Sri Lanka "Sakit Parah"! Suku Bunga Naik 100 Bps Jadi Obat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 July 2022 13:35
Sri Lanka Economic Crisis
Foto: AP/Eranga Jayawardena

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Sri Lanka (Central Bank of Sri Lanka/CBSL) mengambil langkah agresif guna meredam kenaikan inflasi. Seperti diketahui negara di pesisir tenggara India ini sedang "sakit parah", krisis menghantam dan menjadi yang terburuk sejak 1948.

Inflasi di Sri Lanka sudah tidak terkendali dalam beberapa bulan terakhir. Pada Juni, inflasi tercatat meroket 54,6% year-on-year (yoy), menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kenaikan tersebut nyaris dibandingkan Mei sebesar 39,1%.

CBSL pun mengambil langkah agresif dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin kemarin, deposit facility menjadi 14,5% dan lending facility menjadi 15,5%. Suku bunga tersebut menjadi tang tertinggi dalam lebih dari 20 tahun terakhir.

Kenaikan tersebut menyusul April lalu saat mengerek 700 basis poin. CBSL juga menyatakan akan kembali menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.

Saat inflasi sedang tinggi, suku bunga memang menjadi salah satu instrumen untuk meredamnya. Hampir semua bank sentral di dunia saat ini melakukannya.

Ketika suku bunga tinggi, maka kecenderungan masyarakat akan melakukan saving. Selain itu belanja juga bisa berkurang akibat tingginya suku bunga kredit, begitu juga dengan dunia usaha yang mengendurkan ekspansinya.

Dengan kondisi tersebut, maka inflasi dari sisi demand pull akan mereda.

Tetapi masalahnya, tingginya inflasi di Sri Lanka terjadi akibat cost push. Harga energi dan pangan yang tinggi membuat inflasi tersebut meroket.
Inflasi pangan sendiri mencapai 80% (yoy).

Sehingga, kenaikan suku bunga tidak bisa menurunkan inflasi dengan cepat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Perekonomian Sri Lanka Andalkan Pariwisata, Minta Bantuan Rusia 

Sri Lanka merupakan importir netto energi dan pangan. Ketika harga komoditas energi melonjak, beban impor jadi semakin membengkak. Alhasil keuangan negara boncos akibat seretnya pemasukan, sebab mengandalkan industri jasa sebagai tulang punggung perekonomiannya.

Berdasarkan data Statista, sektor jasa menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar, dengan kontribusi dalam 10 tahun terakhir di atas 55%. Pariwisata, sektor keuangan dan perdagangan ritel menjadi komponen utama industri jasanya.

idrFoto: Statista

Sayangnya, sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor tersebut runtuh. Dari sektor pariwisata Sri Lanka di 2018 mencatat pendapatan sebesar US$ 4,4 miliar, dan berkontribusi 5,6% terhadap PDB. Di tahun 2020, kontribusinya jeblok menjadi 0,8% saja.

Merosotnya sektor pariwisata tentunya memberikan dampak beruntun ke sektor keuangan hingga penjualan ritel. Alhasil, motor penggerak ekonomi Sri Lanka runtuh.
Pendapatan yang seret, ditambah beban impor yang membengkak membuat Sri Lanka mengalami gagal bayar utang luar negeri (default) senilai US$ 51 miliar pada April lalu dan sedang dalam pembicaraan dana talangan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Sektor pariwisata yang menjadi andalan juga sulit untuk bangkt. Sebab negara-negara Eropa, Australia, dan Amerika Serikat telah meminta warganya untuk menghindari bepergian ke Sri Lanka karena krisis yang makin dalam.

Krisis di Sri Lanka memang parah. Demonstrasi telah berlangsung selama berminggu-minggu menuntut penyelesaian masalah kekurangan pasokan listrik, makanan, dan obat-obatan. 

Survei dari UNICEF menunjukkan 70% rumah tangga mengurangi konsumsi makanan. Sri Lanka juga harus berhadapan dengan kekurangan energi yang kronis. Selama dua minggu terakhir juga harus menghadapi penutupan beberapa lembaga negara yang tidak penting dan sekolah untuk mengurangi perjalanan.

Sri Lanka tercatat hampir kehabisan bensin dan solar, dengan kantor-kantor pemerintah yang tidak penting dan sekolah-sekolah diperintahkan ditutup dalam upaya untuk menghemat persediaan bahan bakar yang terbatas.

Pekan lalu, Sri Lanka mengumumkan penghentian dua minggu untuk semua penjualan bahan bakar kecuali untuk layanan penting guna menghemat bensin dan solar untuk keadaan darurat.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, pada Rabu (6/7/2022) mengatakan telah meminta bantuan Rusia untuk menyediakan bahan bakar dan melanjutkan penerbangan wisata untuk membantu negara itu mengatasi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Rajapaksa mengatakan dia telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk meminta pasokan bahan bakar yang sangat dibutuhkan dengan pinjaman dan "dengan rendah hati" meminta dimulainya kembali penerbangan antara Moskow dan Kolombo.

"Kami dengan suara bulat sepakat bahwa memperkuat hubungan bilateral di sektor-sektor seperti pariwisata, perdagangan, dan budaya adalah yang terpenting dalam memperkuat persahabatan yang dimiliki kedua negara," katanya, dikutip AFP.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular