
Rupiah Terlemah Kedua di Asia Pekan Ini, Apa Penyebabnya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 December 2018 09:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan ini. Tingginya risiko di perekonomian global membuat mata uang Tanah Air terseret arus penguatan greenback yang terjadi secara global.
Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dolar AS pun kembali ke kisaran 14.500.
Dalam periode yang sama, berbagai mata uang utama Asia juga melemah. Yen Jepang melemah 0,58%, yuan China 0,46%, won Korea Selatan melemah 0,69%, dolar Singapura melemah 0,51%, dan ringgit Malaysia melemah 0,46%. Bahkan rupee India melemah di kisaran 1%.
Dengan begitu, rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia pekan ini. Rupiah hanya lebih baik dibandingkan rupee.
Berikut perubahan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia selama pekan lalu:
Memang sulit menandingi keperkasaan dolar AS yang menguat secara global. Selama minggu ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,96%, nyaris 1%. Dollar Index pun menyentuh angka 97.443, tertinggi sejak 12 November.
Cash is King
Investor kembali berpaling ke dolar AS seiring tingginya risiko di perekonomian global. Dalam situasi yang tidak menentu, memang paling aman adalah memegang uang tunai. Cash is king, dan itu adalah dolar AS yang berstatus sebagai aset aman (safe haven).
Sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan ini, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Risiko juga datang dari Inggris, karena proses perceraiannya dengan Uni Eropa (Brexit) yang semakin runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan untuk menunda voting proposal Brexit di parlemen Negeri Ratu Elizabeth dari 11 Desember menjadi paling lambat 21 Januari 2019, karena khawatir mayoritas anggota legislatif menolak proposal tersebut.
May pun 'bergerilya' dengan menemui para pemimpin negara-negara Eropa untuk membahas kemungkinan renegosiasi proposal Brexit. Namun sepertinya Brussel kadung kecewa dan menutup pintu negosiasi ulang.
Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutarakan kekecewaannya karena Inggris datang dengan tangan hampa. Inggris tidak membawa ide apa pun, dan menyerahkan ke Uni Eropa untuk mengubah proposal Brexit.
"Saya merasa tidak nyaman ketika ada kesan bahwa Inggris datang dan meminta Uni Eropa untuk mengusulkan solusi. Ini adalah soal Inggris yang akan berpisah dengan Uni Eropa, seharusnya (ide solusi) lebih ke pemerintah Inggris," tegas Juncker, mengutip Reuters.
Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat, maka Inggris berisiko memperoleh No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu akan sangat berat bagi Inggris.
Menurut kajian Bank Sentral Inggris (BoE), perekonomian Negeri John Bull bisa terkontraksi alias minus 8,5% jika No Deal Brexit terjadi. Lebih parah ketimbang saat krisis keuangan global pada 2008.
Tingginya risiko di perekonomian dunia membuat investor mau tidak mau memilih bermain aman. Aset-aset di negara berkembang mengalami aksi pelepasan, sehingga mata uang pun melemah. Rupiah menjadi salah satu korbannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dolar AS pun kembali ke kisaran 14.500.
Dengan begitu, rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia pekan ini. Rupiah hanya lebih baik dibandingkan rupee.
Berikut perubahan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia selama pekan lalu:
Memang sulit menandingi keperkasaan dolar AS yang menguat secara global. Selama minggu ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,96%, nyaris 1%. Dollar Index pun menyentuh angka 97.443, tertinggi sejak 12 November.
Cash is King
Investor kembali berpaling ke dolar AS seiring tingginya risiko di perekonomian global. Dalam situasi yang tidak menentu, memang paling aman adalah memegang uang tunai. Cash is king, dan itu adalah dolar AS yang berstatus sebagai aset aman (safe haven).
Sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan ini, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Risiko juga datang dari Inggris, karena proses perceraiannya dengan Uni Eropa (Brexit) yang semakin runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan untuk menunda voting proposal Brexit di parlemen Negeri Ratu Elizabeth dari 11 Desember menjadi paling lambat 21 Januari 2019, karena khawatir mayoritas anggota legislatif menolak proposal tersebut.
May pun 'bergerilya' dengan menemui para pemimpin negara-negara Eropa untuk membahas kemungkinan renegosiasi proposal Brexit. Namun sepertinya Brussel kadung kecewa dan menutup pintu negosiasi ulang.
Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutarakan kekecewaannya karena Inggris datang dengan tangan hampa. Inggris tidak membawa ide apa pun, dan menyerahkan ke Uni Eropa untuk mengubah proposal Brexit.
"Saya merasa tidak nyaman ketika ada kesan bahwa Inggris datang dan meminta Uni Eropa untuk mengusulkan solusi. Ini adalah soal Inggris yang akan berpisah dengan Uni Eropa, seharusnya (ide solusi) lebih ke pemerintah Inggris," tegas Juncker, mengutip Reuters.
Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat, maka Inggris berisiko memperoleh No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu akan sangat berat bagi Inggris.
Menurut kajian Bank Sentral Inggris (BoE), perekonomian Negeri John Bull bisa terkontraksi alias minus 8,5% jika No Deal Brexit terjadi. Lebih parah ketimbang saat krisis keuangan global pada 2008.
Tingginya risiko di perekonomian dunia membuat investor mau tidak mau memilih bermain aman. Aset-aset di negara berkembang mengalami aksi pelepasan, sehingga mata uang pun melemah. Rupiah menjadi salah satu korbannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular