
Newsletter
Isu Resesi AS Reda, Sekarang Boleh Leha-leha?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
27 March 2019 05:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah dibabat habis-habisan pada awal pekan, pasar keuangan Indonesia bangkit pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, sampai obligasi pemerintah kompak menguat.
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,92% setelah anjlok 1,75% pada awal pekan. Indeks saham utama Asia pun kompak menghijau sepeerti Nikkei 225 (2,15%), Hang Seng (0,15%), Kospi (0,18%), dan Straits Times (0,55%).
Kemudian rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,07% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Meski hanya menguat tipis, rupiah berhasil menjadi mata uang terbaik di Asia.
Lalu imbal hasil (yield) oblligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 2,2 basis poin (bps). Penurunan yield mencerminkan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pasar. Lelang obligasi kemarin pun berlangsung cukup semarak.
Pada awal pekan, pasar keuangan Asia babak-belur karena sentimen ancaman resesi di AS. Namun kemarin sentimen itu sudah reda meski sejatinya masih perlu waspada karena yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun masih mengalami inversi (yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang). Inversi ini menjadi pertanda awal terjadinya resesi.
Sebagai gantinya, pelaku pasar bergairah masuk ke instrumen berisiko karena dua sentimen. Pertama adalah komentar dari pejabat teras The Federal Reserve/The Fed.
Dalam sebuah seminar di Hong Kong, Presiden The Fed Boston Eric Rosengren memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh melambat dalam 3 kuartal ke depan, berada di kisaran 2-2,5%. Perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang AS seperti China dan Uni Eropa akan berpengaruh terhadap performa Negeri Paman Sam.
Oleh karena itu, Rosengren menegaskan bahwa keputusan The Fed untuk menunda kenaikan suku bunga acuan sudah tepat. "Menghentikan sementara (kenaikan suku bunga acuan) adalah keputusan yang bertanggung jawab," ujarnya, mengutip Reuters.
Pernyataan Rosenberg langsung direspons negatif oleh dolar AS. Tanpa dukungan kenaikan Federal Funds Rate, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik sehingga mata uang ini mengalami tekanan jual.
Kedua, investor juga mulai mengantisipasi dialog dagang AS-China. Pada Kamis-Jumat waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan menggelar pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Beijing.
Pertemuan ini kembali menggelorakan api damai dagang AS-China yang sempat meredup. Ada harapan Washington dan Beijing bisa meneken kesepakatan damai dagang dalam waktu dekat, setidaknya pada tengah tahun.
Untuk memperbaiki hubungan dengan AS, China berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi. Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan Beijing akan lebih transparan dalam penyusunan kebijakan, melindungi hak atas kekayaan intelektual, dan tidak akan memaksakan transfer teknologi.
"China mendorong pengembangan teknologi dan industri untuk menciptakan ruang inovasi dan pembangunan," tegas Li, mengutip Reuters.
Komitmen China ini diharapkan mendapat tanggapan positif dari AS. Washington memang sudah cukup lama mengeluhkan soal pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi. Saat China serius untuk menghapuskan praktik tersebut, semoga poros Washington-Beijing akan semakin mesra dan damai dagang segera terwujud.
Pernyataan Rosengren dan hubungan AS-China yang membaik membuat investor mengambil posisi agresif. Arus modal yang sempat merapat ke aset-aset aman (safe haven) kini kembali menyemut di instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,92% setelah anjlok 1,75% pada awal pekan. Indeks saham utama Asia pun kompak menghijau sepeerti Nikkei 225 (2,15%), Hang Seng (0,15%), Kospi (0,18%), dan Straits Times (0,55%).
Kemudian rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,07% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Meski hanya menguat tipis, rupiah berhasil menjadi mata uang terbaik di Asia.
Lalu imbal hasil (yield) oblligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 2,2 basis poin (bps). Penurunan yield mencerminkan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pasar. Lelang obligasi kemarin pun berlangsung cukup semarak.
Pada awal pekan, pasar keuangan Asia babak-belur karena sentimen ancaman resesi di AS. Namun kemarin sentimen itu sudah reda meski sejatinya masih perlu waspada karena yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun masih mengalami inversi (yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang). Inversi ini menjadi pertanda awal terjadinya resesi.
Sebagai gantinya, pelaku pasar bergairah masuk ke instrumen berisiko karena dua sentimen. Pertama adalah komentar dari pejabat teras The Federal Reserve/The Fed.
Dalam sebuah seminar di Hong Kong, Presiden The Fed Boston Eric Rosengren memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh melambat dalam 3 kuartal ke depan, berada di kisaran 2-2,5%. Perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang AS seperti China dan Uni Eropa akan berpengaruh terhadap performa Negeri Paman Sam.
Oleh karena itu, Rosengren menegaskan bahwa keputusan The Fed untuk menunda kenaikan suku bunga acuan sudah tepat. "Menghentikan sementara (kenaikan suku bunga acuan) adalah keputusan yang bertanggung jawab," ujarnya, mengutip Reuters.
Pernyataan Rosenberg langsung direspons negatif oleh dolar AS. Tanpa dukungan kenaikan Federal Funds Rate, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik sehingga mata uang ini mengalami tekanan jual.
Kedua, investor juga mulai mengantisipasi dialog dagang AS-China. Pada Kamis-Jumat waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan menggelar pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Beijing.
Pertemuan ini kembali menggelorakan api damai dagang AS-China yang sempat meredup. Ada harapan Washington dan Beijing bisa meneken kesepakatan damai dagang dalam waktu dekat, setidaknya pada tengah tahun.
Untuk memperbaiki hubungan dengan AS, China berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi. Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan Beijing akan lebih transparan dalam penyusunan kebijakan, melindungi hak atas kekayaan intelektual, dan tidak akan memaksakan transfer teknologi.
"China mendorong pengembangan teknologi dan industri untuk menciptakan ruang inovasi dan pembangunan," tegas Li, mengutip Reuters.
Komitmen China ini diharapkan mendapat tanggapan positif dari AS. Washington memang sudah cukup lama mengeluhkan soal pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi. Saat China serius untuk menghapuskan praktik tersebut, semoga poros Washington-Beijing akan semakin mesra dan damai dagang segera terwujud.
Pernyataan Rosengren dan hubungan AS-China yang membaik membuat investor mengambil posisi agresif. Arus modal yang sempat merapat ke aset-aset aman (safe haven) kini kembali menyemut di instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular