Newsletter

Isu Resesi Datang Lagi, PM May Siap Mundur, Bagaimana Ini...

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 March 2019 05:39
Isu Resesi Datang Lagi, PM May Siap Mundur, Bagaimana Ini...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan Indonesia kurang memuaskan pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sama-sama melemah. 

Kemarin, IHSG finis di zona merah dengan koreksi 0,39%. Sayang sekali, karena IHSG mengawali hari dengan penguatan 0,16%. 


Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,18% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tidak seperti IHSG, rupiah memang sudah melemah sejak awal perdagangan. 


Rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini kurang diminati karena investor fokus memburu dolar AS. Pelaku pasar sepertinya ingin berpartisipasi dalam lelang obligasi pemerintah AS. 

Hari ini, pemerintahan Presiden Donald Trump melelang dua seri obligasi yaitu tenor 5 tahun dan 2 tahun. Untuk tenor 5 tahun, penawaran yang masuk mencapai US$ 96,29 miliar dan pemerintah memenangkan US$ 41 miliar. Sementara untuk tenor 2 tahun, penawaran yang masuk mencapai US$ 68 miliar dan yang dimenangkan adalah US$ 18 miliar. 

Selain itu, pelaku pasar juga berpikir ulang untuk masuk ke pasar keuangan negara berkembang karena menantikan perkembangan seputar Brexit. Kini muncul suara-suara untuk mendukung proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May.  

Padahal proposal itu telah ditolak dua kali. Sebab, menolak proposal pemerintah bisa membuat Brexit tidak terjadi sama sekali alias batal. 

"Saya selalu percaya bahwa No-Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa dari perpisahan dengan Uni Eropa) lebih baik dibandingkan proposal yang diajukan Nyonya May. Namun ternyata proposal itu lebih baik ketimbang tidak ada Brexit," kata Jacob Rees-Mogg, Pemimpin Partai Konservatif di parlemen, mengutip Reuters. 

Eks Menteri Luar Negeri Boris Johnson juga memiliki pandangan serupa. "Jika proposal pemerintah ditolak lagi, maka Inggris bisa jadi tidak meninggalkan Uni Eropa. Ini risikonya," kata Johnson, mengutip Daily Telegraph. 

Brexit yang masih tidak jelas ujungnya ini berpotensi membuat pelaku pasar kembali wait and see. Investor yang cenderung bermain aman tentu bukan berita baik buat pasar keuangan Indonesia. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,13%, S&P 500 terkoreksi 0,46%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,63%. 

Seperti sudah disinggung sebelumnya, investor sedang fokus untuk mengikuti lelang obligasi. Arus modal sedang terkonsentrasi di pasar surat utang pemerintah, sehingga bursa saham hanya kebagian remah-remah.  

Tingginya aliran modal ke pasar obligasi membuat imbal hasil (yield) bergerak turun di hampir seluruh tenor. Nah, ini yang mengkhawatirkan karena yield tenor 3 bulan dan 10 tahun sama-sama turun, jarak keduanya semakin jauh. Masih terjadi inversi, di mana yield untuk 3 bulan lebih tinggi ketimbang 10 tahun. 

 

Dalam 50 tahun terakhir, setiap resesi di Negeri Adidaya diawali dengan inversi yield di dua seri tersebut. Oleh karena itu, kekhawatiran soal ancaman resesi yang sempat redup kini berkobar kembali. 


"Inversi yield inilah yang membuat investor cemas sehingga terjadi aksi jual. Inversi adalah pertanda perlambatan ekonomi, walau belum pasti akan ada resesi atau tidak. Itu sudah cukup bagi pasar untuk berhenti sejenak," papar Alan Lancz, Presiden Alan B Lancz & Associates Inc, yang berbasis di Ohio, mengutip Reuters. 

Berhenti sejenak adalah kata yang tepat, karena transaksi di Wall Street memang relatif sepi. Volume perdagangan hari ini adalah 6,97 miliar unit saham, lumayan jauh dari rata-rata selama 20 hari perdagangan terakhir yaitu 7,64 miliar. 

Kemudian, pasar juga bereaksi negatif terhadap rilis data transaksi berjalan (current account) AS. Sepanjang 2018, AS membukukan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 4,88,5 miliar atau 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak 2008. 

Prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 juga tidak terlalu cerah karena defisit neraca perdagangan yang lumayan dalam pada Januari. Pada bulan pertama 2019, AS mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar US$ 51,1 miliar. Aura perlambatan ekonomi semakin nyata.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street yang berakhir di zona merah. Bisa-bisa investor di pasar keuangan Asia hilang mood setelah melihat pencapaian Wall Street. 

Sentimen kedua adalah isu ancaman resesi AS yang kembali muncul karena inversi yield obligasi AS yang semakin parah. Setelah 2 hari tenang, kemungkinan hari ini sentimen resesi datang lagi. 

Situasi diperparah karena data-data ekonomi di berbagai negara yang kurang oke. Di China, keuntungan industri pada Januari-Februari anjlok 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini menjadi koreksi terdalam sejak 2011. 

Di Eropa, kelesuan ekonomi terpaksa membuat Bank Sentral Uni Eropa (ECB) menunda kenaikan suku bunga acuan. Awalnya Mario Draghi dan sejawat berencana mulai berpikir soal kenaikan suku bunga acuan pada tengah tahun ini, tetapi dalam rapat terakhir ditegaskan bahwa sampai akhir 2019 kemungkinan tidak ada perubahan. 

"Seperti yang kami sampaikan pada rapat bulan ini, kami akan memastikan bahwa kebijakan moneter akan berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi. Kami akan mengubah arah kebijakan suku bunga agar sesuai dengan proyeksi inflasi," kata Draghi dalam sebuah konferensi di Frankfurt, mengutip Reuters. 

Bayangan resesi di AS serta perlambatan ekonomi di negara-negara lainnya tentu bukan sebuah kabar gembira, dan berpotensi membuat investor ogah mengambil risiko. Jika ini terjadi, maka berpotensi membuat IHSG dan rupiah lagi-lagi melemah. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan di Brexit. Situasi semakin memanas kala PM May menegaskan dirinya siap mundur jika parlemen bersedia menerima proposal Brexit yang diusulkan pemerintah. 

"Saya sudah mendengar dengan jelas mood di parlemen. Saya tahu ada keinginan untuk adanya pendekatan baru, kepemimpinan baru, dan negosiasi Brexit tahap selanjutnya. Saya tidak akan menghalanginya 

"Saya siap meletakkan jabatan ini lebih awal demi kepentingan negara. Namun kita harus menyelesaikan Brexit dengan mulus terlebih dulu," ungkap May di hadapan anggota parlemen dari Partai Konservatif, mengutip Reuters. 

Keputusan ini disambut baik bahkan oleh Partai Konservatif. Sudah jelas bahwa May kehilangan kendali di partainya sendri. 

"Ini (mundurnya May) memang tidak bisa dihindari. Dia bisa membaca mood di partai dengan baik," ujar Pauline Latham, anggota parlemen dari Partai Konservatif. 

Sengkarut Brexit yang tak kunjung menemukan jalan keluar lagi-lagi bisa membuat investor memilih bermain aman. Sebab jika No-Deal Brexit sampai terjadi, dan kini peluangnya semakin besar, maka akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global. 

Tingginya risiko di perekonomian global membuat kita sampai di sentimen keempat yaitu keperkasaan dolar AS. Pada pukul 05:20 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,22%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini sudah melesat 1,24%. 

Wajar saja, sebab investor yang bermain aman tentu mengalihkan pandangannya ke dolar AS yang berstatus safe haven. Apabila situasi ini bertahan sepanjang hari, maka rupiah kemungkinan akan kembali melemah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis pembacaan akhir Produk Domestik Bruto AS kuartal IV-2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 23 Meret (19:30 WIB).
  • Rilis pembacaan akhir Indeks Keyakinan Konsumen Zona Euro periode Maret (17:00 WIB).
  • Rilis data tingkat inflasi Jerman periode Maret (20:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO)RUPS Tahunan14:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular