditingkatkan karena seretnya pasokan dari Iran dan Venezuela. Minyak dari dua negara tersebut kesulitan menembus pasar internasional karena sanksi dari AS dkk. 

"Jika pasokan anjlok dan harga minyak naik sampai US$ 85/barel, maka itu bukan hal yang ingin kami lihat. Jadi kami akan naikkan produksi," ungkap seorang sumber di OPEC kepada Reuters. 



Bagi rupiah, koreksi harga minyak menjadi sebuah berkah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Saat harga minyak turun, maka biaya importasinya menjadi lebih murah. Beban di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan lebih ringan, sehingga rupiah punya fondasi kuat untuk terapresiasi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data ekspor impor China periode Maret (13:30 WIB/perkiraan).
  • Rilis data produksi industrial Zona Euro periode Februari (16:00 WIB).
  • Rilis data harga barang impor AS periode April (19:30 WIB).
  • Rilis Indeks Sentimen Konsumen AS versi Universitas Michigan periode April (21:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Maret 2019 YoY)2,48%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Maret 2019)US$ 124,54 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular