
Newsletter
Perlambatan Ekonomi Global Bukan Sekadar Mitos
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 January 2019 05:33

Namun hari ini pasar keuangan Indonesia harus bersiap-siap menerima pukulan yang lebih keras, karena Wall Street terkoreksi dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,83%, S&P 500 amblas 2,47%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,04%.
Apple menjadi biang kerok keruntuhan bursa saham New York. Harga saham produsen iPhone ini melorot 9,96%!
Penyebabnya adalah proyeksi penurunan pendapatan. Tidak biasanya perusahaan yang dirintis dari garasi rumah orang tua mendiang Steve Jobs ini merilis proyeksi, tetapi ketika dilakukan dampaknya begitu sistemik.
Untuk kuartal-I tahun fiskal yang berakhir 29 Desember 2018, Apple memperkirakan pendapatan sebesar US$ 84 miliar. Jauh di bawah konsensus yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 91,5 miliar.
Penurunan penjualan di China menjadi biang keladinya. Perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu serta belum adanya penyelesaian atas perang dagang AS-China merupakan penyebab Apple sulit menggenjot penjualan.
"Isu yang besar adalah perlambatan ekonomi dan kemudian friksi perdagangan menambah beban. Kami mengantisipasi beberapa tantangan di pasar negara berkembang," kata Tim Cook, CEO Apple, dalam keterangan kepada investor, seperti dikutip Reuters.
Selain itu, Apple terlibat persaingan sengit dengan pabrikan lokal seperti Huawei. Bahkan pangsa pasar Apple mulai tergerus, karena harga yang kurang kompetitif.
"Harga (iPhone) sudah terlalu mahal, lebih dari US$ 1.000. Itu hampir tiga kali lipat lebih mahal dari merek lain yang membanjiri pasar," tegas Kiranjeet Kaur, Analis IDC, mengutip Reuters.
Apple mungkin sudah menjadi perusahaan yang too big to fail. Kejatuhan Apple akan menyeret perusahaan lain, bahkan pasar keuangan di negara lain, ke zona merah.
Sebab, iPhone saja merupakan produk yang melibatkan banyak perusahaan di berbagai negara. Oleh karena itu, koreksi pendapatan Apple sama dengan penurunan laba perusahaan-perusahaan lain di banyak negara.
Tekanan akibat keruntuhan Apple diperparah dengan rilis data ekonomi di AS. Indeks aktivitas industri manufaktur Negeri Paman Sam versi ISM pada Desember 2018 ada di 54,1. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 59,3. Penurunan 5,2 poin tersebut juga menjadi koreksi paling dalam sejak Oktober 2008.
Data ini semakin memberi kejelasan bahwa risiko perlambatan ekonomi global bukan sekadar mitos. Hal ini sudah tercermin dari berbagai rilis data ekonomi dari Asia hingga AS.
Melihat risiko yang begitu besar, investor memutuskan keluar mencari perlindungan di tempat aman. Salah satu investasi aman (safe haven) yang menjadi tujuan utama pelaku pasar adalah mata uang yen.
Tingginya permintaan terhadap yen membuat nilainya kembali menguat tajam. Pada pukul 04:50 WIB, yen menguat 1,13% di hadapan dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Apple menjadi biang kerok keruntuhan bursa saham New York. Harga saham produsen iPhone ini melorot 9,96%!
Penyebabnya adalah proyeksi penurunan pendapatan. Tidak biasanya perusahaan yang dirintis dari garasi rumah orang tua mendiang Steve Jobs ini merilis proyeksi, tetapi ketika dilakukan dampaknya begitu sistemik.
Untuk kuartal-I tahun fiskal yang berakhir 29 Desember 2018, Apple memperkirakan pendapatan sebesar US$ 84 miliar. Jauh di bawah konsensus yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 91,5 miliar.
Penurunan penjualan di China menjadi biang keladinya. Perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu serta belum adanya penyelesaian atas perang dagang AS-China merupakan penyebab Apple sulit menggenjot penjualan.
"Isu yang besar adalah perlambatan ekonomi dan kemudian friksi perdagangan menambah beban. Kami mengantisipasi beberapa tantangan di pasar negara berkembang," kata Tim Cook, CEO Apple, dalam keterangan kepada investor, seperti dikutip Reuters.
Selain itu, Apple terlibat persaingan sengit dengan pabrikan lokal seperti Huawei. Bahkan pangsa pasar Apple mulai tergerus, karena harga yang kurang kompetitif.
"Harga (iPhone) sudah terlalu mahal, lebih dari US$ 1.000. Itu hampir tiga kali lipat lebih mahal dari merek lain yang membanjiri pasar," tegas Kiranjeet Kaur, Analis IDC, mengutip Reuters.
Apple mungkin sudah menjadi perusahaan yang too big to fail. Kejatuhan Apple akan menyeret perusahaan lain, bahkan pasar keuangan di negara lain, ke zona merah.
Sebab, iPhone saja merupakan produk yang melibatkan banyak perusahaan di berbagai negara. Oleh karena itu, koreksi pendapatan Apple sama dengan penurunan laba perusahaan-perusahaan lain di banyak negara.
Tekanan akibat keruntuhan Apple diperparah dengan rilis data ekonomi di AS. Indeks aktivitas industri manufaktur Negeri Paman Sam versi ISM pada Desember 2018 ada di 54,1. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 59,3. Penurunan 5,2 poin tersebut juga menjadi koreksi paling dalam sejak Oktober 2008.
Data ini semakin memberi kejelasan bahwa risiko perlambatan ekonomi global bukan sekadar mitos. Hal ini sudah tercermin dari berbagai rilis data ekonomi dari Asia hingga AS.
Melihat risiko yang begitu besar, investor memutuskan keluar mencari perlindungan di tempat aman. Salah satu investasi aman (safe haven) yang menjadi tujuan utama pelaku pasar adalah mata uang yen.
Tingginya permintaan terhadap yen membuat nilainya kembali menguat tajam. Pada pukul 04:50 WIB, yen menguat 1,13% di hadapan dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular