
Newsletter
Dalam Situasi yang Tidak Pasti, Cash is King
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 December 2018 04:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mampu perkasa, tetapi harga obligasi pemerintah mampu menguat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru melemah.
Sepanjang pekan kemarin, IHSG menguat 0,71% secara point-to-point. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif di mana indeks Nikkei 225 menguat 0,24%, Hang Seng bertambah 0,12%, Shanghai Composite minus 0,47%, Kospi berkurang 0,31%, Straits Times anjlok 1,09%, dan KLCI (Malaysia) amblas 1,1%.
Oleh karena itu, IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia pada pekan lalu. Performa yang cukup membanggakan.
Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik tipis 2,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya permintaan atau malah terjadi tekanan jual.
Seperti harga obligasi, rupiah juga mengalami koreksi. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point.
Sentimen global pekan lalu bisa dibilang seimbang, ada positif dan negatif. Berita baiknya adalah China dan AS semakin mesra setelah pembicaraan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan ini. Keduanya sepakat untuk mengadakan gencatan senjata selama 90 hari, tidak ada kenaikan atau pengenaan bea masuk baru.
China dikabarkan sudah mulai mengimpor kedelai dari AS. Negeri Tirai Bambu juga akan mengurangi tarif bea masuk impor mobil made in USA dari 40% menjadi 15%.
Washington tersentuh atas komitmen Beijing. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Trump bisa saja memperpanjang masa gencatan senjata.
"Proses dialog dengan China sangat menjanjikan. Bapak Presiden mengindikasikan bahwa ada perkembangan yang baik, positif, dan aksi konkret. Beliau mungkin saja, mungkin, berkenan untuk memperpanjang (masa gencatan senjata). Kita lihat saja," ungkap Kudlow, mengutip Reuters.
Namun di sisi lain, ada dua berita buruk. Pertama adalah sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Kedua, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang semakin runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan untuk menunda voting proposal Brexit di parlemen Negeri Ratu Elizabeth dari 11 Desember menjadi paling lambat 21 Januari 2019, karena khawatir mayoritas anggota legislatif menolak proposal tersebut.
May pun 'bergerilya' dengan menemui para pemimpin negara-negara Eropa untuk membahas kemungkinan renegosiasi proposal Brexit. Namun sepertinya Brussel kadung kecewa dan menutup pintu negosiasi ulang.
Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutarakan kekecewaannya karena Inggris datang dengan tangan hampa. Inggris tidak membawa ide apa pun, dan menyerahkan ke Uni Eropa untuk mengubah proposal Brexit.
"Saya merasa tidak nyaman ketika ada kesan bahwa Inggris datang dan meminta Uni Eropa untuk mengusulkan solusi. Ini adalah soal Inggris yang akan berpisah dengan Uni Eropa, seharusnya (ide solusi) lebih ke pemerintah Inggris," tegas Juncker, mengutip Reuters.
Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat, maka Inggris berisiko memperoleh No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu akan sangat berat bagi Inggris.
Sepanjang pekan kemarin, IHSG menguat 0,71% secara point-to-point. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif di mana indeks Nikkei 225 menguat 0,24%, Hang Seng bertambah 0,12%, Shanghai Composite minus 0,47%, Kospi berkurang 0,31%, Straits Times anjlok 1,09%, dan KLCI (Malaysia) amblas 1,1%.
Oleh karena itu, IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia pada pekan lalu. Performa yang cukup membanggakan.
Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik tipis 2,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya permintaan atau malah terjadi tekanan jual.
Seperti harga obligasi, rupiah juga mengalami koreksi. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point.
Sentimen global pekan lalu bisa dibilang seimbang, ada positif dan negatif. Berita baiknya adalah China dan AS semakin mesra setelah pembicaraan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan ini. Keduanya sepakat untuk mengadakan gencatan senjata selama 90 hari, tidak ada kenaikan atau pengenaan bea masuk baru.
China dikabarkan sudah mulai mengimpor kedelai dari AS. Negeri Tirai Bambu juga akan mengurangi tarif bea masuk impor mobil made in USA dari 40% menjadi 15%.
Washington tersentuh atas komitmen Beijing. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Trump bisa saja memperpanjang masa gencatan senjata.
"Proses dialog dengan China sangat menjanjikan. Bapak Presiden mengindikasikan bahwa ada perkembangan yang baik, positif, dan aksi konkret. Beliau mungkin saja, mungkin, berkenan untuk memperpanjang (masa gencatan senjata). Kita lihat saja," ungkap Kudlow, mengutip Reuters.
Namun di sisi lain, ada dua berita buruk. Pertama adalah sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Kedua, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang semakin runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan untuk menunda voting proposal Brexit di parlemen Negeri Ratu Elizabeth dari 11 Desember menjadi paling lambat 21 Januari 2019, karena khawatir mayoritas anggota legislatif menolak proposal tersebut.
May pun 'bergerilya' dengan menemui para pemimpin negara-negara Eropa untuk membahas kemungkinan renegosiasi proposal Brexit. Namun sepertinya Brussel kadung kecewa dan menutup pintu negosiasi ulang.
Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutarakan kekecewaannya karena Inggris datang dengan tangan hampa. Inggris tidak membawa ide apa pun, dan menyerahkan ke Uni Eropa untuk mengubah proposal Brexit.
"Saya merasa tidak nyaman ketika ada kesan bahwa Inggris datang dan meminta Uni Eropa untuk mengusulkan solusi. Ini adalah soal Inggris yang akan berpisah dengan Uni Eropa, seharusnya (ide solusi) lebih ke pemerintah Inggris," tegas Juncker, mengutip Reuters.
Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat, maka Inggris berisiko memperoleh No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu akan sangat berat bagi Inggris.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular