Ini yang Bikin Sri Lanka Chaos, Semoga Tak Terjadi di RI

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
11 July 2022 16:14
SRI LANKA-CRISIS/
Foto: REUTERS/DINUKA LIYANAWATTE

Jakarta, CNBC Indonesia - Sril Lanka dilanda krisis akibat pembengkakan utang dan inflasi yang meroket. Bahkan Ranil wickremesinghe, Perdana Menteri Sri Lanka, memperkirakan krisis ini akan berlangsung hingga 2023. Mengapa bisa demikian?

Dikenal sebagai Mutiara Samudera Hindia, pantas Sri Lanka menempatkan sektor pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi. Sektor pariwisata telah berkembang pesat dari waktu ke dan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi negara itu.

Pariwisata Sri Lanka menyumbang US$ 4,4 miliar bagi ekonomi Sri Lanka dan berkontribusi pada 5,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara pada 2018.

Menilik ke belakang, pada tahun 1960-an sektor pariwisata sudah mulai digenjot dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, bandara, dan pembangunan hotel baru. Kemudian pada akhir 1970-an seiring dengan liberalisasi negara itu masuklah investasi besar-besaran yang makin memperkokoh industri pariwisata.

Dalam perjalanannya, pertumbuhan pariwisata Sri Lanka pun mandek karena perang saudara selama 26 tahun. Perang berakhir pada 2009, tapi keadaan ekonomi dunia yang tidak stabil saat itu masih membuat industri pariwisata tidak berkembang.

Setahun kemudian, pariwisata kembali bergairah. Pendapatan dari sektor ini meningkat jadi yang tertinggi dalam dekade awal abad 21.

Lalu terus bertumbuh hingga mencapai puncak pada 2018. Saat itu pendapatan dari turis mencapai US$ 4.381 juta. Nilainya pun tumbuh 16 kali lipat dari tahun 200 yang hanya US$ 252 juta.

Pendapatan dari PariwisataSumber: Bank Sentral Sri Lanka

Sayangnya serangan teroris yang dikenal dengan Bom Minggu Paskah pada April 2009 kemudian jadi awal runtuhnya hegemoni pariwisata Sri Lanka. Serangan di ibu kota Kolombo menewaskan 250 orang, di mana 42 di antaranya adalah warga negara asing.

Setelah insiden itu negara-negara di dunia menerbitkan travel advisories untuk memperingatkan warganya tidak mengunjungi Sri Lanka. Akibatnya jumlah turis turun lebih dari 70% pada Mei 2019 dan lebih dari 60% pada bulan berikutnya.

Bak jatuh tertimpa tangga, penyebaran virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat sektor pariwisata mati suri karena kebijakan lockdown di berbagai negara. Akibatnya Sri Lanka sepi pelancong.

Makin buruk setelah konflik Rusia dan Ukraina pecah menjadi adu kuat militer. Ditambah dengan ancaman krisis energi Eropa yang bisa menutup keran untuk berwisata ke luar negeri.

Padahal negara-negara dari Eropa seperti Rusia, Ukraina, Polandia, dan Belarusia menyumbang seperempat lebih turis yang datang ke Sri Lanka. Penyokong pendapatan Sri Lanka pun runtuh.

Analis mengatakan bahwa keputusan ekonomi yang keliru jadi biang kerok krisis Sri Lanka yang terjadi. Besarnya pengeluaran dibanding pendapatan dan produksi barang serta jasa yang tidak optimal jadi yang paling disalahkan.

Situasi ini diperparah dengan pemotongan pajak besar-besaran yang diberlakukan oleh pemerintah Rajapaksa segera setelah mulai menjabat pada 2019. Menteri Keuangan Ali Sabry mengatakan ini kehilangan pendapatan pemerintah lebih dari $ 1,4 miliar (£ 1,13 miliar) setahun.

Beberapa bulan kemudian, pandemi COVID-19 melanda. Hal itu menghapus sebagian besar basis pendapatan Sri Lanka, terutama dari industri pariwisata yang menguntungkan, sementara pengiriman uang dari warga negara yang bekerja di luar negeri turun dan lebih lanjut dilemahkan oleh nilai tukar mata uang asing yang tidak fleksibel.

Lembaga pemeringkat prihatin dengan keuangan pemerintah dan ketidakmampuan untuk membayar utang luar negeri yang besar, Sehingga menurunkan peringkat kredit Sri Lanka dari 2020 dan seterusnya. Akibatnya Sri Lanka cukup sulit untuk mencari utang.

Untuk menjaga perekonomian tetap bertahan, pemerintah sangat bergantung pada cadangan devisanya, mengikisnya lebih dari 70% dalam dua tahun. Hal ini membuat Sri Lanka tidak memiliki cukup mata uang asing untuk membayar impor termasuk bakar dan solar. Pemerintah terpaksa menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) ke masyarakat biasa hingga 10 Juli kemarin.

Pada 4 Juli 2022, Menteri Energi Sri Lanka, Kanchana Wijesekera, mengeluarkan peringatan atas stok bahan bakar negara yang mengatakan hanya ada cukup bensin yang tersisa untuk kurang dari satu hari di bawah permintaan reguler, dengan pengiriman berikutnya tidak akan jatuh tempo selama dua minggu lagi.

Ditambah dengan harga minyak mentah dunia yang meroket membuat harga BBM dalam negeri pun juga melambung. Akibatnya inflasi Sri Lanka telah menyentuh rekor 54,6% pada Juni 2022, sementara khusus untuk inflasi makanan meningkat hingga 80,1%.

Kesalahan lainnya adalah meskipun ekonomi memburuk, pemerintah Sri Lanka menunda pembicaraan dengan Dana Moneter Dunia (IMF). Sebenarnya pemerintahan itu juga sudah didesak oleh para pakar ekonomi, tetapi bergeming. Membuat langkah penyelamatan menjadi lambat karena mengharapkan pariwisata bangkit.

Harga Bensin Sri LankaSumber: BBC

Akhirnya, pemerintah sadar krisis sedang terjadi. Pemerintah mencari bantuan (pinjaman) ke negara-negara seperti China. Pada akhirnya menjadi senjata makan tuan karena asetnya terancam hilang karena ketidakmampuan membayar utang.

China telah melakukan intervensi secara lebih terbuka tetapi mengatakan pihaknya mendukung upaya negara kepulauan itu untuk merestrukturisasi utang. Sebelumnya pada tahun 2022, Rajapaksa meminta China untuk merestrukturisasi pembayaran utang sekitar $3,5 miliar kepada Beijing, yang pada akhir tahun 2021 juga memberi Sri Lanka fasilitas swap dalam mata uang $1,5 miliar.

Mengutip BBC, utang Sril Lanka mencapai US$ 51 miliar dengan utang yang harus dibayar tahun ini sebesar US$ 7 miliar. Pemerintah sedang mencari pinjaman darurat US$ 3 miliar dari IMF untuk menutup kurang bayar.

Bank Dunia telah setuju untuk meminjamkan Sri Lanka US$600 juta. Sementara Kelompok negara-negara industri terkemuka G7 - Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS - telah mengatakan mereka akan memberikan bantuan kepada Sri Lanka dalam mengamankan keringanan utang.

India telah berkomitmen US$ 1,9 miliar dan mungkin meminjamkan tambahan US$ 1,5 miliar untuk impor. Sri Lanka berutang US$ 6,5 miliar ke China dan keduanya sedang dalam pembicaraan tentang bagaimana merestrukturisasi utang.

Masuklah Sri Lanka ke pusaran utang yang besar karena mata uang negara ini juga makin tidak berharga di hadapan dolar Amerika Serikat.

Utang Sri LankaSumber: Aljazeera

Sektor tekstil jadi andalan Sri Lanka untuk mampu menopang ekonomi karena menyumbang lebih dari 40% dari total ekspor Sri Lanka. Forum Asosiasi Pakaian Gabungan Sri Lanka (JAAF), yang merupakan badan perdagangan yang mewakili produsen garmen di negara itu, memuji ketahanan sektor ini dalam beberapa bulan terakhir dengan pakaian jadi menghasilkan US$446 juta pada Mei 2022, dibandingkan dengan US$344 juta pada Mei 2021.

Sekretaris Jenderal JAAF, Yohan Lawrence mengatakan: "Kami masih berharap untuk mencapai target sektor sebesar US$6 miliar pada akhir tahun 2022, tetapi kami mengakui bahwa ada hambatan signifikan di depan yang harus kami atasi terlebih dahulu. Oleh karena itu, penting bahwa semua dukungan yang mungkin diberikan kepada sektor ini untuk terus beroperasi."

Namun, Dr Sheng Lu, profesor studi mode dan pakaian jadi di University of Delaware mengatakan kepada Just Style secara eksklusif bahwa sektor pakaian jadi berorientasi ekspor memainkan peran penting dalam perekonomian Sri Lanka. Akan tetapi gejolak ekonomi dan ketidakstabilan politik negara baru-baru ini dapat berdampak negatif terhadap ekspor pakaian jadi Sri Lanka.

"Beberapa merek dan pengecer mode Barat telah mulai memindahkan pesanan dari Sri Lanka ke negara-negara terdekat lainnya untuk mengurangi risiko. Selain itu, produksi garmen Sri Lanka sangat bergantung pada tekstil impor. Seiring dengan berlanjutnya krisis keuangan, semakin mengkhawatirkan bahwa pabrik garmen di Sri Lanka mungkin tidak mampu membeli bahan baku tekstil yang dibutuhkan dan memenuhi pesanan sumber."

Selama puncak pandemi, ekspor pakaian Sri Lanka turun tajam. Lockdown memukul produksi dan pembatalan pesanan tinggi. Ekspor turun menjadi 24% lebih menjadi US$ 3,93 miliar.

Melewati 2021, sektor tekstil mampu menunjukkan ketahanannya. Forum Asosiasi Pakaian Gabungan Sri Lanka (JAAF), yakin ekspor pakaian naik menjadi US$ 487,6 juta. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun.

Namun, setelah pecahnya konflik Rusia atau Ukraina membuat ekonomi Sri Lanka menjadi goyang. Cadangan mata uang asing runtuh hingga di bawah US$50 juta.

Dengan inflasi tahunan sekarang melebihi 29% (naik dari 18,7% pada Maret) dan pemadaman listrik harian yang berlangsung setidaknya tiga jam di tengah kekurangan bahan bakar, produsen pakaian mulai menderita. Gangguan yang dialami para produsen tekstil, membuat kinerja industri tersebut turun.

Pendapatan ekspor di sektor pakaian Sri Lanka untuk periode Juni hingga Agustus dilaporkan akan turun sebesar 20-25%, dengan sektor tersebut kemungkinan akan kehilangan target ekspor sebesar US$6 miliar untuk tahun ini.

Kekurangan bahan bakar di Sri Lanka menimbulkan kekhawatiran di kalangan eksportir pakaian jadi, yang sudah berada di bawah tekanan akibat krisis ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular