
Newsletter
Menanti Asa dari China
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 February 2019 06:28

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street yang meski mixed tetapi cenderung positif. Semoga aura positif dari Wall Street bisa merambat ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah investor tetap harus memasang mata dan telinga untuk memperoleh kabar terbaru dari dialog dagang AS-China. Pasalnya ada insiden lain yang bisa merusak suasana negosiasi yaitu kehadiran dua kapal perang AS di sekitar pulau yang diklaim China di Laut China Selatan.
Kementerian Luar Negeri China menegaskan kapal perang tersebut masuk tanpa izin sehingga pemerintah China sangat keberatan. AS disebut bisa menciptakan tensi yang mengancam perdamaian di Laut China Selatan.
Friksi-friksi di luar pembahasan ekonomi seperti ini tetap perlu diwaspadai karena berpotensi mengganggu. Bisa saja karena marah soal Laut China Selatan, China menarik diri dari dialog dagang. Amit-amit.
Namun Washington tetap optimistis AS-China akan mencapai sebuah kesepakatan damai dagang. "Sepertinya begitu, tentu saja," ujar Kellyanne Conway, Penasihat Senior Gedung Putih, saat menjawab pertanyaan apakah kesepakatan dagang AS-China sudah semakin dekat.
Untuk menambah optimisme, Conway bahwa menyatakan Presiden Trump masih mungkin bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Trump, menurut Conway, ingin membuat kesepakatan dengan China yang adil bagi rakyat dan kepentingan AS.
Semoga kabar-kabar positif seperti ini terus bermunculan sehingga harapan damai dagang AS-China tidak pudar. Sebab harapan tersebut akan menjadi mood booster yang ampuh bagi pasar keuangan Asia.
Sentimen ketiga, pelaku pasar harus waspada karena tren penguatan dolar AS sepertinya belum berakhir. Pada pukul 05:47 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) semakin nyaman di zona hijau dengan penguatan 0,43%. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,25% dan selama sebulan penguatannya mencapai 1,44%.
Sepertinya pelaku pasar masih agak skeptis dengan perkembangan dialog dagang AS-China. Sebab untuk mencapai sebuah kesepakatan dibutuhkan perubahan struktural.
"China boleh saja membeli lebih banyak produk AS. Namun yang menjadi kendala adalah soal hal atas kekayaan intelektual dan pemaksaan transfer teknologi. Saya tidak yakin kesepakatan soal itu bisa tercapai pekan ini," tegas Juan Prada, Currency Strategist di Barclays yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Investor yang masih cenderung main aman pun mengarahkan dananya ke safe haven assets, dan dolar AS masih menjadi pilihan utama. Ternyata sejauh ini anggapan bahwa greenback akan tertekan pada 2019 belum terbukti, yang ada adalah dolar AS masih menjadi raja mata uang dunia seperti tahun lalu.
Pasalnya, dolar AS juga mendapat angin karena pesaingnya sedang memble terutama di Eropa. Euro masih tertekan karena sinyal perlambatan ekonomi yang semakin nyata di Benua Biru.
Dari Jeman, surplus perdagangan pada Desember 2018 tercatat EUR 13,9 miliar. Jauh di bawah bulan sebelumnya yang mencapai EUR 20,4 miliar dan Desember 2017 yaitu EUR 18,4 miliar.
Sementara pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada kuartal IV-2018 adalah 0,2% year-on-year (YoY), sama seperti kuartal sebelumnya. Laju tersebut menjadi yang paling lambat sejak kuartal II-2014.
Kemudian angka pembacaan awal untuk inflasi Zona Euro pada Januari 2019 adalah 1,4% YoY. Lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,6% YoY. Perlambatan laju inflasi menandakan permintaan yang masih terbatas.
Perekonomian Eropa yang agak suram itu membuat prospek kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) menjadi mengecil. Mario Draghi cs memang masih menargetkan kenaikan suku bunga acuan setidaknya musim panas (tengah tahun) ini. Namun dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, target tersebut sepertinya sulit terlaksana.
Akibatnya, dolar AS kembali tanpa lawan. Investor kembali mengarahkan investasinya ke mata uang Negeri Paman Sam, yang kemudian menebar ancaman kepada mata uang lainnya termasuk rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua adalah investor tetap harus memasang mata dan telinga untuk memperoleh kabar terbaru dari dialog dagang AS-China. Pasalnya ada insiden lain yang bisa merusak suasana negosiasi yaitu kehadiran dua kapal perang AS di sekitar pulau yang diklaim China di Laut China Selatan.
Kementerian Luar Negeri China menegaskan kapal perang tersebut masuk tanpa izin sehingga pemerintah China sangat keberatan. AS disebut bisa menciptakan tensi yang mengancam perdamaian di Laut China Selatan.
Friksi-friksi di luar pembahasan ekonomi seperti ini tetap perlu diwaspadai karena berpotensi mengganggu. Bisa saja karena marah soal Laut China Selatan, China menarik diri dari dialog dagang. Amit-amit.
Namun Washington tetap optimistis AS-China akan mencapai sebuah kesepakatan damai dagang. "Sepertinya begitu, tentu saja," ujar Kellyanne Conway, Penasihat Senior Gedung Putih, saat menjawab pertanyaan apakah kesepakatan dagang AS-China sudah semakin dekat.
Untuk menambah optimisme, Conway bahwa menyatakan Presiden Trump masih mungkin bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Trump, menurut Conway, ingin membuat kesepakatan dengan China yang adil bagi rakyat dan kepentingan AS.
Semoga kabar-kabar positif seperti ini terus bermunculan sehingga harapan damai dagang AS-China tidak pudar. Sebab harapan tersebut akan menjadi mood booster yang ampuh bagi pasar keuangan Asia.
Sentimen ketiga, pelaku pasar harus waspada karena tren penguatan dolar AS sepertinya belum berakhir. Pada pukul 05:47 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) semakin nyaman di zona hijau dengan penguatan 0,43%. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,25% dan selama sebulan penguatannya mencapai 1,44%.
Sepertinya pelaku pasar masih agak skeptis dengan perkembangan dialog dagang AS-China. Sebab untuk mencapai sebuah kesepakatan dibutuhkan perubahan struktural.
"China boleh saja membeli lebih banyak produk AS. Namun yang menjadi kendala adalah soal hal atas kekayaan intelektual dan pemaksaan transfer teknologi. Saya tidak yakin kesepakatan soal itu bisa tercapai pekan ini," tegas Juan Prada, Currency Strategist di Barclays yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Investor yang masih cenderung main aman pun mengarahkan dananya ke safe haven assets, dan dolar AS masih menjadi pilihan utama. Ternyata sejauh ini anggapan bahwa greenback akan tertekan pada 2019 belum terbukti, yang ada adalah dolar AS masih menjadi raja mata uang dunia seperti tahun lalu.
Pasalnya, dolar AS juga mendapat angin karena pesaingnya sedang memble terutama di Eropa. Euro masih tertekan karena sinyal perlambatan ekonomi yang semakin nyata di Benua Biru.
Dari Jeman, surplus perdagangan pada Desember 2018 tercatat EUR 13,9 miliar. Jauh di bawah bulan sebelumnya yang mencapai EUR 20,4 miliar dan Desember 2017 yaitu EUR 18,4 miliar.
Sementara pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada kuartal IV-2018 adalah 0,2% year-on-year (YoY), sama seperti kuartal sebelumnya. Laju tersebut menjadi yang paling lambat sejak kuartal II-2014.
Kemudian angka pembacaan awal untuk inflasi Zona Euro pada Januari 2019 adalah 1,4% YoY. Lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,6% YoY. Perlambatan laju inflasi menandakan permintaan yang masih terbatas.
Perekonomian Eropa yang agak suram itu membuat prospek kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) menjadi mengecil. Mario Draghi cs memang masih menargetkan kenaikan suku bunga acuan setidaknya musim panas (tengah tahun) ini. Namun dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, target tersebut sepertinya sulit terlaksana.
Akibatnya, dolar AS kembali tanpa lawan. Investor kembali mengarahkan investasinya ke mata uang Negeri Paman Sam, yang kemudian menebar ancaman kepada mata uang lainnya termasuk rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular