
Newsletter
Tema Hari Ini: ECB, ECB, dan ECB
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 March 2019 05:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, pasar keuangan Indonesia libur memperingati Hari Raya Nyepi. Menjadi penting untuk menengok apa yang terjadi di pasar keuangan Asia kemarin, sebagai bekal mempersiapkan diri untuk hari ini.
Kemarin, bursa saham utama Asia ditutup variatif. Indeks saham yang menguat antara lain Shanghai Composite (0,14%), KLCI (0,01%), dan Straits Times. Sementara yang mengalami koreksi adalah Nikkei 225 (-0,65%), Hang Seng (-0,89%), dan Kospi (-0,48%).
Sementara nilai tukar mata uang utama Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mayoritas melemah. Hanya yen Jepang dan ringgit Malaysia yang mampu selamat di zona hijau.
Tidak banyak sentimen yang bisa menggerakkan pasar pada perdagangan kemarin, sehingga investor memilih bermain aman bahkan melakukan ambil untung (profit taking). Sentimen damai dagang Amerika Serikat (AS)-China sudah agak basi, belum ada perkembangan terbaru. Isu Korea Utara yang membandel dengan (katanya) membangun lagi fasilitas pengujian misil juga belum ada kelanjutannya.
Malah yang ada justru kabar kurang sedap dari Eropa yang menjadi pemicu investor mencairkan keuntungan yang sudah diperoleh. Uni Eropa berencana untuk menyaring investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) yang masuk ke Benua Biru mulai bulan depan. Tujuannya adalah menjaga keamanan dan kepentingan strategis.
"Dengan kerangka penyaringan investasi yang baru ini, kami akan memastikan bahwa investasi asing yang datang ke Uni Eropa benar-benar sejalan dengan kepentingan kita bersama," kata Jean-Claude Juncker, Presiden Komisi Uni Eropa, mengutip Reuters.
Kebijakan ini lahir atas dorongan dua negara besar yaitu Jerman dan Prancis yang mulai resah dengan pola investasi asing, khususnya dari China. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu banyak mencaplok korporasi Eropa yang bergerak bidang teknologi. Misalnya akuisisi Kuka, perusahaan robotik asal Jerman, oleh perusahaan elektronik asal China, Midea.
"Kami melihat bahwa ada peningkatan investasi di sektor strategis yang malah mengundang perdebatan. Oleh karena itu, kerangka baru ini akan memberi kami posisi untuk lebih baik dalam memonitor investasi asing guna melindungi kepentingan strategis," lanjut Juncker.
Kabar dari Eropa ini semakin menegaskan bahwa China sepertinya akan mengalami perlambatan ekonomi karena sumbangan dari investasi bakal berkurang. Perlambatan ekonomi di China tentu akan mempengaruhi negara-negara lain di Asia. Akibatnya, pelaku pasar menjadi agak ragu untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning.
Faktor lain yang membuat pelaku pasar bermain aman adalah penantian terhadap hasil rapat Bank Sentral Uni Eropa (ECB). Investor berekspektasi Mario Draghi dan sejawat masih mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di angka 0%.
Bahkan investor memperkirakan akan ada proyeksi yang lebih suram seputar perekonomian Benua Biru yang membuat ECB menunda rencana kenaikan suku bunga acuan. Awalnya ECB memperkirakan kenaikan suku bunga sudah bisa dieksekusi mulai musim panas (tengah tahun) ini. Namun dengan perkembangan di Eropa yang gloomy, mungkin tidak ada kenaikan suku bunga acuan sampai akhir 2019.
Persepsi tersebut membuat investor memilih dolar AS. Sebab bagaimanapun dolar AS masih punya 'beking' yaitu The Federal Reserves/The Fed. Walau tidak seagresif tahun lalu, sepertinya Jerome 'Jay' Powell dan kolega masih dalam siklus menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan Federal Funds Rate naik sekali pada 2019. Meski hanya naik sekali, tetapi masih lebih bagus ketimbang ECB yang tidak sama sekali. Ini membuat dolar AS berpeluang kembali menjadi raja mata uang dunia, gelar yang disandang sejak tahun lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, bursa saham utama Asia ditutup variatif. Indeks saham yang menguat antara lain Shanghai Composite (0,14%), KLCI (0,01%), dan Straits Times. Sementara yang mengalami koreksi adalah Nikkei 225 (-0,65%), Hang Seng (-0,89%), dan Kospi (-0,48%).
Sementara nilai tukar mata uang utama Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mayoritas melemah. Hanya yen Jepang dan ringgit Malaysia yang mampu selamat di zona hijau.
Tidak banyak sentimen yang bisa menggerakkan pasar pada perdagangan kemarin, sehingga investor memilih bermain aman bahkan melakukan ambil untung (profit taking). Sentimen damai dagang Amerika Serikat (AS)-China sudah agak basi, belum ada perkembangan terbaru. Isu Korea Utara yang membandel dengan (katanya) membangun lagi fasilitas pengujian misil juga belum ada kelanjutannya.
Malah yang ada justru kabar kurang sedap dari Eropa yang menjadi pemicu investor mencairkan keuntungan yang sudah diperoleh. Uni Eropa berencana untuk menyaring investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) yang masuk ke Benua Biru mulai bulan depan. Tujuannya adalah menjaga keamanan dan kepentingan strategis.
"Dengan kerangka penyaringan investasi yang baru ini, kami akan memastikan bahwa investasi asing yang datang ke Uni Eropa benar-benar sejalan dengan kepentingan kita bersama," kata Jean-Claude Juncker, Presiden Komisi Uni Eropa, mengutip Reuters.
Kebijakan ini lahir atas dorongan dua negara besar yaitu Jerman dan Prancis yang mulai resah dengan pola investasi asing, khususnya dari China. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu banyak mencaplok korporasi Eropa yang bergerak bidang teknologi. Misalnya akuisisi Kuka, perusahaan robotik asal Jerman, oleh perusahaan elektronik asal China, Midea.
"Kami melihat bahwa ada peningkatan investasi di sektor strategis yang malah mengundang perdebatan. Oleh karena itu, kerangka baru ini akan memberi kami posisi untuk lebih baik dalam memonitor investasi asing guna melindungi kepentingan strategis," lanjut Juncker.
Kabar dari Eropa ini semakin menegaskan bahwa China sepertinya akan mengalami perlambatan ekonomi karena sumbangan dari investasi bakal berkurang. Perlambatan ekonomi di China tentu akan mempengaruhi negara-negara lain di Asia. Akibatnya, pelaku pasar menjadi agak ragu untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning.
Faktor lain yang membuat pelaku pasar bermain aman adalah penantian terhadap hasil rapat Bank Sentral Uni Eropa (ECB). Investor berekspektasi Mario Draghi dan sejawat masih mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di angka 0%.
Bahkan investor memperkirakan akan ada proyeksi yang lebih suram seputar perekonomian Benua Biru yang membuat ECB menunda rencana kenaikan suku bunga acuan. Awalnya ECB memperkirakan kenaikan suku bunga sudah bisa dieksekusi mulai musim panas (tengah tahun) ini. Namun dengan perkembangan di Eropa yang gloomy, mungkin tidak ada kenaikan suku bunga acuan sampai akhir 2019.
Persepsi tersebut membuat investor memilih dolar AS. Sebab bagaimanapun dolar AS masih punya 'beking' yaitu The Federal Reserves/The Fed. Walau tidak seagresif tahun lalu, sepertinya Jerome 'Jay' Powell dan kolega masih dalam siklus menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan Federal Funds Rate naik sekali pada 2019. Meski hanya naik sekali, tetapi masih lebih bagus ketimbang ECB yang tidak sama sekali. Ini membuat dolar AS berpeluang kembali menjadi raja mata uang dunia, gelar yang disandang sejak tahun lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular