Santa Claus is Not Coming This Year!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 December 2018 14:43
Anthony Kevin
Anthony Kevin
Sarjana Ekonomi yang mengawali karir sebagai ekonom di Kresna Sekuritas pada pertengahan 2015. Bersama CNBC Indonesia, dia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik sebagai Researcher. Lulusan UNIKA Atma Jaya ini fokus meneliti pasar modal dan ekonomi m.. Selengkapnya
Akankah Sinterklas mengunjungi Wall Street pada tahun ini?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Memasuki minggu terakhir bulan Desember, biasanya pelaku pasar saham mulai menyebut yang namanya Santa Claus Rally. Melansir Investopedia, Santa Claus Rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada minggu terakhir bulan Desember hingga 2 hari perdagangan pertama di bulan Januari.

Ada beberapa penjelasan di balik fenomena ini seperti optimisme pelaku pasar dan investasi dari bonus musim liburan. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.

Tahun ini, sang Sinterklas sempat nampak datang lebih cepat. Pada perdagangan pertama di bulan Desember, indeks Dow Jones membukukan kenaikan sebesar 1,13%, S&P 500 melesat 1,09%, dan Nasdaq melejit 1,51%.

Aura damai dagang yang hadir pasca Preisden AS Donad Trump menyetujui gencatan senjata di bidang dagang dengan Presiden China XI Jinping kala bertemu di sela-sela KTT G-20 sempat membuat hati pelaku pasar berbunga-bunga.

Namun, kini situasinya berbalik 180 derajat. Sepanjang bulan Desember, indeks S&P 500 sudah anjlok hingga 10,6%. Indeks S&P 500 lantas berpotensi mengukir performa bulan Desember terburuk sejak great depression pada 1931 silam.



Melihat kondisi yang sudah begitu buruk saat ini, masihkah Sinterklas akan mengunjungi Wall Street?

Resesi, Resesi, dan Resesi...
Salah satu hal yang memicu aksi jual di pasar saham AS sepanjang bulan ini adalah potensi datangnya resesi. Hal ini digaungkan dengan kencang oleh pasar obligasi AS. Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun.

Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.

Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.

Namun, konfirmasi datangnya resesi tak hanya dari spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Konfirmasi biasanya datang dari spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun.

Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.

Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -42 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya jauh menipis jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps atau semakin mengarah ke inversi.

The Fed Keras Kepala
Celakanya, di saat gaung resesi keras disuarakan, The Fed malah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps. Lebih lanjut, The Fed memproyeksikan kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun depan, turun dari proyeksi sebelumnya yang sebanyak 3 kali (75 bps).

The Fed masih keras kepala. Pelaku pasar sebenarnya mengharapkan bahwa The Fed akan lebih berani dalam mengerem normalisasinya. Sebelum hasil pertemuan The Fed diumumkan pada Kamis dini hari waktu Indonesia, kontrak Fed Fund futures menunjukkan bahwa pelaku pasar mengharapkan tidak ada kenaikan sama sekali pada tahun depan.

Di sisi lain, The Fed secara gamblang mengakui risiko perlambatan ekonomi di AS. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan sebesar 3%, turun 10 bps dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,1%. Untuk tahun 2019, angkanya diproyeksikan melandai ke level 2,3%, juga lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,5%.

Tak hanya masih agresif dalam mengerek suku bunga acuan, The Fed juga akan terus mengurangi besaran dari neracanya, yang berarti suntikan likuiditas ke pasar akan berkurang.

"Saya rasa pengurangan di neraca berlangsung mulus dan sesuai dengan tujuan awalnya. Saya tidak akan mengubah itu," tegas Powell dalam konferensi pers, mengutip Reuters.

Sebagai informasi, sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu, The Fed rajin membeli surat-surat berharga untuk memberikan stimulus kepada perekonomian AS (quantitative easing).

AS Shutdown (Lagi)?
Selain 2 faktor di atas, awan gelap yang menghantui Wall Street datang seiring dengan potensi tutupnya pemerintahan (government shutdown) AS mulai esok hari (22/12/2018).

Dalam beberapa waktu terakhir, pembahasan anggaran tahun fiskal 2019 mentok sehingga dibutuhkan anggaran sementara jika ingin pemerintahan tetap berjalan. Pada hari Rabu, House of Representative dan Senate telah meloloskan anggaran sementara yang dibutuhkan.

Namun, Preisden AS Donald Trump ogah menandatangani anggaran sementara tersebut. Trump ngambek karena anggaran itu tidak memasukkan pos pengamanan perbatasan sebesar US$ 5 miliar. Salah satu bentuk pengamanan tersebut adalah pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.

"Kami ingin pemerintah tidak tutup. Namun kami juga ingin ada kesepakatan mengenai perlindungan perbatasan" tegas Ketua House of Representative dari Partai Republik Paul Ryan, mengutip Reuters.

Perkembangan teranyar, House of Representative telah meloloskan anggaran sementara baru yang akan membuat pemerintahan AS tetap beroperasi hingga 8 Februari 2019. Kali ini, anggaran senilai lebih dari US$ 5 miliar untuk pembangunan tembok perbatasan dimasukkan kedalamnya.

Namun, anggaran ini diproyeksikan tak akan lolos ketika para senator melakukan pemungutan suara. Pasalnya, sebanyak 60 suara dibutuhkan untuk meloloskan anggaran sementara. Kini, partai Republik hanya menguasai sebanyak 51 kursi di Senate.

Pada akhirnya, shutdown akan sulit terelakkan.

Sebagai informasi, selama Trump menjabat menjadi presiden AS, sudah terjadi 2 kali shutdown yakni pada Januari dan Februari 2018.

Perang Dagang Makin Panas
Seakan tak cukup sampai disitu, perang dagang antara AS dengan China juga akan menghantui Wall Street di minggu terakhir perdagangan tahun ini. Pasca sempat mesra selepas Presiden AS Donald Trump menyepakati gencatan sejata dalam bidang perdagangan dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20, hubungan AS dan China dibuat renggang oleh penangkapan CFO Huawei Meng Wanzhou.

Perkembangan teranyar, Kementerian Kehakiman AS (DOJ) mengumumkan tuntutan kepada dua warga negara China, Zhu Hua dan Zhang Shilong, terkait usaha peretasan untuk mencuri rahasia dan hak kekayaan intelektual milik perusahaan-perusahaan teknologi di berbagai belahan dunia, serta data pribadi dari 100.000 anggota angkatan laut AS. Di AS sendiri, ada 45 perusahaan teknologi yang disasar.

Tuntutan dari DOJ menyatakan bahwa kedua orang tersebut melakukan peretasan di setidaknya 12 negara. Lebih parahnya lagi, AS mendakwa bahwa dua orang tersangka tersebut memiliki keterkaitan dengan pemerintah China.

"China akan sulit untuk berpura-pura bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kejadian ini," tegas Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein dalam jumpa pers, seperti dikutip dari CNBC International.

Sekedar mengingatkan, pemerintahan Trump sudah sejak lama menuduh China sebagai pencuri kekayaan intelektual dari perusahaan-perusahaan teknologi asal AS.

Lantas, tuntutan resmi dari DOJ memperparah keadaan. Damai dagang AS-China secara permanen bisa kian sulit untuk dicapai.

Dengan memperhatikan derasnya sentimen negatif yang masih akan menghantui Wall Street, nampaknya Sinterklas tak akan datang berkunjung pada tahun ini. Kalau Sinterklas tak mengunjungi Wall Street, pasar saham Indonesia akan sulit membukukan kinerja yang ciamik.

"Rule #1 is never lose money. Rule #2 is never forget rule #1" ― Warren Buffett
(hps)

Tags

Related Opinion
Recommendation