
Newsletter
Duh, Data Ekonomi AS Kinclong Lagi...
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 October 2018 05:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan yang signifikan pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah melonjak.
Kemarin, IHSG ditutup amblas 1,89%. Sementara rupiah melemah 0,63% terhadap greenback dan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun melompat 14,6 basis poin (bps).
Sentimen eksternal yang menekan pasar keuangan Indonesia adalah derasnya aliran modal ke AS. Investor kembali bernafsu untuk masuk ke Negeri Paman Sam seiring kinclongnya data-data ekonomi di sana.
Berdasarkan survei ADP, perekonomian AS menciptakan 230.000 lapangan kerja sepanjang September. Ini adalah angka tertinggi sejak Februari.
Kemudian survei Institute of Supply Management (ISM) menyebutkan indeks aktivitas non-manufaktur pada September sebesar 61,6 atau naik 3,1 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 1997.
Pencapaian ini menunjukkan ada potensi peningkatan permintaan. Jika tidak direm, maka akan menimbulkan overheating alias pertumbuhan permintaan yang terlalu kencang dan tidak bisa diimbangi oleh penawaran. Akan tercipta inflasi yang sebenarnya tidak perlu.
Cara paling efektif untuk menekan permintaan adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Melihat prospek permintaan di AS yang terus meningkat, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga secara gradual.
Kenaikan suku bunga acuan memang bertujuan untuk mengerem permintaan. Namun efek sampingnya adalah membuat imbalan berinvestasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap, akan naik.
Akibatnya arus modal tersedot ke AS karena investor ingin mencari cuan. Aset-aset di negara berkembang pun ditanggalkan, termasuk di Indonesia.
Sedangkan dari dalam negeri, sentimen negatif yang meliputi pasar adalah prospek suram transaksi perdagangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit transaksi berjalan pada akhir 2018 cukup dalam yaitu di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Proyeksi ini membuat pasar cemas. Dengan defisit transaksi berjalan yang dalam, rupiah tentu tidak punya modal untuk menguat karena kekurangan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Sebab sumber devisa lainnya yaitu dari pasar keuangan juga seret cenderung minus karena arus modal tersedot ke Negeri Paman Sam.
Jika defisit transaksi berjalan masih besar, setidaknya sampai akhir tahun, maka rupiah berpotensi melemah sepanjang 2018. Ini tentu bukan kabar baik. Investor mana yang mau mengoleksi aset yang nilainya ke depan akan turun?
Prospek rupiah yang kurang menggembirakan membuat aset-aset berbasis mata uang ini terkena tekanan jual. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 1,16 triliun.
NEXT
Kemarin, IHSG ditutup amblas 1,89%. Sementara rupiah melemah 0,63% terhadap greenback dan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun melompat 14,6 basis poin (bps).
Sentimen eksternal yang menekan pasar keuangan Indonesia adalah derasnya aliran modal ke AS. Investor kembali bernafsu untuk masuk ke Negeri Paman Sam seiring kinclongnya data-data ekonomi di sana.
Berdasarkan survei ADP, perekonomian AS menciptakan 230.000 lapangan kerja sepanjang September. Ini adalah angka tertinggi sejak Februari.
Kemudian survei Institute of Supply Management (ISM) menyebutkan indeks aktivitas non-manufaktur pada September sebesar 61,6 atau naik 3,1 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 1997.
Pencapaian ini menunjukkan ada potensi peningkatan permintaan. Jika tidak direm, maka akan menimbulkan overheating alias pertumbuhan permintaan yang terlalu kencang dan tidak bisa diimbangi oleh penawaran. Akan tercipta inflasi yang sebenarnya tidak perlu.
Cara paling efektif untuk menekan permintaan adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Melihat prospek permintaan di AS yang terus meningkat, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga secara gradual.
Kenaikan suku bunga acuan memang bertujuan untuk mengerem permintaan. Namun efek sampingnya adalah membuat imbalan berinvestasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap, akan naik.
Akibatnya arus modal tersedot ke AS karena investor ingin mencari cuan. Aset-aset di negara berkembang pun ditanggalkan, termasuk di Indonesia.
Sedangkan dari dalam negeri, sentimen negatif yang meliputi pasar adalah prospek suram transaksi perdagangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit transaksi berjalan pada akhir 2018 cukup dalam yaitu di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Proyeksi ini membuat pasar cemas. Dengan defisit transaksi berjalan yang dalam, rupiah tentu tidak punya modal untuk menguat karena kekurangan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Sebab sumber devisa lainnya yaitu dari pasar keuangan juga seret cenderung minus karena arus modal tersedot ke Negeri Paman Sam.
Jika defisit transaksi berjalan masih besar, setidaknya sampai akhir tahun, maka rupiah berpotensi melemah sepanjang 2018. Ini tentu bukan kabar baik. Investor mana yang mau mengoleksi aset yang nilainya ke depan akan turun?
Prospek rupiah yang kurang menggembirakan membuat aset-aset berbasis mata uang ini terkena tekanan jual. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 1,16 triliun.
NEXT
Next Page
Yiel Obligasi Naik, Wall Street Turun
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular