Newsletter

Semua Mata Memandang China

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 January 2019 05:56
Semua Mata Memandang China
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Performa pasar keuangan Indonesia bervariasi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merah, sementara rupiah masih mampu menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG menutup hari dengan koreksi 0,37%. Padahal IHSG mengawali perdagangan dengan penguatan, meski sangat terbatas. Seperti halnya IHSG, bursa saham utama Asia lainnya juga melemah. 


Sedangkan rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% terhadap dolar AS. Namun kinerja rupiah sebenarnya kurang meyakinkan, karena apresiasinya terus menipis. 


Tidak hanya Indonesia, pasar keuangan Asia agak jittery (gemetar) menanti rencana dialog dagang AS-China. Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan China Liao Min akan mengunjungi Washington pada 28 Januari waktu setempat.

Mereka akan 'membuka jalan' bagi kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada 30-31 Januari. Liu akan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. 

Sembari menantikan kabar terbaru dari Washington, sepertinya investor memasang mode wait and see. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. 

Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 661,58 miliar. Sementara di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun tipis 0,1 basis poin yang menggambarkan keraguan pasar untuk masuk di instrumen ini. 

Selain menanti berita dari Washington, sepertinya pelaku pasar juga mencemaskan rilis data terbaru di China yang kurang ciamik. Pertama, Biro Statistik Nasional China mencatat laba perusahaan industri di Negeri Tirai Bambu terkontraksi alias negatif alias turun 1,9% secara year-on-year (YoY) pada Desember 2018. Lebih dalam dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya yaitu minus 1,8% YoY. 

Sepanjang 2018, pertumbuhan laba industrial China adalah 10,3% YoY. Jauh melambat dibandingkan 2017 yang mencapai 21%. 

Kedua, Bank Sentral China (PBoC) merilis data penyaluran kredit properti yang juga melambat. Sepanjang 2018, penyaluran kredit properti tumbuh 20% YoY sementara pada 2017 tumbuh 20,9%. 

Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di China adalah sebuah kenyataan. China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi seluruh negara termasuk Indonesia. 

Sementara Wall Street mengawali pekan dengan muram karena tiga indeks utama terkoreksi lumayan dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,84%, S&P 500 turun 0,78%, sementara Nasdaq Composite ambrol 1,11%. 

Laporan keuangan emiten yang memble membuat bursa saham New York terperosok ke zona merah. Misalnya Caterpillar, perusahaan produsen alat berat, yang melaporkan laba per saham (Earnings per Share/EPS) US$ 2,55 pada kuartal IV-2018. Di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 2,99. Hasilnya, saham Caterpillar ambrol 9,1%. 

Kemudian Nvidia, perusahaan produsen perangkat keras komputer, memperkirakan pendapatan pada kuartal yang berakhir pada 27 Januari adalah US$ 2,2 miliar. Angka ini turun 2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dan di bawah konsensus pasar yang memperkirakan US$ 2,7 miliar. Gara-gara proyeksi ini, harga saham Nvidia nyungsep 13,82%. 

China menjadi biang keladi kemerosotan kinerja dua perusahaan ini. Negeri Tirai Bambu adalah pangsa pasar ekspor terbesar bagi mereka, dan apesnya si pasar itu sedang kurang bergairah. 

Tahun lalu, China membukukan pertumbuhan ekonomi 6,6% yang merupakan laju paling lemah sejak 1990. Artinya, permintaan dari Negeri Panda pun berkurang sehingga mempengaruhi kinerja Caterpillar dan Nvidia. 

Kini investor sangat dibuat cemas menanti laporan keuangan Apple yang akan dirilis Selasa waktu setempat. Apalagi Apple sempat menunjukkan gejala serupa, yaitu penurunan penjualan di China. Oleh karena itu, sepertinya Apple akan keluar dari ruangan dengan laporan keuangan yang mengecewakan. 


Masalahnya, Apple adalah Apple. Sebuah perusahaan yang bisa dibilang berdampak sistemik. Model bisnis Apple melibatkan rantai pasok yang kompleks, tidak hanya di AS tetapi juga Taiwan, China, Jepang, dan berbagai negara lain.

Ketika Apple bermasalah, maka berbagai perusahaan lain di banyak negara akan ikut berduka. Tiji tibeh, mati siji mati kabeh.  


"Angka-angka di laporan keuangan Apple akan berpengaruh besar. Tidak hanya terhadap saham sektor teknologi, tetapi keseluruhan pasar," kata Tony Roth, Chief Investment Officer di Wilmington Trust, mengutip Reuters. 

"Dengan ekonomi China yang sedang susah-payah, perusahaan di AS akan merasakan dampaknya. Ini hanya soal kapan waktunya," ujar Ryan Nauman, Market Strategist di Informa Financial Intelligence yang berbasis di Nevada, mengutip Reuters. 

Sepertinya semua mata sedang mengarah ke China, dan perilaku ini bisa menular ke pasar keuangan Asia...


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street yang tersangkut di jalur merah. Dikhawatirkan perkembangan di New York bisa membuat pasar keuangan Asia cemas dan kembali mengalami tekanan seperti kemarin. 

Sentimen kedua, investor perlu memasang mata dan telinga untuk memperoleh informasi soal perkembangan di Washington. Kabar seputar rencana dialog dagang AS-China akan menjadi sentimen yang sangat menggerakkan pasar. 

"Kami ingin memastikan bahwa jika nantinya tercapai kesepakatan, maka kesepakatan itu harus bisa diimplementasikan. Perlindungan atas hak kekayaan intelektual, tidak ada lagi pemaksaan dalam kerja sama investasi, dan penegakan hukum adalah tiga hal utama yang menjadi agenda kami," kata Mnuchin, mengutip Reuters. 

Mnuchin menambahkan, ada perkembangan yang signifikan dalam perundingan dengan China. Masih ada waktu sekitar 30 hari untuk menyelesaikan semuanya, sebelum tenggat 'gencatan senjata' selama 90 hari habis pada 2 Maret. 

Hubungan AS-China yang semakin membaik diharapkan mampu melahirkan damai dagang. Ini menjadi sebuah sentimen besar, karena bisa mempengaruhi nasib perekonomian dunia. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan, maka perekonomian global akan kembali semarak. 

Sentimen ketiga adalah investor juga perlu mencermati pergerakan nilai tukar dolar AS. Hingga pukul 04:50 WIB, dolar AS masih melemah yang ditunjukkan dari koreksi Dollar Index sebesar 0,05%. 

Terbalik dengan tahun lalu, sekarang dolar AS justru mendem jelang rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Tahun lalu, rapat FOMC hampir selalu membuat greenback melambung karena hasilnya tidak jarang berupa kenaikan suku bunga acuan atau minimal pernyataan bernada hawkish

Namun dalam rapat 29-30 Januari, kemungkinan besar Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan mempertahankan Federal Funds Rate di 2,25-2,5%. Mengutip CME Fedwatch, probabilitasnya mencapai 100%! 

Belum lagi ada perkiraan bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan berirama kalem alias dovish. Beberapa pejabat The Fed seperti Powell atau Wakil Gubenur Richard Clarida pernah menyatakan bahwa bank sentral bisa lebih bersabar pada 2019. Ini bisa diartikan bahwa agresivitas The Fed menurun, tidak lagi segarang tahun lalu yang menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. 


Tanpa ada harapan kenaikan suku bunga, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik. Tekanan jual kemungkinan masih terjadi dan greenback tetap dalam posisi defensif. Situasi ini bisa dimanfaatkan rupiah cs di Asia untuk kembali mencatatkan apresiasi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat, yang juga bisa menguntungkan rupiah, adalah harga minyak yang kembali anjlok. Pada pukul 05:00 WIB, harga minyak jenis brent amblas 2,71% sementara light sweet ambrol 2,98%. 

Pelaku pasar kembali mencemaskan risiko kelebihan pasokan alias oversupply. Produksi minyak (terutama di AS) berpotensi kembali mencetak rekor setelah ada penambahan 10 rig baru pada awal 2019.


Namun di sisi lain, permintaan justru kemungkinan menurun. Seperti yang sudah disinggung, dan menjadi penyebab kejatuhan Wall Street, ekonomi China sedang mengalami fase konsolidasi (bahasa halus dari melambat).

Belum lagi masih ada ketidakpastian yang menghantui AS selepas pemerintahan kembali dibuka, mengakhiri penutupan sebagian (partial shutdown) selama lebih dari sebulan. Selama pemerintahan AS tutup, Badan Anggaran Kongres AS mencatat potensi ekonomi yang hilang mencapai US$ 11 miliar.

Namun yang US$ 8 miliar bisa dikembalikan ketika pemerintahan dibuka lagi. Sementara yang US$ 3 miliar sudah hilang, hangus, dan tidak bisa kembali. Ini membuat pertumbuhan ekonomi 2019 berkurang 0,02%. 

Sekarang investor bisa lega karena ada anggaran sementara yang membuat pemerintahan AS kembali berfungsi. Namun anggaran sementara ini hanya berusia 3 pekan, akan kedaluwarsa pada 15 Februari. 

Saat masa pakai anggaran ini selesai, debat kusir siap dimulai kembali. Presiden AS Donald Trump sudah mewanti-wanti bahwa dirinya akan kembali memperjuangkan pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko senilai US$ 5,7 miliar. Rencana yang berulang kali ditolak oleh Kongres (terutama di House of Representatives yang kini dikuasai kubu oposisi Partai Demokrat). Shutdown bisa kembali terjadi. 

Debat soal to wall or not to wall akan ramai lagi pada medio bulan depan. Ketidakpastian kembali merasuk ke sendi-sendi perekonomian AS jika shutdown terulang lagi.  

Pertumbuhan ekonomi AS pun berisiko terus terpangkas. Artinya, permintaan energi di AS juga bakal berkurang sehingga wajar harga minyak terkoreksi. 

Penurunan harga minyak menjadi berkah buat rupiah. Sebab, ketika harga minyak turun maka biaya impornya menjadi lebih murah.  

Akibatnya, tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan sedikit mereda. Rupiah pun punya ruang untuk menguat karena pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih baik. 

Sentimen kelima, investor sebaiknya mulai bersiap menghadapi dinamika perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pada 29 Januari waktu setempat, parlemen Inggris akan menggelar voting untuk menentukan alternatif setelah proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May tidak disetujui. 

Beberapa alternatif yang mengemuka adalah menunda pelaksanaan Brexit dari 29 Maret menjadi 31 Desember, melakukan jajak pendapat (referendum) kedua bagi rakyat Inggris, parlemen mengambil alih proses negosiasi Brexit dengan Uni Eropa, sampai Inggris berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit). Totalnya ada 14 alternatif, cukup banyak dan hasil voting bisa melahirkan berbagai kemungkinan. 

"Cukup menantang ketika melihat ada diversifikasi sementara Anda harus menentukan sebuah kesepakatan. Namun yang jelas, sudah tidak ada lagi ruang untuk negosiasi," tegas Sabine Weyand, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit, mengutip Reuters. 

Gaduh Brexit bisa membuat pelaku pasar tidak tenang. Oleh karena itu, perkembangan di Inggris bisa menjadi salah satu sentimen yang menentukan pergerakan pasar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis angka Indeks Keyakinan Konsumen Amerika Serikat periode Januari 2019 (22:00 WIB). 

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Triwira Insanlestari Tbk (TRIL)RUPSLB10:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular