
Newsletter
Perlambatan Ekonomi Global Bukan Sekadar Mitos
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 January 2019 05:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia patut mendapat acungan jempol pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di tengah-tengah keruntuhan pasar keuangan Asia.
Kemarin, IHSG berhasil finis dengan penguatan 0,64%. IHSG dibuka merah, tetapi dengan cepat kembali ke zona hijau dan bertahan di sana seharian.
Pencapaian IHSG layak diapresiasi, karena bursa utama Asia kompak melemah. Indeks Hang Seng turun 0,26%, Shanghai Composite minus 0,04%, Kospi negatif 0,81%, dan Straits Times berkurang 0,86%.
Sementara rupiah berhasil menguat 0,28% terhadap dolar AS kala penutupan pasar spot. Dibuka menguat, kemudian melemah hampir seharian, tiba-tiba rupiah mampu berbalik menguat dan berhasil mengakhiri hari di zona hijau.
Performa rupiah juga menjadi salah satu yang terbaik di Benua Kuning. Selain rupiah, hanya yen Jepang, dolar Singapura, dan baht Thailand yang mampu menguat di hadapan greenback.
Sentimen negatif memang masih membayangi Asia. Data-data ekonomi yang dirilis seakan memberi konfirmasi perlambatan ekonomi sudah di depan mata.
Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur di India versi IHS Markit pada Desember tercatat 53,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54.
Kemudian penjualan properti di Thailand juga diperkirakan tumbuh melambat. Mengutip Bangkok Post, Real Estate Information Center (REIC) Thailand memperkirakan pertumbuhan penjualan properti residensial di wilayah Bangkok Raya pada semester I-2019 sebesar 4,5%. Berada di bawah rata-rata semester-I selama 5 tahun terakhir yaitu 4,6%.
Sedangkan penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.
Ini yang membuat investor gatal ingin keluar dari Asia. Akibatnya, bursa saham dan mata uang Asia berjatuhan.
Namun Indonesia mampu bertahan dari gempuran tersebut. Pertama, karena investor merasakan kehadiran Bank Indonesia (BI) untuk menjaga pasar. Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, mengungkapkan bank sentral melakukan intervensi jutaan dolar AS di pasar Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).
Kedua, harga minyak masih melanjutkan tren penurunan. Penurunan harga minyak membuka peluang bagi Indonesia untuk menata transaksi berjalan (current account).
Dengan koreksi harga minyak, maka biaya impor komoditas ini akan berkurang dan menekan penggunaan devisa. Artinya, rupiah akan punya lebih banyak modal devisa untuk menguat. Indonesia pun punya harapan defisit transaksi berjalan bisa membaik, sehingga fundamental penyokong rupiah akan lebih kuat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG berhasil finis dengan penguatan 0,64%. IHSG dibuka merah, tetapi dengan cepat kembali ke zona hijau dan bertahan di sana seharian.
Pencapaian IHSG layak diapresiasi, karena bursa utama Asia kompak melemah. Indeks Hang Seng turun 0,26%, Shanghai Composite minus 0,04%, Kospi negatif 0,81%, dan Straits Times berkurang 0,86%.
Sementara rupiah berhasil menguat 0,28% terhadap dolar AS kala penutupan pasar spot. Dibuka menguat, kemudian melemah hampir seharian, tiba-tiba rupiah mampu berbalik menguat dan berhasil mengakhiri hari di zona hijau.
Performa rupiah juga menjadi salah satu yang terbaik di Benua Kuning. Selain rupiah, hanya yen Jepang, dolar Singapura, dan baht Thailand yang mampu menguat di hadapan greenback.
Sentimen negatif memang masih membayangi Asia. Data-data ekonomi yang dirilis seakan memberi konfirmasi perlambatan ekonomi sudah di depan mata.
Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur di India versi IHS Markit pada Desember tercatat 53,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54.
Kemudian penjualan properti di Thailand juga diperkirakan tumbuh melambat. Mengutip Bangkok Post, Real Estate Information Center (REIC) Thailand memperkirakan pertumbuhan penjualan properti residensial di wilayah Bangkok Raya pada semester I-2019 sebesar 4,5%. Berada di bawah rata-rata semester-I selama 5 tahun terakhir yaitu 4,6%.
Sedangkan penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.
Ini yang membuat investor gatal ingin keluar dari Asia. Akibatnya, bursa saham dan mata uang Asia berjatuhan.
Namun Indonesia mampu bertahan dari gempuran tersebut. Pertama, karena investor merasakan kehadiran Bank Indonesia (BI) untuk menjaga pasar. Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, mengungkapkan bank sentral melakukan intervensi jutaan dolar AS di pasar Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).
Kedua, harga minyak masih melanjutkan tren penurunan. Penurunan harga minyak membuka peluang bagi Indonesia untuk menata transaksi berjalan (current account).
Dengan koreksi harga minyak, maka biaya impor komoditas ini akan berkurang dan menekan penggunaan devisa. Artinya, rupiah akan punya lebih banyak modal devisa untuk menguat. Indonesia pun punya harapan defisit transaksi berjalan bisa membaik, sehingga fundamental penyokong rupiah akan lebih kuat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Waspada, Wall Street 'Membara'
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular