
Newsletter
Kemarin Perang Dagang, Sekarang Damai Dagang
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 November 2018 05:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah, tetapi pasar obligasi pemerintah masih belum bosan melanjutkan reli.
Kemarin, IHSG ditutup minus 0,15%. Nasib IHSG serupa dengan bursa saham Asia yang mayoritas melemah. Hang Seng turun 0,17%, Shanghai Composite terkoreksi 0,04%, dan Straits Times berkurang 0,1%.
Sementara rupiah terdepresiasi 0,28% di hadapan dolar AS. Seperti di pasar saham, sebagian mata uang utama Asia pun melemah. Hanya saja, pelemahan rupiah adalah yang terdalam di antara mata uang Benua Kuning.
Namun hebatnya, pasar obligasi pemerintah masih terus bergairah. Imbal hasil (yield) di sebagian besar tenor masih turun, yang menandakan harga instrumen ini naik karena tingginya permintaan investor.
Situasi eksternal yang kurang kondusif menjadi penyebab koreksi bursa saham dan mata uang Asia. Semua bermuara di isu perang dagang AS vs China.
Investor melihat risiko perang dagang AS-China bisa kembali berkobar, meski Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu di sela-sela KTT G20 di Argentina sebentar lagi. Pasalnya, Trump masih bersikap galak terhadap China. Dalam wawancara dengan Wall Street Journal, Trump menyatakan masih mempertimbangkan pengenaan bea masuk baru bagi produk-produk Negeri Tirai Bambu.
"Satu-satunya cara mencapai kesepakatan adalah jika China membuka perekonomiannya kepada dunia, termasuk AS. Jika tidak ada kesepakatan, maka saya akan mengenakan (bea masuk) tambahan US$ 267 miliar," tegasnya.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak yakin Trump-Xi dapat mencapai kesepahaman di Buenos Aires. Jokowi berkaca pada pengalaman penyusunan komunike Kerja Sama Ekonomi Asa-Pasifik (APEC) yang berakhir buntu.
"Ini pertama kali dalam 29 tahun pertemuan gagal menghasilkan komunike, pernyataan bersama. Semoga ada keajaiban nanti di G20, meski feeling saya bilang mereka tidak bisa sepakat," ujar Jokowi.
Mendengar kabar ini, mental pelaku pasar langsung down. Tidak ada lagi keberanian untuk mengambil risiko dan bermain dengan aset-aset di negara berkembang.
Namun pasar obligasi masih mendapat angin segar dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Dalam acara Pertemuan Tahunan BI, Perry menyatakan posisi (stance) kebijakan moneter bank sentral pada 2019 masih preemtif dan ahead the curve.
Dengan tren suku bunga global yang masih naik pada 2019, stance tersebut bisa diartikan BI tidak mau ketinggalan. Apalagi Perry menegaskan bahwa fokus kebijakan moneter adalah stabilitas, sementara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan diserahkan kepada kebijakan makroprudensial.
Pelaku pasar membaca BI memberi sinyal akan ada rangkaian kenaikan suku bunga acuan lagi pada 2019. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi.
Didorong oleh misi pencarian cuan, investor terus berbondong-bondong masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hasilnya adalah yield tertekan dan harga melambung.
Kemarin, IHSG ditutup minus 0,15%. Nasib IHSG serupa dengan bursa saham Asia yang mayoritas melemah. Hang Seng turun 0,17%, Shanghai Composite terkoreksi 0,04%, dan Straits Times berkurang 0,1%.
Sementara rupiah terdepresiasi 0,28% di hadapan dolar AS. Seperti di pasar saham, sebagian mata uang utama Asia pun melemah. Hanya saja, pelemahan rupiah adalah yang terdalam di antara mata uang Benua Kuning.
Namun hebatnya, pasar obligasi pemerintah masih terus bergairah. Imbal hasil (yield) di sebagian besar tenor masih turun, yang menandakan harga instrumen ini naik karena tingginya permintaan investor.
Situasi eksternal yang kurang kondusif menjadi penyebab koreksi bursa saham dan mata uang Asia. Semua bermuara di isu perang dagang AS vs China.
Investor melihat risiko perang dagang AS-China bisa kembali berkobar, meski Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu di sela-sela KTT G20 di Argentina sebentar lagi. Pasalnya, Trump masih bersikap galak terhadap China. Dalam wawancara dengan Wall Street Journal, Trump menyatakan masih mempertimbangkan pengenaan bea masuk baru bagi produk-produk Negeri Tirai Bambu.
"Satu-satunya cara mencapai kesepakatan adalah jika China membuka perekonomiannya kepada dunia, termasuk AS. Jika tidak ada kesepakatan, maka saya akan mengenakan (bea masuk) tambahan US$ 267 miliar," tegasnya.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak yakin Trump-Xi dapat mencapai kesepahaman di Buenos Aires. Jokowi berkaca pada pengalaman penyusunan komunike Kerja Sama Ekonomi Asa-Pasifik (APEC) yang berakhir buntu.
"Ini pertama kali dalam 29 tahun pertemuan gagal menghasilkan komunike, pernyataan bersama. Semoga ada keajaiban nanti di G20, meski feeling saya bilang mereka tidak bisa sepakat," ujar Jokowi.
Mendengar kabar ini, mental pelaku pasar langsung down. Tidak ada lagi keberanian untuk mengambil risiko dan bermain dengan aset-aset di negara berkembang.
Namun pasar obligasi masih mendapat angin segar dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Dalam acara Pertemuan Tahunan BI, Perry menyatakan posisi (stance) kebijakan moneter bank sentral pada 2019 masih preemtif dan ahead the curve.
Dengan tren suku bunga global yang masih naik pada 2019, stance tersebut bisa diartikan BI tidak mau ketinggalan. Apalagi Perry menegaskan bahwa fokus kebijakan moneter adalah stabilitas, sementara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan diserahkan kepada kebijakan makroprudensial.
Pelaku pasar membaca BI memberi sinyal akan ada rangkaian kenaikan suku bunga acuan lagi pada 2019. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi.
Didorong oleh misi pencarian cuan, investor terus berbondong-bondong masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hasilnya adalah yield tertekan dan harga melambung.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Most Popular