
Newsletter
Semua Mata Memandang China
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 January 2019 05:56

Sentimen keempat, yang juga bisa menguntungkan rupiah, adalah harga minyak yang kembali anjlok. Pada pukul 05:00 WIB, harga minyak jenis brent amblas 2,71% sementara light sweet ambrol 2,98%.
Pelaku pasar kembali mencemaskan risiko kelebihan pasokan alias oversupply. Produksi minyak (terutama di AS) berpotensi kembali mencetak rekor setelah ada penambahan 10 rig baru pada awal 2019.
Namun di sisi lain, permintaan justru kemungkinan menurun. Seperti yang sudah disinggung, dan menjadi penyebab kejatuhan Wall Street, ekonomi China sedang mengalami fase konsolidasi (bahasa halus dari melambat).
Belum lagi masih ada ketidakpastian yang menghantui AS selepas pemerintahan kembali dibuka, mengakhiri penutupan sebagian (partial shutdown) selama lebih dari sebulan. Selama pemerintahan AS tutup, Badan Anggaran Kongres AS mencatat potensi ekonomi yang hilang mencapai US$ 11 miliar.
Namun yang US$ 8 miliar bisa dikembalikan ketika pemerintahan dibuka lagi. Sementara yang US$ 3 miliar sudah hilang, hangus, dan tidak bisa kembali. Ini membuat pertumbuhan ekonomi 2019 berkurang 0,02%.
Sekarang investor bisa lega karena ada anggaran sementara yang membuat pemerintahan AS kembali berfungsi. Namun anggaran sementara ini hanya berusia 3 pekan, akan kedaluwarsa pada 15 Februari.
Saat masa pakai anggaran ini selesai, debat kusir siap dimulai kembali. Presiden AS Donald Trump sudah mewanti-wanti bahwa dirinya akan kembali memperjuangkan pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko senilai US$ 5,7 miliar. Rencana yang berulang kali ditolak oleh Kongres (terutama di House of Representatives yang kini dikuasai kubu oposisi Partai Demokrat). Shutdown bisa kembali terjadi.
Debat soal to wall or not to wall akan ramai lagi pada medio bulan depan. Ketidakpastian kembali merasuk ke sendi-sendi perekonomian AS jika shutdown terulang lagi.
Pertumbuhan ekonomi AS pun berisiko terus terpangkas. Artinya, permintaan energi di AS juga bakal berkurang sehingga wajar harga minyak terkoreksi.
Penurunan harga minyak menjadi berkah buat rupiah. Sebab, ketika harga minyak turun maka biaya impornya menjadi lebih murah.
Akibatnya, tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan sedikit mereda. Rupiah pun punya ruang untuk menguat karena pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih baik.
Sentimen kelima, investor sebaiknya mulai bersiap menghadapi dinamika perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pada 29 Januari waktu setempat, parlemen Inggris akan menggelar voting untuk menentukan alternatif setelah proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May tidak disetujui.
Beberapa alternatif yang mengemuka adalah menunda pelaksanaan Brexit dari 29 Maret menjadi 31 Desember, melakukan jajak pendapat (referendum) kedua bagi rakyat Inggris, parlemen mengambil alih proses negosiasi Brexit dengan Uni Eropa, sampai Inggris berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit). Totalnya ada 14 alternatif, cukup banyak dan hasil voting bisa melahirkan berbagai kemungkinan.
"Cukup menantang ketika melihat ada diversifikasi sementara Anda harus menentukan sebuah kesepakatan. Namun yang jelas, sudah tidak ada lagi ruang untuk negosiasi," tegas Sabine Weyand, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit, mengutip Reuters.
Gaduh Brexit bisa membuat pelaku pasar tidak tenang. Oleh karena itu, perkembangan di Inggris bisa menjadi salah satu sentimen yang menentukan pergerakan pasar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Pelaku pasar kembali mencemaskan risiko kelebihan pasokan alias oversupply. Produksi minyak (terutama di AS) berpotensi kembali mencetak rekor setelah ada penambahan 10 rig baru pada awal 2019.
Namun di sisi lain, permintaan justru kemungkinan menurun. Seperti yang sudah disinggung, dan menjadi penyebab kejatuhan Wall Street, ekonomi China sedang mengalami fase konsolidasi (bahasa halus dari melambat).
Belum lagi masih ada ketidakpastian yang menghantui AS selepas pemerintahan kembali dibuka, mengakhiri penutupan sebagian (partial shutdown) selama lebih dari sebulan. Selama pemerintahan AS tutup, Badan Anggaran Kongres AS mencatat potensi ekonomi yang hilang mencapai US$ 11 miliar.
Namun yang US$ 8 miliar bisa dikembalikan ketika pemerintahan dibuka lagi. Sementara yang US$ 3 miliar sudah hilang, hangus, dan tidak bisa kembali. Ini membuat pertumbuhan ekonomi 2019 berkurang 0,02%.
Sekarang investor bisa lega karena ada anggaran sementara yang membuat pemerintahan AS kembali berfungsi. Namun anggaran sementara ini hanya berusia 3 pekan, akan kedaluwarsa pada 15 Februari.
Saat masa pakai anggaran ini selesai, debat kusir siap dimulai kembali. Presiden AS Donald Trump sudah mewanti-wanti bahwa dirinya akan kembali memperjuangkan pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko senilai US$ 5,7 miliar. Rencana yang berulang kali ditolak oleh Kongres (terutama di House of Representatives yang kini dikuasai kubu oposisi Partai Demokrat). Shutdown bisa kembali terjadi.
Debat soal to wall or not to wall akan ramai lagi pada medio bulan depan. Ketidakpastian kembali merasuk ke sendi-sendi perekonomian AS jika shutdown terulang lagi.
Pertumbuhan ekonomi AS pun berisiko terus terpangkas. Artinya, permintaan energi di AS juga bakal berkurang sehingga wajar harga minyak terkoreksi.
Penurunan harga minyak menjadi berkah buat rupiah. Sebab, ketika harga minyak turun maka biaya impornya menjadi lebih murah.
Akibatnya, tekanan di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan sedikit mereda. Rupiah pun punya ruang untuk menguat karena pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih baik.
Sentimen kelima, investor sebaiknya mulai bersiap menghadapi dinamika perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pada 29 Januari waktu setempat, parlemen Inggris akan menggelar voting untuk menentukan alternatif setelah proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May tidak disetujui.
Beberapa alternatif yang mengemuka adalah menunda pelaksanaan Brexit dari 29 Maret menjadi 31 Desember, melakukan jajak pendapat (referendum) kedua bagi rakyat Inggris, parlemen mengambil alih proses negosiasi Brexit dengan Uni Eropa, sampai Inggris berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit). Totalnya ada 14 alternatif, cukup banyak dan hasil voting bisa melahirkan berbagai kemungkinan.
"Cukup menantang ketika melihat ada diversifikasi sementara Anda harus menentukan sebuah kesepakatan. Namun yang jelas, sudah tidak ada lagi ruang untuk negosiasi," tegas Sabine Weyand, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit, mengutip Reuters.
Gaduh Brexit bisa membuat pelaku pasar tidak tenang. Oleh karena itu, perkembangan di Inggris bisa menjadi salah satu sentimen yang menentukan pergerakan pasar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular