
Newsletter
'Tarik Tambang' Resesi AS vs Damai Dagang, Siapa Menang?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 March 2019 06:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mampu menguat sementara nilai tukar rupiah lagi-lagi terdepresiasi.
Kemarin, IHSG finis di jalur hijau dengan penguatan 0,56%. Indeks saham utama Asia ditutup mixed cenderung melemah seperti Nikkei 225 yang anjlok 1,16%, Shanghai Composite minus 0,92%, Kospi berkurang 0,82%, tetapi Straits Times dan Hang Seng mampu menguat masing-masing 0,16%.
Sentimen domestik lebih memberi warna kepada penguatan IHSG. Indeks jasa keuangan menjadi pendorong utama dengan penguatan mencapai 1,22%.
Saham PT Bank Mandiri (Perseo) Tbk/BMRI melonjak 3,14%. Kemudian saham PT Bank Danamon Indonesia Tbk/BDMN melonjak 2,5% dan saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk/BBTN melejit 2,45%.
Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa posisi kredit perbankan pada bulan Februari 2019 mencapai Rp 5.227,88 triliun. Tumbuh 12,13% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan menjadi pertumbuhan tertinggi sejak Februari 2015.
Penyaluran kredit perbankan yang semakin meningkat tentu membuat profitabilitas ikut terangkat. Akibatnya, saham perbankan pun menjadi favorit pelaku pasar.
Sektor keuangan masih menjadi penentu gerak IHSG karena bobotnya adalah yang paling besar. Apa yang terjadi di sektor ini akan mempengaruhi IHSG secara keseluruhan.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah 0,33% di perdagangan pasar spot. Seperti halnya rupiah, sebagian besar mata uang utama Asia pun tidak berdaya menghadapi greenback.
Investor kembali melepas mata uang negara berkembang karena sentimen ancaman resesi di AS. Isu ini kembali mencuat karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun masih mengalami inversi, tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Selain itu, investor juga wait and see akibat perkembangan di Inggris. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bersedia mundur jika parlemen menerima proposal Brexit yang diajukan pemerintah.
Nasib Brexit yang terkatung-katung plus wacana pergantian pemerintahan yang dipercepat (Inggris sedianya baru menggelar pemilu pada 2022) membuat pelaku pasar ogah mengambil risiko dan memilih bermain aman. Dolar AS pun menjadi pilihan karena statusnya sebagai safe haven.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG finis di jalur hijau dengan penguatan 0,56%. Indeks saham utama Asia ditutup mixed cenderung melemah seperti Nikkei 225 yang anjlok 1,16%, Shanghai Composite minus 0,92%, Kospi berkurang 0,82%, tetapi Straits Times dan Hang Seng mampu menguat masing-masing 0,16%.
Sentimen domestik lebih memberi warna kepada penguatan IHSG. Indeks jasa keuangan menjadi pendorong utama dengan penguatan mencapai 1,22%.
Saham PT Bank Mandiri (Perseo) Tbk/BMRI melonjak 3,14%. Kemudian saham PT Bank Danamon Indonesia Tbk/BDMN melonjak 2,5% dan saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk/BBTN melejit 2,45%.
Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa posisi kredit perbankan pada bulan Februari 2019 mencapai Rp 5.227,88 triliun. Tumbuh 12,13% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan menjadi pertumbuhan tertinggi sejak Februari 2015.
Penyaluran kredit perbankan yang semakin meningkat tentu membuat profitabilitas ikut terangkat. Akibatnya, saham perbankan pun menjadi favorit pelaku pasar.
Sektor keuangan masih menjadi penentu gerak IHSG karena bobotnya adalah yang paling besar. Apa yang terjadi di sektor ini akan mempengaruhi IHSG secara keseluruhan.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah 0,33% di perdagangan pasar spot. Seperti halnya rupiah, sebagian besar mata uang utama Asia pun tidak berdaya menghadapi greenback.
Investor kembali melepas mata uang negara berkembang karena sentimen ancaman resesi di AS. Isu ini kembali mencuat karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun masih mengalami inversi, tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Selain itu, investor juga wait and see akibat perkembangan di Inggris. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bersedia mundur jika parlemen menerima proposal Brexit yang diajukan pemerintah.
Nasib Brexit yang terkatung-katung plus wacana pergantian pemerintahan yang dipercepat (Inggris sedianya baru menggelar pemilu pada 2022) membuat pelaku pasar ogah mengambil risiko dan memilih bermain aman. Dolar AS pun menjadi pilihan karena statusnya sebagai safe haven.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular