Newsletter

Euforia Damai Dagang Reda, Mau ke Mana Pasar Kita?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
27 February 2019 05:42
Euforia Damai Dagang Reda, Mau ke Mana Pasar Kita?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali mencatat kinerja yang memuaskan pada perdagangan kemarin. Hebatnya, pencapaian itu terjadi saat pasar keuangan Asia tengah mengalami tekanan. 

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,24%. Padahal mayoritas indeks saham utama Asia terjebak di zona merah seperti Nikkei 225 (-0,37%), Hang Seng (-0,85%), Shanghai Composite (-0,67%), Kospi (-0,27%), dan Straits Times (-0,33%). 


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat 0,19%. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupiah dan yen Jepang yang masih bisa menguat. Rupiah berhasil mencatat penguatan selama 3 hari perdagangan berturut-turut. 


Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) untuk sebagian besar tenor juga turun. Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik akibat tingginya permintaan. 


Apa yang membuat pasar keuangan Indonesia mampu bertahan di tengah gelombang koreksi yang terjadi di Asia? Kemungkinan ada dua faktor utama. 

Pertama adalah harga minyak yang cenderung turun meski ada pembalikan arah pada sore hari. Secara mingguan, harga minyak brent anjlok 2,09% sementara light sweet amblas 1,1%. 


Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. 

Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat. 

Alasan kedua adalah potensi inflasi Februari yang masih 'jinak'. Akhir pekan lalu, Gubernur Bank Sentral (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan survei bank sentral memperkirakan terjadi deflasi 0,07% secara bulanan dan 2,58% secara tahunan. Konsensus pasar sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ada deflasi 0,05% secara bulanan dan inflasi tahunan berada di 2,76%. 


Angka-angka itu menunjukkan inflasi sampai Februari masih 'santai'. Berada di batas bawah target BI di kisaran 2,5-3,5% untuk 2019. 

Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif. 

Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah. 
 

Kala ada sentimen positif bagi rupiah, maka aset-aset berbasis mata uang ini menjadi punya harapan. Akibatnya minat investor masih tetap tinggi untuk mengoleksi instrumen berbasis rupiah.

Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 352,68 miliar. Sementara di pasar obligasi, lelang 6 seri Surat Berharga Negara (SBN) mencetak rekor dengan jumlah penawaran mencapai Rp 93 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan Rp 22 triliun. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama terkoreksi tipis setelah menguat 2 hari beruntun. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,13%, S&P 500 melemah 0,08%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,07%. 

Dalam perdagangan 2 hari sebelumnya, ketiga indeks tersebut tidak pernah absen mencetak penguatan. Oleh karena itu, sedikit koreksi (apalagi tipis saja) tidak menjadi masalah dan justru membuat pasar menjadi lebih sehat. 

Investor sepertinya mulai merealisasikan keuntungan di bursa saham New York, seiring lunturnya sentimen perang dagang. Sejak awal pekan, Wall Street begitu semarak karena pelaku pasar memburu aset-aset berisiko. Damai dagang AS-China yang tampaknya sudah di depan mata membuat investor bergairah dan ogah bermain aman. 

Namun setelah 2 hari melaju, hari ini menjadi momentum koreksi. Belum adanya kabar terbaru dari hubungan AS-China (kecuali rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Florida bulan depan) membuat investor kurang beringas dan memilih mengambil nafas. 


Selain itu, memang ada pemicu bagi investor untuk melakukan ambil untung yaitu data ekonomi AS yang kurang ciamik. Pembangunan rumah baru (housing start) di AS pada Desember 2018 anjlok 11,2% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 1,08 juta unit. ini menjadi angka terendah sejak September 2016. 

Data ini semakin mempertegas bahwa perlambatan ekonomi adalah ancaman nyata bagi Negeri Paman Sam. Konfirmasi lebih lanjut mengenai hal ini juga datang dari Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserves/The Fed. 

Dalam paparan di hadapan Komite Perbankan Senat AS, Powell menyatakan bahwa ada sinyal yang bertabrakan di perekonomian AS. Di satu sisi ada gejala perlambatan seperti yang ditunjukkan oleh data penjualan ritel atau properti yang sudah disinggung sebelumnya. Namun di sisi lain perekonomian Negeri Adidaya juga masih menyimpan kekuatan, terlihat dari upah pekerja yang terus naik dan angka pengangguran terjaga di level rendah. 

Oleh karena itu, Powell kembali menegaskan bahwa The Fed masih akan bersabar dalam menentukan arah kebijakan moneter selanjutnya, terutama menyangkut suku bunga acuan. The Fed butuh waktu untuk mencerna apa yang dibutuhkan bagi perekonomian AS. 

"Kami benar-benar memantau sinyal yang berseberangan tersebut dan berbagai risikonya. Untuk saat ini, kami akan bersabar dan membiarkan waktu memberikan jawabannya," kata Powell, mengutip Reuters. 

Euforia damai dagang yang mulai reda dan tanda-tanda suramnya perekonomian AS membuat investor mundur teratur. Hasilnya jelas, Wall Street terkoreksi meski hanya di kisaran terbatas. 

"Data-data ekonomi hasilnya mixed, dan pasar sudah menguat dalam 2 bulan ini. Hal-hal tersebut menjadi alasan yang cukup untuk merealisasikan keuntungan. Memang tidak dalam kala besar, tetapi hawanya terasa," tutur Sameer Samana, Senior Global Market Strategist di Wells Fargo Investment Institute yang berbasis di St Louis, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street, yang sedang agak murung. Wall Street yang cenderung gloomy bisa mempengaruhi mood pelaku pasar di Benua Kuning. 

Sentimen kedua adalah pertemuan Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang dimulai hari ini. Pertemuan berlangsung di Hotel Metropole, Hanoi, Vietnam. 


Dalam pertemuan pertama di Singapura sekitar 8 bulan lalu, kedua kepala negara lebih banyak menghabiskan waktu untuk memecahkan kekakuan hubungan Washington-Pyongyang. Oleh karena itu, publik ingin ada hasil yang lebih tegas dalam pertemuan kedua di Vietnam kali ini. 

Satu hal yang sangat dinantikan tentu adalah komitmen denuklirisasi di Semenanjung Korea. Kemudian, publik juga ingin ada deklarasi untuk secara formal mengakhiri Perang Korea yang terjadi pada 1950-an. 

Namun, Trump sepertinya ingin publik untuk bersabar dulu. Sebab, tentu butuh waktu untuk menuju ke arah perdamaian total di Semenanjung Korea. 

"Saya tidak terburu-buru. Saya hanya tidak ingin lagi ada uji coba (peluncuran misil). Selama tidak ada uji coba, kita semua bahagia," ujarnya, mengutip Reuters. 

Setidaknya pelaku pasar boleh berharap ada sinyal perdamaian yang lebih jelas dari pertemuan di Vietnam. Sebab perdamaian di Semenanjung Korea akan membuat investor lebih tenang, tidak ada lagi sebuah risiko besar yaitu potensi gesekan di wilayah tersebut. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah kemarin sempat bangkit, ada kemungkinan dolar AS kembali terkoreksi hari ini. Pada pukul 04:52 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,36%.

Pemberat laju mata uang Negeri Adidaya adalah pernyataan Powell di depan Senat AS. Seperti yang sudah disinggung, pengganti Janet Yellen itu menyatakan bahwa bank sentral masih akan bersabar sambil mencari jawaban atas sinyal yang mixed di perekonomian AS.

Artinya, peluang kenaikan Federal Funds Rate semakin tipis setidaknya dalam waktu dekat. Pertemuan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee) berikutnya adalah 20 Maret. Dalam pertemuan tersebut, probabilitas suku bunga acuan bertahan di 2,25-2,5% mencapai 97,4%, mengutip CME Fedwatch.  

Oleh karena itu, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik karena tidak ada pemanis dari sisi suku bunga. Ini membuat dolar AS kemungkinan bakal ditinggalkan oleh investor. 

Rupiah bisa memanfaatkan situasi ini dengan kembali mencetak apresiasi. Mampukah rupiah mencatat penguatan 4 hari beruntun? Kita lihat saja nanti.  

Namun rupiah patut waspada dengan sentimen keempat yaitu harga minyak. Setelah kemarin anjlok dan menjadi 'dewa penolong' rupiah, kini harga si emas hitam mulai naik dan menebar ancaman. 

Pada pukul 05:01 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 1,34% dan light sweet naik 0,92%. Koreksi yang kemarin sempat mencapai 3% membuat ruang kenaikan harga minyak menjadi terbuka. 

Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bukan sebuah kabar gembira. Sebab biaya impor minyak akan membengkak kala harganya naik. Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus ada impor untuk memenuhi kebutuhan karena produksi dalam negeri yang tidak memadai.

Ini akan membuat pasokan devisa terkuras dan rupiah tidak punya modal untuk menguat. Fondasi rupiah menjadi rapuh sehingga rentan terdepresiasi. 


Kala ada risiko besar menghinggapi rupiah, aset-aset yang berbasis mata uang ini juga terancam ditinggalkan oleh investor. Oleh karena itu, pasar saham dan SBN juga perlu waspada. 

Setelah melesat sejak awal pekan, pasar keuangan Indonesia memang patut hati-hati. Risiko koreksi menjadi lebih besar, apalagi di tengah suasanya pasar keuangan global yang sedang murung karena meredanya euforia damai dagang AS-China. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis data pesanan pabrik AS periode Desember 2018 (22:00 WIB).
  • Rilis pembacaan akhir Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Zona Euro periode Februari (17:00 WIB).
  • Rilis Indeks Iklim Usaha Zona Euro periode Februari (17:00 WIB).  

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Astra International Tbk (ASII)Rilis Laporan Keuangan Tahun 2018-
PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO)RUPSLB10:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular