
Sri Lanka "Sakit Parah"! Suku Bunga Naik 100 Bps Jadi Obat?

Sri Lanka merupakan importir netto energi dan pangan. Ketika harga komoditas energi melonjak, beban impor jadi semakin membengkak. Alhasil keuangan negara boncos akibat seretnya pemasukan, sebab mengandalkan industri jasa sebagai tulang punggung perekonomiannya.
Berdasarkan data Statista, sektor jasa menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar, dengan kontribusi dalam 10 tahun terakhir di atas 55%. Pariwisata, sektor keuangan dan perdagangan ritel menjadi komponen utama industri jasanya.
![]() |
Sayangnya, sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor tersebut runtuh. Dari sektor pariwisata Sri Lanka di 2018 mencatat pendapatan sebesar US$ 4,4 miliar, dan berkontribusi 5,6% terhadap PDB. Di tahun 2020, kontribusinya jeblok menjadi 0,8% saja.
Merosotnya sektor pariwisata tentunya memberikan dampak beruntun ke sektor keuangan hingga penjualan ritel. Alhasil, motor penggerak ekonomi Sri Lanka runtuh.
Pendapatan yang seret, ditambah beban impor yang membengkak membuat Sri Lanka mengalami gagal bayar utang luar negeri (default) senilai US$ 51 miliar pada April lalu dan sedang dalam pembicaraan dana talangan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sektor pariwisata yang menjadi andalan juga sulit untuk bangkt. Sebab negara-negara Eropa, Australia, dan Amerika Serikat telah meminta warganya untuk menghindari bepergian ke Sri Lanka karena krisis yang makin dalam.
Krisis di Sri Lanka memang parah. Demonstrasi telah berlangsung selama berminggu-minggu menuntut penyelesaian masalah kekurangan pasokan listrik, makanan, dan obat-obatan.
Survei dari UNICEF menunjukkan 70% rumah tangga mengurangi konsumsi makanan. Sri Lanka juga harus berhadapan dengan kekurangan energi yang kronis. Selama dua minggu terakhir juga harus menghadapi penutupan beberapa lembaga negara yang tidak penting dan sekolah untuk mengurangi perjalanan.
Sri Lanka tercatat hampir kehabisan bensin dan solar, dengan kantor-kantor pemerintah yang tidak penting dan sekolah-sekolah diperintahkan ditutup dalam upaya untuk menghemat persediaan bahan bakar yang terbatas.
Pekan lalu, Sri Lanka mengumumkan penghentian dua minggu untuk semua penjualan bahan bakar kecuali untuk layanan penting guna menghemat bensin dan solar untuk keadaan darurat.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, pada Rabu (6/7/2022) mengatakan telah meminta bantuan Rusia untuk menyediakan bahan bakar dan melanjutkan penerbangan wisata untuk membantu negara itu mengatasi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Rajapaksa mengatakan dia telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk meminta pasokan bahan bakar yang sangat dibutuhkan dengan pinjaman dan "dengan rendah hati" meminta dimulainya kembali penerbangan antara Moskow dan Kolombo.
"Kami dengan suara bulat sepakat bahwa memperkuat hubungan bilateral di sektor-sektor seperti pariwisata, perdagangan, dan budaya adalah yang terpenting dalam memperkuat persahabatan yang dimiliki kedua negara," katanya, dikutip AFP.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]