Newsletter

Menanti Asa dari China

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 February 2019 06:28
Menanti Asa dari China
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia melemah pada perdagangan perdana pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan obligasi pemerintah mengalami koreksi. 

Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup dengan pelemahan 0,41%. IHSG harus pasrah meninggalkan level psikologis 6.500. 


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,54%. Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari yuan China. 


Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5,9 basis poin. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun karena berkurangnya minat pasar atau bahkan terjadi aksi jual. 


Situasi eksternal dan domestik memang kurang mendukung pasar keuangan Indonesia. Dari sisi eksternal, nasib damai dagang AS-China masih samar-samar.  

Kemarin merupakan kick-off dari rangkaian dialog dagang AS-China di Beijing, yang dimulai dari pembicaraan tingkat wakil menteri dan berlanjut ke level menteri pada Kamis-Jumat. Delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer yang didampingi oleh sejumlah pejabat seperti Menteri Keuangan Steven Mnuchin. 

Namun pelaku pasar dan dunia usaha pesimistis pertemuan di Beijing ini bakal menghasilkan sesuatu yang signifikan. Sebab, memang banyak hal yang harus diselesaikan untuk mengakhiri perbedaan antara Washington dan Beijing. 

"Ada indikasi bahwa pemimpin kedua negara bersedia untuk menyelesaikan semua hambatan. Namun kami juga mendengar bahwa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya memperkirakan kedua pihak tidak menghasilkan sesuatu pekan depan," tegas Erin Ennis, Senior Vice President US-China Business Council, mengutip Reuters. 


Aura pesimisme pun merebak. Pelaku pasar khawatir, jangan-jangan Washington dan Beijing gagal mencapai kesepakatan sebelum 1 Maret, tenggat waktu 'gencatan senjata' 90 hari yang disepakati di Argentina awal Desember 2018. 

Jika sampai 1 Maret tidak ada kesepakatan, maka AS akan menaikkan bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar. Ketika ini terjadi, besar kemungkinan China akan melancarkan serangan balasan. Perang dagang pun kembali berkobar. 

Sementara dari dalam negeri, investor cemas karena rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar, tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013. 

Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.  

Secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014. 

NPI menggambarkan keseimbangan eksternal Indonesia, seberapa banyak devisa yang masuk dan keluar. Jika defisit, maka lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk. Artinya lebih banyak rupiah 'dibakar' untuk ditukarkan menjadi valas sehingga ketika NPI defisit menjadi wajar apabila rupiah melemah. 

Apalagi transaksi berjalan terus mencatatkan defisit, bahkan semakin dalam. Transaksi berjalan menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, devisa yang lebih bertahan lama.  

Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Saat dia defisit, fondasi itu menjadi rapuh sehingga rupiah rentan terdepresiasi. 


Perkembangan ini tentu membuat investor khawatir dan melepas aset-aset berbasis rupiah. Investor mana yang ingin mengoleksi aset yang nilainya berisiko turun?


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,21%, S&P 500 naik tipis 0,07%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,13%. 

Sentimen positif yang memayungi Wall Street adalah optimisme Washington dan Beijing terkait negosiasi dagang. Kevin Hassett, Kepala Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengatakan pemerintah AS sangat berharap ada hasil yang positif dari perundingan ini. 

"Para (pejabat) junior sedang bekerja dan menyiapkan jalan bagi (pejabat) senior pada akhir pekan. Tentu saja semua disiapkan, soal hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, dan sebagainya. Gedung Putih sangat menantikan apa yang bisa didapat para senior itu," papar Hassett dalam wawancara bersama Fox Business Network, mengutip Reuters. 

Pemerintah China pun mengemukakan harapan serupa. Hua Chunying, juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menyatakan dunia ingin melihat hasil dari dialog dagang ini. 

"Kami, dan seluruh masyarakat dunia, tentunya berharap ada hasil yang bagus," ujat Hua, mengutip Reuters. 

Pernyataan dari Washington dan Beijing itu memberi harapan kepada pelaku pasar. Terlihat bahwa kedua negara berkomitmen untuk melakukan negosiasi untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka. Harapan akan terciptanya damai dagang kembali terpelihara. 

Namun optimisme dari dialog dagang AS-China tidak cukup kuat untuk membuat bursa saham New York melesat kencang. S&P 500 dan Nasdaq hanya menguat terbatas, DJIA bahkan terkoreksi. 

Pasalnya, ada pula sentimen negatif yang membebani yaitu risiko penutupan sebagian (partial shutdown) pemerintahan Negeri Paman Sam. Anggaran sementara yang saat ini berlaku hanya berusia sampai 15 Februari. Jika tidak ada persetujuan anggaran baru, maka shutdown bakal kembali mendera AS. 


Kongres akan segera menyelesaikan peraturan mengenai anggaran tersebut secepatnya agar ada waktu untuk disahkan di House of Representatives dan Senat. Rencana anggaran yang sudah lolos di dua kamar tersebut akan dikirim ke meja Presiden Donald Trump pada Jumat untuk mendapat pengesahan. 

"Kami akan berusaha mencapai sebuah kesepakatan. Saya selalu optimistis, tetapi tetap hati-hati, bahwa kita akan dapat melakukannya," kata Nita Lowey, Ketua Badan Anggaran House of Representatives, mengutip Reuters. 

Kekhawatiran terhadap terulangnya shutdown menjadikan pasar sedikit cemas sehingga pergerakannya terbatas. Ini terlihat dari volume transaksi yang 'hanya' melibatkan 6,23 miliar unit saham, di bawah rata-rata selama 20 hari terakhir yang sebesar 7,43 miliar unit. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street yang meski mixed tetapi cenderung positif. Semoga aura positif dari Wall Street bisa merambat ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah investor tetap harus memasang mata dan telinga untuk memperoleh kabar terbaru dari dialog dagang AS-China. Pasalnya ada insiden lain yang bisa merusak suasana negosiasi yaitu kehadiran dua kapal perang AS di sekitar pulau yang diklaim China di Laut China Selatan. 

Kementerian Luar Negeri China menegaskan kapal perang tersebut masuk tanpa izin sehingga pemerintah China sangat keberatan. AS disebut bisa menciptakan tensi yang mengancam perdamaian di Laut China Selatan. 

Friksi-friksi di luar pembahasan ekonomi seperti ini tetap perlu diwaspadai karena berpotensi mengganggu. Bisa saja karena marah soal Laut China Selatan, China menarik diri dari dialog dagang. Amit-amit. 

Namun Washington tetap optimistis AS-China akan mencapai sebuah kesepakatan damai dagang. "Sepertinya begitu, tentu saja," ujar Kellyanne Conway, Penasihat Senior Gedung Putih, saat menjawab pertanyaan apakah kesepakatan dagang AS-China sudah semakin dekat.

Untuk menambah optimisme, Conway bahwa menyatakan Presiden Trump masih mungkin bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Trump, menurut Conway, ingin membuat kesepakatan dengan China yang adil bagi rakyat dan kepentingan AS. 

Semoga kabar-kabar positif seperti ini terus bermunculan sehingga harapan damai dagang AS-China tidak pudar. Sebab harapan tersebut akan menjadi mood booster yang ampuh bagi pasar keuangan Asia. 

Sentimen ketiga, pelaku pasar harus waspada karena tren penguatan dolar AS sepertinya belum berakhir. Pada pukul 05:47 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) semakin nyaman di zona hijau dengan penguatan 0,43%. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,25% dan selama sebulan penguatannya mencapai 1,44%. 

Sepertinya pelaku pasar masih agak skeptis dengan perkembangan dialog dagang AS-China. Sebab untuk mencapai sebuah kesepakatan dibutuhkan perubahan struktural. 

"China boleh saja membeli lebih banyak produk AS. Namun yang menjadi kendala adalah soal hal atas kekayaan intelektual dan pemaksaan transfer teknologi. Saya tidak yakin kesepakatan soal itu bisa tercapai pekan ini," tegas Juan Prada, Currency Strategist di Barclays yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Investor yang masih cenderung main aman pun mengarahkan dananya ke safe haven assets, dan dolar AS masih menjadi pilihan utama. Ternyata sejauh ini anggapan bahwa greenback akan tertekan pada 2019 belum terbukti, yang ada adalah dolar AS masih menjadi raja mata uang dunia seperti tahun lalu. 

Pasalnya, dolar AS juga mendapat angin karena pesaingnya sedang memble terutama di Eropa. Euro masih tertekan karena sinyal perlambatan ekonomi yang semakin nyata di Benua Biru. 

Dari Jeman, surplus perdagangan pada Desember 2018 tercatat EUR 13,9 miliar. Jauh di bawah bulan sebelumnya yang mencapai EUR 20,4 miliar dan Desember 2017 yaitu EUR 18,4 miliar. 

Sementara pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada kuartal IV-2018 adalah 0,2% year-on-year (YoY), sama seperti kuartal sebelumnya. Laju tersebut menjadi yang paling lambat sejak kuartal II-2014. 

Kemudian angka pembacaan awal untuk inflasi Zona Euro pada Januari 2019 adalah 1,4% YoY. Lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,6% YoY. Perlambatan laju inflasi menandakan permintaan yang masih terbatas. 

Perekonomian Eropa yang agak suram itu membuat prospek kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) menjadi mengecil. Mario Draghi cs memang masih menargetkan kenaikan suku bunga acuan setidaknya musim panas (tengah tahun) ini. Namun dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, target tersebut sepertinya sulit terlaksana. 

Akibatnya, dolar AS kembali tanpa lawan. Investor kembali mengarahkan investasinya ke mata uang Negeri Paman Sam, yang kemudian menebar ancaman kepada mata uang lainnya termasuk rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Namun rupiah bisa terbantu dari sentimen keempat yaitu penurunan harga minyak. Pada pukul 06:05 WIB, harga minyak jenis brent masih terkoreksi 0,63% sementara light sweet berkurang 0,85%. 

Penurunan harga minyak bisa membantu rupiah, karena menurunkan biaya impor migas. Defisit di neraca migas bisa membaik, dan ini akan membantu neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Masih ada harapan transaksi berjalan bisa membaik karena koreksi harga minyak, sehingga rupiah juga punya peluang untuk menguat. 


Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah penjualan ritel yang masih tumbuh. Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa penjualan ritel meningkat pada Desember 2018.

Penjualan ritel diperkirakan masih tumbuh pada Januari 2019, meski tidak secepat bulan sebelumnya. Berdasarkan Survei Penjualan Eceran, angka Indeks Penjualan Rii (IPR) pada Desember 2018 tercatat 236,3. Naik 7,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.  

Pertumbuhan pada Desember juga lebih baik baik ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 3,4% YoY. Plus, angka pertumbuhan 7,7% menjadi yang tertinggi sejak Mei 2018. 

Sementara untuk Januari 2019, BI memperkirakan angka IPR berada di 213,3. Tumbuh 4,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Agak jauh melambat dibandingkan Desember yang mencapai 7,7%. Ini wajar karena Hari Natal dan Tahun Baru adalah puncak konsumsi kedua setelah Ramadan-Idul Fitri. Begitu masuk ke periode normal, konsumsi akan melambat. 

Data ini bisa memberikan sentimen positif di pasar. Penjualan ritel yang tumbuh menandakan konsumsi rumah tangga masih kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Prospek ekonomi Indonesia sepertinya masih akan cerah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis angka pertumbuhan penjualan barang-barang ritel Singapura periode Desember 2018 (12:00 WIB).
  • Rilis angka pembukaan lapangan kerja non-pertanian AS periode Desember 2018 (22:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO)RUPSLB-
PT Sriwahana Adityakarta Tbk (SWAT)RUPSLB09:00 WIB
PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET)RUPSLB11:00 WIB
PT Capitalinc Investment Tbk (MTFN)RUPS Tahunan14:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular