
Newsletter
Gara-gara Minyak dan CPO, IHSG Siap Menguat?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 November 2018 05:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Performa pasar keuangan Indonesia bisa dibilang cemerlang pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan pasar obligasi pemerintah seluruhnya mencatat penguatan.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,28%. Perjalanan IHSG bak roller coaster, naik-turun dengan interval yang cepat. IHSG juga bolak-balik masuk ke zona merah dan hijau.
IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga menguat. Nikkei 225 naik 0,76%, Hang Seng melonjak 1,73%, Kospi melesat 1,24%, dan Straits Times melompat 1,34%. Hanya saja, Shanghai Composite melemah tipis 0,14%.
Sementara rupiah berakhir dengan penguatan 0,45% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Seperti IHSG, rupiah juga sempat merasakan pelemahan meski hanya sebentar. Jelang tengah hari, rupiah sudah stabil menguat bahkan semakin tajam.
Apresiasi 0,45% sudah cukup membawa rupiah menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Mata uang utama Benua Kuning juga hampir semua menguat terhadap greenback, tetapi tidak ada yang sebaik rupiah.
Obligasi pemerintah juga masih mencetak reli yang bertahan hampir sebulan. Imbal hasil (yield) instrumen ini terus turun, pertanda harga sedang naik karena tingginya permintaan.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 1 basis poin (bps). Kemudian tenor 15 tahun turun 1,9 bps, tenor 20 tahun turun 1,7 bps, tenor 25 tahun turun 1 bps, dan tenor 30 tahun turun 3 bps.
Situasi memang tengah kondusif bagi pasar keuangan Asia. Kabar baik dari Eropa terbukti ampuh mendongrak risk appetite pelaku pasar sehingga tidak ada istilah bermain aman.
Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May. PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kemudian dari Italia, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
"Saya rasa tidak ada yang kaku. Jika tujuannya adalah membuat ekonomi negara ini tumbuh, maka (defisit) bisa saja 2,2% atau 2,6%. Masalahnya bukan desimal, tetapi yang penting serius dan konkret," tutur Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, dikutip dari Reuters.
Dua kabar gembira dari Eropa itu membuat investor berbunga-bunga. Setidaknya dua risiko besar yaitu Brexit dan fiskal Italia bisa dikesampingkan, sehingga bukan lagi saatnya bermain aman.
Selain itu, performa apik pasar keuangan Asia juga didukung oleh perkembangan di AS yang kurang oke. Data ekonomi Negeri Paman Sam lagi-lagi agak mengecewakan.
Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur AS periode November 2018 adalah 55,4. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.
Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa laju ekonomi AS tidak secepat yang dibayangkan. Masih ada riak-riak yang menunjukkan perlambatan, sehingga mengurangi kebutuhan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Bila The Fed benar-benar mengurangi kecepatan kenaikan suku bunga acuan, maka akan menjadi sentimen negatif buat dolar AS, yang menjadi instrumen safe haven. Selama ini penguatan greenback ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan, yang ikut mengerek imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya.
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah.
Investor sepertinya memberi apresiasi kepada emiten ritel (baik toko fisik maupun online) karena peningkatan penjualan pada hari Thanksgiving alias Black Friday. Ini adalah kick-off musim belanja di Negeri Paman Sam, di mana berbagai toko memberikan diskon gila-gilaan yang membuat konsumen ikut menggila.
Saham peritel Target melonjak 2,82%, Macy's lompat 1,72%, Home Depot naik 0,57%, dan Lowe's Companies melesat 1,71%. Peritel online menikmati apresiasi yang lebih besar, di mana Amazon meroket 5,28%.
Menurut US National Retail Federation, Black Fiday tahun ini diperkirakan menghasilkan transaksi lebih dari US$ 6 miliar, naik 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara untuk total musim belanja November-Desember tahun ini diperkirakan mampu meraup transaksi US$ 720,89 miliar.
Bagi mereka yang melewatkan Black Friday, kini ada istilah baru yaitu Cyber Monday. Orang-orang yang tidak tahan berdesak-desakan atau mengantre sampai mendirikan tenda di depan toko kini bisa berbelanja secara online, seperti di Amazon.
Menurut lembaga riset Planalytics, akan ada 75 juta pelanggan yang akan berbelanja dalam Cyber Monday. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 7,8 miliar.
Namun untuk menghadapi Cyber Monday yang super sibuk, peritel harus benar-benar siap. Koneksi harus dipastikan selalu aman, jangan sampai ada gangguan di infrastruktur jaringan.
Traffic yang tinggi tentu berpotensi membuat server menjadi bermasalah, dan ini harus dihindari demi kenyamanan konsumen. Hal ini sempat dialami oleh peritel alat-alat olahraga Lululemon dan penjual keperluan rumah tangga Lowe's Companies.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street, yang memberikan angin segar. Optimisme Wall Street diharapkan menular sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah hawa suku bunga tinggi semakin terasa. Tidak hanya di AS, Eropa pun sudah melakukan ancang-ancang untuk mengetatkan kebijakan moneter.
Mario Draghi, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB), kembali menegaskan akan mengakhiri stimulus moneter pada Desember tahun ini. Dia juga menyebutkan bahwa inflasi di Benua Biru mulai terakselerasi.
"Dewan Gubernur terus mengantisipasi bahwa pembelian aset bersih (net asset purchases) akan berakhir pada Desember 2018. Ada alasan yang bagus untuk percaya diri bahwa inflasi akan meningkat secara bertahap pada periode ke depan," kata Draghi, mengutip Reuters.
Pasar memperkirakan ECB akan mulai menaikkan suku bunga acuan paling cepat musim panas (tengah tahun) 2019. Sedangkan The Fed diramal menaikkan suku bunga acuan setidaknya tiga kali tahun depan. Selamat datang di era suku bunga tinggi.
Investor yang bersiap-siap menghadapi 2019 tentu mulai menyesuaikan portofolionya. Periode penyesuaian ini bisa agak menyakitkan, karena akan ada pelepasan terhadap beberapa aset yang dinilai kurang cantik. Jika aset-aset di Indonesia adalah salah satunya, maka akan terjadi tekanan di pasar keuangan domestik.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang bangkit setelah kemarin di-bully habis-habisan. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,18%.
Dolar AS mendapat angin dari pernyataan Draghi. Selain menyebut stimulus moneter akan berakhir, Draghi juga menyatakan ada risiko perlambatan ekonomi di Eropa.
"Perlambatan ekonomi secara bertahap adalah sesuatu yang normal ketika ekspansi sudah mencapai tahap matang dan pertumbuhan ekonomi bergerak sesuai dengan potensialnya. Perlambatan juga bisa bersifat sementara," kata Draghi, mengutip Reuters.
Pernyataan Draghi membuat euro melemah. Pelemahan euro melapangkan jalan bagi dolar AS untuk menguat.
Apabila penguatan dolar AS bertahan, maka akan menjadi sinyal bahaya bagi rupiah dkk di Asia. Akan sedikit sulit untuk mengulang prestasi seperti kemarin.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat adalah harga minyak dunia yang belum berhenti menguat sejak kemarin. Pada pukul 05:09 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2,86% dan light sweet melesat 2,3%. Kemarin, harga si emas hitam naik di kisaran 1%.
Namun pelaku pasar menilai kenaikan ini masih belum stabil, mengingat harga minyak pernah anjlok sampai 6% dalam sehari. Secara fundamental, masih ada faktor besar yang akan kembali menarik harga minyak ke bawah.
Potensi kelebihan pasokan (oversupply) masih menghantui. Mengutip Reuters, produksi minyak di Arab Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi. Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga memperkirakan akan ada kelebihan pasokan sekitar 1,4 juta barel/hari pada 2019.
Meski begitu, lonjakan harga minyak yang sudah terjadi 2 hari beruntun akan menjadi sentimen positif bagi saham-saham migas seperti MEDC, ENRG, atau ELSA. Saat saham-saham pertambangan dan energi naik, diharapkan bisa ikut mengatrol IHSG secara keseluruhan.
Akan tetapi, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas tenti akan ikut membengkak. Hasilnya adalah defisit neraca migas semakin dalam dan sangat membebani transaksi berjalan (current account).
Apabila defisit transaksi berjalan semakin parah gara-gara neraca migas, maka rupiah akan sulit menguat. Sebab pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa menjadi minim cenderung kurang.
Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah keputusan pemerintah mengubah pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari US$ 50/ton menjadi nol. Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, saat ini harga CPO terus mengalami penurunan dan berdampak sangat buruk bagi industri.
"Diputuskan untuk dinolkan dulu. Kalau nanti harga membaik sampai US$ 500/ton kita akan kenakan tapi belum penuh," kata Darmin.
Kabar ini dapat menjadi sentimen positif bagi indeks saham agrikultur. Dihapuskannya pungutan ekspor CPO (palm levy) diharapkan dapat menggenjot performa ekspor komoditas ini.
Dengan adanya kebijakan terbaru dari pemerintah, performa ekspor CPO Indonesia masih akan terjaga ke depannya. Tentu saja hal ini akan mencegah tergerusnya kinerja keuangan emiten CPO lebih jauh lagi.
Kenaikan harga minyak dan keputusan peniadaan palm levy bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Apakah IHSG mampu mengulangi pencapaian kemarin? Menarik untuk dinantikan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,28%. Perjalanan IHSG bak roller coaster, naik-turun dengan interval yang cepat. IHSG juga bolak-balik masuk ke zona merah dan hijau.
IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga menguat. Nikkei 225 naik 0,76%, Hang Seng melonjak 1,73%, Kospi melesat 1,24%, dan Straits Times melompat 1,34%. Hanya saja, Shanghai Composite melemah tipis 0,14%.
Sementara rupiah berakhir dengan penguatan 0,45% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Seperti IHSG, rupiah juga sempat merasakan pelemahan meski hanya sebentar. Jelang tengah hari, rupiah sudah stabil menguat bahkan semakin tajam.
Apresiasi 0,45% sudah cukup membawa rupiah menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. Mata uang utama Benua Kuning juga hampir semua menguat terhadap greenback, tetapi tidak ada yang sebaik rupiah.
Obligasi pemerintah juga masih mencetak reli yang bertahan hampir sebulan. Imbal hasil (yield) instrumen ini terus turun, pertanda harga sedang naik karena tingginya permintaan.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 1 basis poin (bps). Kemudian tenor 15 tahun turun 1,9 bps, tenor 20 tahun turun 1,7 bps, tenor 25 tahun turun 1 bps, dan tenor 30 tahun turun 3 bps.
Situasi memang tengah kondusif bagi pasar keuangan Asia. Kabar baik dari Eropa terbukti ampuh mendongrak risk appetite pelaku pasar sehingga tidak ada istilah bermain aman.
Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draft perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May. PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kemudian dari Italia, pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
"Saya rasa tidak ada yang kaku. Jika tujuannya adalah membuat ekonomi negara ini tumbuh, maka (defisit) bisa saja 2,2% atau 2,6%. Masalahnya bukan desimal, tetapi yang penting serius dan konkret," tutur Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, dikutip dari Reuters.
Dua kabar gembira dari Eropa itu membuat investor berbunga-bunga. Setidaknya dua risiko besar yaitu Brexit dan fiskal Italia bisa dikesampingkan, sehingga bukan lagi saatnya bermain aman.
Selain itu, performa apik pasar keuangan Asia juga didukung oleh perkembangan di AS yang kurang oke. Data ekonomi Negeri Paman Sam lagi-lagi agak mengecewakan.
Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur AS periode November 2018 adalah 55,4. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.
Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa laju ekonomi AS tidak secepat yang dibayangkan. Masih ada riak-riak yang menunjukkan perlambatan, sehingga mengurangi kebutuhan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Bila The Fed benar-benar mengurangi kecepatan kenaikan suku bunga acuan, maka akan menjadi sentimen negatif buat dolar AS, yang menjadi instrumen safe haven. Selama ini penguatan greenback ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan, yang ikut mengerek imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya.
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama meroket pada perdagangan awal pekan ini. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melambung 1,46%, S&P 500 lompat 1,55%, dan Nasdaq Composite melesat 2,06%. Investor sepertinya memberi apresiasi kepada emiten ritel (baik toko fisik maupun online) karena peningkatan penjualan pada hari Thanksgiving alias Black Friday. Ini adalah kick-off musim belanja di Negeri Paman Sam, di mana berbagai toko memberikan diskon gila-gilaan yang membuat konsumen ikut menggila.
Saham peritel Target melonjak 2,82%, Macy's lompat 1,72%, Home Depot naik 0,57%, dan Lowe's Companies melesat 1,71%. Peritel online menikmati apresiasi yang lebih besar, di mana Amazon meroket 5,28%.
Menurut US National Retail Federation, Black Fiday tahun ini diperkirakan menghasilkan transaksi lebih dari US$ 6 miliar, naik 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara untuk total musim belanja November-Desember tahun ini diperkirakan mampu meraup transaksi US$ 720,89 miliar.
Bagi mereka yang melewatkan Black Friday, kini ada istilah baru yaitu Cyber Monday. Orang-orang yang tidak tahan berdesak-desakan atau mengantre sampai mendirikan tenda di depan toko kini bisa berbelanja secara online, seperti di Amazon.
Menurut lembaga riset Planalytics, akan ada 75 juta pelanggan yang akan berbelanja dalam Cyber Monday. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$ 7,8 miliar.
Namun untuk menghadapi Cyber Monday yang super sibuk, peritel harus benar-benar siap. Koneksi harus dipastikan selalu aman, jangan sampai ada gangguan di infrastruktur jaringan.
Traffic yang tinggi tentu berpotensi membuat server menjadi bermasalah, dan ini harus dihindari demi kenyamanan konsumen. Hal ini sempat dialami oleh peritel alat-alat olahraga Lululemon dan penjual keperluan rumah tangga Lowe's Companies.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street, yang memberikan angin segar. Optimisme Wall Street diharapkan menular sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah hawa suku bunga tinggi semakin terasa. Tidak hanya di AS, Eropa pun sudah melakukan ancang-ancang untuk mengetatkan kebijakan moneter.
Mario Draghi, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB), kembali menegaskan akan mengakhiri stimulus moneter pada Desember tahun ini. Dia juga menyebutkan bahwa inflasi di Benua Biru mulai terakselerasi.
"Dewan Gubernur terus mengantisipasi bahwa pembelian aset bersih (net asset purchases) akan berakhir pada Desember 2018. Ada alasan yang bagus untuk percaya diri bahwa inflasi akan meningkat secara bertahap pada periode ke depan," kata Draghi, mengutip Reuters.
Pasar memperkirakan ECB akan mulai menaikkan suku bunga acuan paling cepat musim panas (tengah tahun) 2019. Sedangkan The Fed diramal menaikkan suku bunga acuan setidaknya tiga kali tahun depan. Selamat datang di era suku bunga tinggi.
Investor yang bersiap-siap menghadapi 2019 tentu mulai menyesuaikan portofolionya. Periode penyesuaian ini bisa agak menyakitkan, karena akan ada pelepasan terhadap beberapa aset yang dinilai kurang cantik. Jika aset-aset di Indonesia adalah salah satunya, maka akan terjadi tekanan di pasar keuangan domestik.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang bangkit setelah kemarin di-bully habis-habisan. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,18%.
Dolar AS mendapat angin dari pernyataan Draghi. Selain menyebut stimulus moneter akan berakhir, Draghi juga menyatakan ada risiko perlambatan ekonomi di Eropa.
"Perlambatan ekonomi secara bertahap adalah sesuatu yang normal ketika ekspansi sudah mencapai tahap matang dan pertumbuhan ekonomi bergerak sesuai dengan potensialnya. Perlambatan juga bisa bersifat sementara," kata Draghi, mengutip Reuters.
Pernyataan Draghi membuat euro melemah. Pelemahan euro melapangkan jalan bagi dolar AS untuk menguat.
Apabila penguatan dolar AS bertahan, maka akan menjadi sinyal bahaya bagi rupiah dkk di Asia. Akan sedikit sulit untuk mengulang prestasi seperti kemarin.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat adalah harga minyak dunia yang belum berhenti menguat sejak kemarin. Pada pukul 05:09 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2,86% dan light sweet melesat 2,3%. Kemarin, harga si emas hitam naik di kisaran 1%.
Namun pelaku pasar menilai kenaikan ini masih belum stabil, mengingat harga minyak pernah anjlok sampai 6% dalam sehari. Secara fundamental, masih ada faktor besar yang akan kembali menarik harga minyak ke bawah.
Potensi kelebihan pasokan (oversupply) masih menghantui. Mengutip Reuters, produksi minyak di Arab Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi. Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga memperkirakan akan ada kelebihan pasokan sekitar 1,4 juta barel/hari pada 2019.
Meski begitu, lonjakan harga minyak yang sudah terjadi 2 hari beruntun akan menjadi sentimen positif bagi saham-saham migas seperti MEDC, ENRG, atau ELSA. Saat saham-saham pertambangan dan energi naik, diharapkan bisa ikut mengatrol IHSG secara keseluruhan.
Akan tetapi, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Saat harga minyak naik, maka biaya impor migas tenti akan ikut membengkak. Hasilnya adalah defisit neraca migas semakin dalam dan sangat membebani transaksi berjalan (current account).
Apabila defisit transaksi berjalan semakin parah gara-gara neraca migas, maka rupiah akan sulit menguat. Sebab pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa menjadi minim cenderung kurang.
Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah keputusan pemerintah mengubah pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari US$ 50/ton menjadi nol. Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, saat ini harga CPO terus mengalami penurunan dan berdampak sangat buruk bagi industri.
"Diputuskan untuk dinolkan dulu. Kalau nanti harga membaik sampai US$ 500/ton kita akan kenakan tapi belum penuh," kata Darmin.
Kabar ini dapat menjadi sentimen positif bagi indeks saham agrikultur. Dihapuskannya pungutan ekspor CPO (palm levy) diharapkan dapat menggenjot performa ekspor komoditas ini.
Dengan adanya kebijakan terbaru dari pemerintah, performa ekspor CPO Indonesia masih akan terjaga ke depannya. Tentu saja hal ini akan mencegah tergerusnya kinerja keuangan emiten CPO lebih jauh lagi.
Kenaikan harga minyak dan keputusan peniadaan palm levy bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Apakah IHSG mampu mengulangi pencapaian kemarin? Menarik untuk dinantikan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data inflasi inti Bank of Japan periode November 2018 (12:00 WIB).
- Rilis data indeks keyakinan konsumen AS versi The Conference Board periode November 2018 (22:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu (WIB) |
PT Indosat Tbk (ISAT) | Rilis Laporan Keuangan Kuartal-III 2018 | Tentatif |
PT Merck Tbk (MERK) | RUPSLB | 10:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Oktober 2018 YoY) | 3,16% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2018) | US$ 115,16 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular