
Newsletter
Waduh! IMF Gloomy, AS-Eropa di Ambang Perang Dagang...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 April 2019 05:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatatkan kinerja yang impresif pada perdagangan kemarin. Tidak hanya menguat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah menjadi yang terbaik di Asia.
Kemarin, IHSG finis dengan penguatan 0,91%. Indeks saham utama Asia lainnya juga naik, tetapi tidak ada yang setajam IHSG.
Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,21%. Bersama yen Jepang, rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning.
Situasi kemarin memang kondusif bagi pasar keuangan Asia. Investor berbondong-bondong datang karena sedang tidak tertarik dengan dolar AS.
Dolar AS mulai tertahan akibat rilis data yang kurang oke. Pemesanan produk manufaktur made in the USA pada Februari turun 0,5% secara month-on-month (MoM).
Penyebab utamanya adalah penurunan permintaan pesawat terbang (-31,1% MoM) setelah apa yang dialami Boeing. Perusahaan dengan kode emiten BA tersebut memutuskan untuk mengurangi produksi pesawat jenis 737 MAX dari 52 unit/bulan menjadi 42 unit/bulan, akibat tragedi jatuhnya pesawat milik Ethiopian Airlines (dan sebelumnya Lion Air).
Dengan data kurang oke ini, peluang kenaikan suku bunga acuan menjadi pupus lagi. Justru yang ada The Federal Reserve/The Fed akan semakin sadar bahwa perekonomian AS masih butuh dorongan, dan itu tidak bisa dilakukan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Peluang kenaikan Federal Funds Rate yang semakin kecil membuat dolar AS mundur teratur. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Investor juga menantikan rilis notulensi rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Maret pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Dalam rapat tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau media 2,375%. The Fed juga mengubah proyeksi posisi suku bunga pada akhir 2019 dari 2,875% menjadi 2,375% alias kemungkinan tidak berubah dari saat ini.
Namun pelaku pasar ingin membaca seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat itu. Bagaimana perdebatan di dalamnya? Apakah aura kalem (dovish) benar-benar kental di dalam rapat?
Sembari menantikan rilis notulensi ini, pelaku pasar memilih melepas dolar AS. Apalagi kalau nanti notulensi rapat benar-benar memperlihat bahwa The Fed sangat dovish. Dolar AS akan semakin tertekan.
Sedangkan dari dalam negeri, investor memberi apresiasi karena data penjualan ritel yang memuaskan. Pada Februari, penjualan ritel domestik tumbuh 9,1% year-on-year (YoY). Lebih baik ketimbang Januari yang membukukan pertumbuhan 7,2% YoY.
Bank Indonesia memperkirakan penjualan ritel pada kuartal I-2019 tumbuh 8,1% YoY. Juga lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,7% YoY.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG finis dengan penguatan 0,91%. Indeks saham utama Asia lainnya juga naik, tetapi tidak ada yang setajam IHSG.
Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,21%. Bersama yen Jepang, rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning.
Situasi kemarin memang kondusif bagi pasar keuangan Asia. Investor berbondong-bondong datang karena sedang tidak tertarik dengan dolar AS.
Dolar AS mulai tertahan akibat rilis data yang kurang oke. Pemesanan produk manufaktur made in the USA pada Februari turun 0,5% secara month-on-month (MoM).
Penyebab utamanya adalah penurunan permintaan pesawat terbang (-31,1% MoM) setelah apa yang dialami Boeing. Perusahaan dengan kode emiten BA tersebut memutuskan untuk mengurangi produksi pesawat jenis 737 MAX dari 52 unit/bulan menjadi 42 unit/bulan, akibat tragedi jatuhnya pesawat milik Ethiopian Airlines (dan sebelumnya Lion Air).
Dengan data kurang oke ini, peluang kenaikan suku bunga acuan menjadi pupus lagi. Justru yang ada The Federal Reserve/The Fed akan semakin sadar bahwa perekonomian AS masih butuh dorongan, dan itu tidak bisa dilakukan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Peluang kenaikan Federal Funds Rate yang semakin kecil membuat dolar AS mundur teratur. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Investor juga menantikan rilis notulensi rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Maret pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Dalam rapat tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau media 2,375%. The Fed juga mengubah proyeksi posisi suku bunga pada akhir 2019 dari 2,875% menjadi 2,375% alias kemungkinan tidak berubah dari saat ini.
Namun pelaku pasar ingin membaca seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat itu. Bagaimana perdebatan di dalamnya? Apakah aura kalem (dovish) benar-benar kental di dalam rapat?
Sembari menantikan rilis notulensi ini, pelaku pasar memilih melepas dolar AS. Apalagi kalau nanti notulensi rapat benar-benar memperlihat bahwa The Fed sangat dovish. Dolar AS akan semakin tertekan.
Sedangkan dari dalam negeri, investor memberi apresiasi karena data penjualan ritel yang memuaskan. Pada Februari, penjualan ritel domestik tumbuh 9,1% year-on-year (YoY). Lebih baik ketimbang Januari yang membukukan pertumbuhan 7,2% YoY.
Bank Indonesia memperkirakan penjualan ritel pada kuartal I-2019 tumbuh 8,1% YoY. Juga lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,7% YoY.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular