
Harga Minyak Kok Bisa Turun Lagi? Ternyata Ini Faktornya
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 January 2019 12:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia pada siang hari ini, Senin (28/1/2019) masih terus berkutat di zona merah.
Hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 amblas 0,44% ke posisi US$61,37/barel setelah menguat 0,9% pada akhir pekan lalu (25/1/2019).
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Maret 2019 jeblok 0,63% ke posisi US$53,35/barel setelah naik 1,05% pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Secara mingguan, harga minyak tercatat melemah sekitar 1,5% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun 2019 harga emas hitam ini masih naik sekitar 15%.
Melemahnya harga minyak sejak pekan lalu disebabkan oleh beberapa sentimen negatif yang mempengaruhi harga si emas hitam ini.
Salah satu sentimen yang membawa pengaruh negatif yang kuat menekan harga minyak adalah sinyal-sinyal perlambatan ekonomi dunia yang kian nyata.
China, beberapa waktu lalu merilis data pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang berada di level 6,6%. Tingkat pertumbuhan yang terbilang kecil itu merupakan yang paling lambat sejak 1990.
Terlebih lagi pada hari ini, Biro Statistik Nasional China, seperti dikutip Reuters, merilis data yang menyatakan bahwa laba yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan industri di China periode Desember 2018 turun 1,9% dibandingkan tahun sebelumnya (YoY) menjadi 680,8 miliar yuan atau setara Rp 1.420 triliun.
Selain itu, gejala perlambatan ekonomi dunia juga merambat ke seluruh dunia. Minggu lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan revisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia yang telah diumumkan Oktober lalu. Sayangnya revisinya tambah parah, perkiraan terbaru pertumbuhan ekonomi global versi IMF turun 0,2% menjadi 3,5% di tahun 2019.
Pertumbuhan ekonomi normalnya akan sejalan dengan permintaan energi dunia. Saat ekonomi melambat, permintaan energi juga akan terpangkas.
Selain itu, makin derasnya keran produksi minyak AS dikhawatirkan akan membuat pasar kebanjiran pasokan.
Pada Jumat lalu, perusahaan energi Baker Huges mengatakan bahwa jumlah rig minyak meningkat 10 unit menjadi 862 unit pada minggu lalu. Meningkatnya jumlah rig menjadi indikasi bahwa produksi minyak AS masih akan terus meningkat.
Bahkan sejak awal 2018, produksi minyak AS tercatat naik 2,4 juta barel/hari. Berdasarkan data terakhir yang dirilis oleh EIA, produksi minyak AS saat ini berada pada rekornya tertingginya, yaitu sebesar 11,9 juta barel/hari.
Selain itu, pada Kamis lalu (24/1/2019), lembaga resmi U.S. Energy Information Administration (EIA) merilis data perkembangan cadangan minyak AS di minggu yang berakhir pada 18 Januari 2019. Dalam rilisnya, cadangan minyak mentah meningkat 8 juta barel.
Cadangan minyak yang menumpuk menjadi pertanda bahwa AS sedang kebanjiran pasokan, di tengah melambatnya permintaan.
Namun demikian, setidaknya masih ada sederetan sentimen positif yang berhasil menahan pelemahan harga minyak lebih dalam.
Di tengah perlambatan ekonomi dunia, pemerintah China beritikad baik untuk memperhalus potensi dampak yang ditimbulkan. Minggu lalu, Kementerian Keuangan China mengatakan akan meningkatkan belanja negara tahun ini untuk memberi sokongan pada perekonomian, seperti yang dilansir dari Reuters.
Sebagai informasi, pada 2018 sebenarnya belanja pemerintah China sudah meningkat 8,7% ke CNY 22,1 trliun (setara US$ 3,3 triliun). Sebelumnya, Menteri Keuangan China Liu Kun juga mengatakan akan melakukan relaksasi pajak demi memberi katalis bagi kegiatan ekonomi.
Setidaknya, rencana China tersebut dapat meredam gejolak yang terjadi akibat perlambatan ekonomi, meski tidak dapat menghilangkan sepenuhnya.
Selain itu, damai dagang AS-China yang makin positif turut memberikan optimisme pada pelaku pasar. Bloomberg melaporkan bahwa China akan mengirimkan wakil menteri ke Washington untuk mempersiapkan dialog dagang yang akan mempertemukan Wakil Perdana Menteri Liu He dengan pejabat pemerintahan AS pada 30-31 Januari. Sebagai informasi, Wakil Menteri Perdagangan Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan Liao Min dikabarkan akan sampai di AS pada 28 Januari.
Langkah ini memperlihatkan keseriusan pihak China untuk dapat segera mengakhiri perang dagang yang selama ini berkecamuk dengan AS.
Bila damai dagang benar-benar berakhir, maka perputaran roda ekonomi dunia bisa kembali lancar. Akibatnya permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak bumi juga bisa terdongkrak.
Kabar yang sedikit melegakan juga kembali datang dari pemerintahan AS, di mana shutdown bisa diakhiri setelah 35 hari lamanya. Meskipun demikian anggaran yang telah disepakati rencananya hanya untuk 3 minggu. Namun setidaknya akan ada 800.000 pegawai negeri sipil AS yang kembali bekerja dan dibayar.
Kepala Manajemen dan Anggaran Gedung Putih Russell Vought, dikutip Reuters, mengatakan telah memberikan memo bahwa dibukanya kembali pemerintahan akan dilakukan dengan cepat dan tertib. Selain itu kontrak-kontrak pemerintah dan swasta juga kembali lancar. Hal ini akan mendorong perekonomian untuk berjalan lebih normal.
Bila perekonomian AS kembali berjalan seperti sedia kala, maka tumpukan cadangan minyak Negeri Paman Sam bisa dikurangi.
Selain itu, ada juga faktor fundamental yang berpotensi mewujudkan kesetimbangan pasokan-permintaan minyak dunia.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya sudah mulai memangkas produksi minyak seperti yang telah disepakati pada awal Desember 2018. Meskipun masih belum mencapai target pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari, namun setidaknya sudah setengah jalan.
Sebagai informasi, pada Desember 2018 catatan produksi OPEC berkurang 751.000 barel/har dibanding acuan jumlah produksi bulan Oktober 2018.
Amerika Serikat juga dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah-langkah dalam melumpuhkan pengiriman minyak Venezuela, yang menyumbang hampir semua ekspor negara itu, sebagai respons terhadap terpilihnya kembali Presiden Nicolas Maduro, yang dinilai hanya sandiwara belaka.
Diketahui bahwa Venezuela merupakan produsen minyak peringkat ke-14 dunia dengan tingkat produksi sebesar 1,5 juta barel/hari (Desember 2018). Bila pasokan minyak dari Venezuela terhenti, maka bisa membuat kekhawatiran akan banjir pasokan tahun ini sedikit surut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 amblas 0,44% ke posisi US$61,37/barel setelah menguat 0,9% pada akhir pekan lalu (25/1/2019).
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Maret 2019 jeblok 0,63% ke posisi US$53,35/barel setelah naik 1,05% pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Melemahnya harga minyak sejak pekan lalu disebabkan oleh beberapa sentimen negatif yang mempengaruhi harga si emas hitam ini.
Salah satu sentimen yang membawa pengaruh negatif yang kuat menekan harga minyak adalah sinyal-sinyal perlambatan ekonomi dunia yang kian nyata.
China, beberapa waktu lalu merilis data pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang berada di level 6,6%. Tingkat pertumbuhan yang terbilang kecil itu merupakan yang paling lambat sejak 1990.
Terlebih lagi pada hari ini, Biro Statistik Nasional China, seperti dikutip Reuters, merilis data yang menyatakan bahwa laba yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan industri di China periode Desember 2018 turun 1,9% dibandingkan tahun sebelumnya (YoY) menjadi 680,8 miliar yuan atau setara Rp 1.420 triliun.
Selain itu, gejala perlambatan ekonomi dunia juga merambat ke seluruh dunia. Minggu lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan revisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia yang telah diumumkan Oktober lalu. Sayangnya revisinya tambah parah, perkiraan terbaru pertumbuhan ekonomi global versi IMF turun 0,2% menjadi 3,5% di tahun 2019.
Pertumbuhan ekonomi normalnya akan sejalan dengan permintaan energi dunia. Saat ekonomi melambat, permintaan energi juga akan terpangkas.
Selain itu, makin derasnya keran produksi minyak AS dikhawatirkan akan membuat pasar kebanjiran pasokan.
Pada Jumat lalu, perusahaan energi Baker Huges mengatakan bahwa jumlah rig minyak meningkat 10 unit menjadi 862 unit pada minggu lalu. Meningkatnya jumlah rig menjadi indikasi bahwa produksi minyak AS masih akan terus meningkat.
Bahkan sejak awal 2018, produksi minyak AS tercatat naik 2,4 juta barel/hari. Berdasarkan data terakhir yang dirilis oleh EIA, produksi minyak AS saat ini berada pada rekornya tertingginya, yaitu sebesar 11,9 juta barel/hari.
Selain itu, pada Kamis lalu (24/1/2019), lembaga resmi U.S. Energy Information Administration (EIA) merilis data perkembangan cadangan minyak AS di minggu yang berakhir pada 18 Januari 2019. Dalam rilisnya, cadangan minyak mentah meningkat 8 juta barel.
Cadangan minyak yang menumpuk menjadi pertanda bahwa AS sedang kebanjiran pasokan, di tengah melambatnya permintaan.
Namun demikian, setidaknya masih ada sederetan sentimen positif yang berhasil menahan pelemahan harga minyak lebih dalam.
Di tengah perlambatan ekonomi dunia, pemerintah China beritikad baik untuk memperhalus potensi dampak yang ditimbulkan. Minggu lalu, Kementerian Keuangan China mengatakan akan meningkatkan belanja negara tahun ini untuk memberi sokongan pada perekonomian, seperti yang dilansir dari Reuters.
Sebagai informasi, pada 2018 sebenarnya belanja pemerintah China sudah meningkat 8,7% ke CNY 22,1 trliun (setara US$ 3,3 triliun). Sebelumnya, Menteri Keuangan China Liu Kun juga mengatakan akan melakukan relaksasi pajak demi memberi katalis bagi kegiatan ekonomi.
Setidaknya, rencana China tersebut dapat meredam gejolak yang terjadi akibat perlambatan ekonomi, meski tidak dapat menghilangkan sepenuhnya.
Selain itu, damai dagang AS-China yang makin positif turut memberikan optimisme pada pelaku pasar. Bloomberg melaporkan bahwa China akan mengirimkan wakil menteri ke Washington untuk mempersiapkan dialog dagang yang akan mempertemukan Wakil Perdana Menteri Liu He dengan pejabat pemerintahan AS pada 30-31 Januari. Sebagai informasi, Wakil Menteri Perdagangan Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan Liao Min dikabarkan akan sampai di AS pada 28 Januari.
Langkah ini memperlihatkan keseriusan pihak China untuk dapat segera mengakhiri perang dagang yang selama ini berkecamuk dengan AS.
Bila damai dagang benar-benar berakhir, maka perputaran roda ekonomi dunia bisa kembali lancar. Akibatnya permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak bumi juga bisa terdongkrak.
Kabar yang sedikit melegakan juga kembali datang dari pemerintahan AS, di mana shutdown bisa diakhiri setelah 35 hari lamanya. Meskipun demikian anggaran yang telah disepakati rencananya hanya untuk 3 minggu. Namun setidaknya akan ada 800.000 pegawai negeri sipil AS yang kembali bekerja dan dibayar.
Kepala Manajemen dan Anggaran Gedung Putih Russell Vought, dikutip Reuters, mengatakan telah memberikan memo bahwa dibukanya kembali pemerintahan akan dilakukan dengan cepat dan tertib. Selain itu kontrak-kontrak pemerintah dan swasta juga kembali lancar. Hal ini akan mendorong perekonomian untuk berjalan lebih normal.
Bila perekonomian AS kembali berjalan seperti sedia kala, maka tumpukan cadangan minyak Negeri Paman Sam bisa dikurangi.
Selain itu, ada juga faktor fundamental yang berpotensi mewujudkan kesetimbangan pasokan-permintaan minyak dunia.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya sudah mulai memangkas produksi minyak seperti yang telah disepakati pada awal Desember 2018. Meskipun masih belum mencapai target pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari, namun setidaknya sudah setengah jalan.
Sebagai informasi, pada Desember 2018 catatan produksi OPEC berkurang 751.000 barel/har dibanding acuan jumlah produksi bulan Oktober 2018.
Amerika Serikat juga dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah-langkah dalam melumpuhkan pengiriman minyak Venezuela, yang menyumbang hampir semua ekspor negara itu, sebagai respons terhadap terpilihnya kembali Presiden Nicolas Maduro, yang dinilai hanya sandiwara belaka.
Diketahui bahwa Venezuela merupakan produsen minyak peringkat ke-14 dunia dengan tingkat produksi sebesar 1,5 juta barel/hari (Desember 2018). Bila pasokan minyak dari Venezuela terhenti, maka bisa membuat kekhawatiran akan banjir pasokan tahun ini sedikit surut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular