Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada hari Kamis (3/1/2019), hawa negatif menyelimuti pasar saham dunia terhitung sejak sesi perdagangan bursa saham Asia. Sedari pagi, kontrak
futures sudah menunjukkan bahwa Wall Street akan anjlok pada saat perdagangan dibuka malam harinya.
Benar saja, pada penutupan perdagangan, indeks Dow Jones anjlok 2,83%, S&P 500 anjlok 2,48%, dan Nasdaq 100 anjlok 3,36%.
Sebuah perusahaan bernama Apple menjadi pemicu utama anjloknya bursa saham Negeri Paman Sam. Pada penutupan perdagangan, harga saham Apple terjun bebas 9,96%. Koreksi ini merupakan koreksi harian terburuk yang pernah dialami saham Apple sejak 2013.
Saham Apple menjadi bulan-bulanan investor pasca perusahaan yang bermarkas di Cupertino tersebut memangkas proyeksi pendapatannya. Dalam surat yang ditulis oleh CEO Apple Tim Cook kepada para investor, Apple merivisi ke bawah target pendapatan kuartal 1 tahun fiskal 2019 yang berakhir pada 29 Desember.
Perusahaan berlogo apel kroak tersebut menurunkan proyeksi pendapatannya menjadi US$ 84 miliar (Rp 1.210 triliun) dari yang sebelumnya US$ 89 miliar hingga US$ 93 miliar. Perlambatan ekonomi di China yang begitu signifikan yang pada akhirnya menekan penjualan iPhone seri terbaru merupakan salah satu alasan dari dipangkasnya proyeksi pendapatan perusahaan.
Surat Cook tersebut juga mengatakan subsidi yang lebih sedikit dari para opertor, kenaikan harga akibat penguatan dolar AS, dan penggantian baterai yang lebih murah berkontribusi terhadap lemahnya jumlah
upgrade model iPhone oleh pengguna di kuartal tersebut.
Pada awal Desember yakni tanggal 4, saham Apple ambruk hingga 4,4% menyusul
downgrade yang diberikan oleh HSBC. Kala itu, indeks Dow Jones anjlok 3,1% S&P 500 anjlok 3,24%, dan Nasdaq 100 anjlok 3,78%.
Sejatinya, wajar jika Wall Street ambruk kala saham Apple diterpa isu negatif yang berujung pada kejatuhan harga sahamnya. Di indeks Dow Jones yang metode pembobotanya menggunakan harga (
price-weighted), saham Apple memiliki bobot sebesar 4,2% (per penutupan perdagangan tanggal 3 Desember). Di indeks S&P 500 dan Nasdaq 100 yang pembobotannya menggunakan basis kapitalisasi pasar, Apple memiliki bobot masing-masing sebesar 3,4% dan 9,7% (per penutupan perdagangan tanggal 2 Desember).
Namun, Wall Street jatuh lebih dalam dari yang seharusnya lantaran kejatuhan saham Apple ikut mengerek turun harga saham pemasoknya yakni Intel. Untuk produk Macbook dan iMac, Apple membenamkan prosesor buatan Intel.
Lebih parahnya lagi, saham emiten-emiten sektor teknologi lainnya yang minim berhubungan atau bahkan sama sekali tidak berhubungan dengan Apple ikut dibanting kala saham Apple anjlok. Saham-saham yang dimaksud adalah Nvidia, Netflix, Amazon, Twitter, Microsoft, Alphabet, dan Facebook.
Kuatnya pengaruh saham Apple terhadap saham-saham emiten teknologi lainnya dibuktikan oleh analisis regresi. Data yang digunakan adalah data periode Januari 2018-Januari 2019.
Dari grafik di atas, terlihat bahwa saham Apple memiliki pengaruh yang begitu kuat terhadap saham-saham emiten teknologi lainnya. Terhadap saham Nvidia misalnya, setiap kenaikan harga saham Apple sebesar 1 poin, maka harga saham Nvidia akan terdorong naik sebesar 0,85 poin.
Lantas, bisa semacam dikatakan bahwa Apple menguasai sebesar 15,2% dari total kapitalisasi pasar di indeks S&P 500. Nilai sebesar 15,2% didapatkan dari penjumlahan kapitalisasi pasar Apple dengan 8 emiten sektor teknologi lainnya yang sudah disebutkan di atas (menggunakan data tanggal 2 Desember).
Jadi, jika berbicara mengenai pasar saham, penulis memandang bahwa Apple masuk dalam kategori
too big to fail. Kejatuhan saham Apple akan berdampak sistemik. Pada awalnya, pasar saham AS akan jatuh dan kemudian diikuti oleh pasar saham lainnya di berbagai belahan dunia.
Berharap Pada Tim CookDengan melihat peran Apple di pasar saham dunia yang begitu besar, maka menjadi penting bagi investor untuk mencoba memproyeksikan kinerja Apple di masa depan.
Celakanya, pasar
smartphone dunia memang tengah diterpa perlambatan. Mengutip data dari International Data Corporation (IDC), sebanyak total 355,2 juta
smartphone terjual pada kuartal-III 2018, turun 6% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Capaian ini jauh memburuk dibandingkan kuartal-III 2017. Kala itu, penjualan
smartphone tumbuh sebesar 2,7% YoY.
Pada kuartal-III 2018, penjualan
smartphone Apple hanya tumbuh 0,5% YoY, melambat dari capaian kuartal-III 2017 yang sebesar 2,6% YoY. Nasib buruk tak hanya dialami oleh Apple, namun juga pesaing besarnya yakni Samsung. Pada kuartal-III 2018, penjualan
smartphone Samsung terkontraksi hingga 13,4% YoY. Padahal pada kuartal-III 2017, Samsung membukukan pertumbuhan hingga 9,5% YoY.
Sebagai informasi, iPhone merupakan komponen yang krusial dalam bisnis Apple. Mengutip Statista, sebanyak 59,1% dari pendapatan Apple selama kuartal-IV tahun fiskal 2018 datang dari penjualan iPhone.
Penulis memproyeksikan bahwa penjualan iPhone baru akan membaik setidaknya pada tahun 2020, kala teknologi 5G sudah menjadi komersial dan bisa dinikmati masyarakat luas (di negara maju).
In the meantime, let's hope Tim Cook got something to save us throughout 2019.
(hps)